Archive for May 2015

SAYANG-SAYANG DITIMPA MALANG



    • SAYANG-SAYANG DITIMPA MALANG
      Oleh: Gyta Ryandika
      ...ayam kampus, ayam siapa?
      Entah apa yang harus aku lakukan kali ini. Berhenti atau menyelesaikan hingga akhir? Jika dibatalkanpun rasanya tidak mungkin. Tamu undangan yang tak lain tetangga, kerabat, dan teman sudah berkumpul hendak menonton drama ini sampai akhir. Walau tak banyak dari mereka yang hadir.Aku menghela napas panjang, menoleh ke arah perempuan tengah baya yang jaraknya tiga meter dari tempatku berdiri. Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala. Seketika rasa ragu buyar dari hadapanku. Hanya nama Amira bin Dardjo yang menjadi perhatian utamaku.
    • Posted by Unknown
    • 1 Comment
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

First Snow

    • First Snow
      Oleh : Refa Ans
      Sora menatap origami berbentuk cranes di tangannya. Kertas itu tidak lagi terlihat baru. Ah, rasanya sudah lama sekali ia menerima origami itu darinya. Ini pula satu-satunya benda kenangan dari pemuda yang dulu amat ia cintai itu, meski tanpa pernah mengungkapkannya. Ia selalu merasa bahwa semua akan berubah ketika menyatakan itu seperti sebelumnya, ia takut hal seperti itu kembali lagi terjadi.
      Origami itu selalu terasa istimewa. Sebanyak apapun yang ia buat, bahkan dengan kertas yang jauh lebih bagus, origami itu selalu terasa lebih istimewa. Dirinya bahkan tidak pernah terpikir untuk membongkarnya meski telah sekian lama menyimpan itu dan tidak pernah bertemu dengannya lagi. Ia selalu menyimpan itu baik-baik, itulah kenang-kenangan terakhir darinya sebelum menghilang tanpa kabar.
      Sora menerawang ke langit gelap di balik jendela kamarnya. Dingin di luar sana seakan dapat ia rasakan. Kenangan saat menunggu pemuda itu di taman kembali terputar di benak. Kali itu, pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu. Saat pemuda itu mengatakan ia menitipkan hatinya.
      Tangan Sora pelan-pelan bergerak membuka origami itu ketika teringat perkataan pemuda itu. Tentang hati. Menitipkannya. Seharusnya ia sadar dari dulu. Lipatan demi lipatan dilepaskannya. Hingga akhirnya tinggal bentuk dasar diamond. Bersamaan dengan itu segala kenangan dengannya kembali berputar. Di mana ia selalu memberi kenangan saat salju pertama. Bukan hanya itu, bahkan hampir di sepanjang masa SMA.
      Saat terbuka sepenuhnya, airmata Sora mengalir deras karena matanya menumbuk beberapa baris tulisan itu. Dan lagi-lagi, kali itu adalah salju pertama yang turun. Dari jendela Sora bisa menangkap butiran salju yang turun.
      ***
      “Salju pertama!” jerit Sora dengan wajah berhias senyuman ketika mendapati butiran salju hinggap di telapak tangannya. Banyak orang mengatakan jika kita mengucapkan harapan pada saat salju pertama turun ke bumi maka harapan itu akan terkabul. Sora percaya itu. Ia selalu menganggap ketika salju pertama turun dewa juga ikut turun menyambut salju di bawah dan mendengarkan semua harapan manusia saat itu. Entahlah hanya pikirannya saja atau memang sesuatu yang nyata, atau bahkan dipercaya banyak orang. Sora tidak peduli.
      Gadis berambut cokelat itu kemudian menautkan kedua tangannya dan mengucapkan harapan. Dirinya tidak berharap macam-macam, hanya permintaan seorang gadis yang membutuhkan teman karena hampir selalu kesepian. Yah, tampaknya tidak perlu disebutkan apa keinginannya.
      “Berharap pada salju pertama, eh?”
      Seketika Sora langsung membuka matanya dan menoleh saat mendengar sebuah suara bass di dekat telinganya. Seorang pemuda yang  menurut perkiraan seumur dengannya itu kini tengah memandang ke langit yang sudah gelap. Gadis itu menatap wajahnya sejenak. Bukan wajah asing, batinnya.
      “Ah, hai[1],” jawabnya sopan sambil memberikan seulas senyum. “Banyak orang, kan, yang percaya kalau salju pertama bisa mengabulkan harapan. Omong-omong, kamu siapa? Aku seperti tidak asing.” Siapa tahu memang benar, kan, Sora pernah melihat pemuda itu. Entah di sekolah atau tetangganya. Lagipula orang asing tidak mungkin tiba-tiba menyapanya seperti tadi.
      “Wah, rupanya kau belum tahu diriku, ya. Padahal aku mengenalmu, Aoki Sora dari kelas 1-A.”
      Sora hanya tersenyum ketika mendengar pengakuan pemuda itu. Yah, dirinya terbilang cukup sulit dalam mengingat nama seseorang. Apalagi ia memang tidak begitu banyak mengenal teman sekolahnya kecuali teman-teman sekelas dan teman klub melukis. Ah, itu pun tidak seluruhnya berhasil ia ingat dengan tepat nama dan wajahnya.
      Atashi wa Akita Ken desu. Aku dari kelas 1-B, tetanggamu.” Pemuda itu kemudian ber-ojigi[2] setelah menyebutkan namanya. “Yoroshiku.”
      Yoroshiku.” Sora kembali tersenyum setelah ikut ber-ojigi juga.
      “Jadi, kamu percaya kekuatan salju pertama?” Ken mulai mengajak Sora melanjutkan berjalan. Kalimat demi kalimat kemudian saling bertukar dari mulut keduanya. Di bawah salju yang melenggang turun dari langit keduanya berjalan bersama menuju rumah masing-masing.
      Ia tidak pernah tahu bahwa sejak saat itu Ken akan menjadi temannya. Ah, inikah kekuatan salju pertama?
      ***
      Tak bisa dibantah, rasa nyaman lama-kelamaan pasti akan melahirkan perasaan lain di dada. Di dalam dadamu akan ada perasaan yang begitu asing. Jantungmu akan berdegup lebih cepat, aliran darahmu bertambah deras, dan perasaanmu akan senang tak terkira ketika tahu dia ada di dekatmu.
      Itu pula yang Sora rasakan. Pelan-pelan tapi pasti, ia jatuh pada pesona Ken. Ken bukan sosok yang selalu dipuja para gadis. Dia hanya pemuda biasa-biasa saja, tapi hanya ia yang mampu membuat Sora jatuh cinta setengah mati—dengan cara selalu bisa membuat gadis itu merasa nyaman berada di dekatnya.
      Sayang, Sora terlalu takut untuk mengakui perasaannya itu, kembali jatuh cinta. Ia takut ketika pada akhirnya sudah jatuh terlalu dalam sepeti dulu, tetapi ternyata orang yang ia suka jauh memilih gadis lain. Karena itu ia kehilangan seorang teman, satu-satunya orang yang paling ia percaya.
      Itulah mengapa Sora selalu membohongi tentang perasaannya ada Ken. Segala alasan ia buat atas perasaan aneh—baca: jatuh cinta—itu. Ketika malam hari tiba-tiba wajah Ken berkelindan di kepala, ia hanya menganggap ingin bercerita kepada Ken. Bahkan ketika detak jantungnya tak wajar saat Ken menggandeng tangannya untuk menyeberang jalan, Sora hanya menganggap itu kaget karena Ken yang tak jarang menarik tangannya tiba-tiba.
      Begitu pula dengan saat ini, jantungnya terasa berdetak begitu cepat karena Ken menggandeng tangannya.
      "Kamu kedinginan?" Sejenak Ken menghentikan langkahnya. "Kalau memang kedinginan, bilang saja. Ah, udara memang begitu dingin. Seharusnya kita tadi tidak usah mengerjakan tugas di sekolah dulu. Bagaimana bisa, sih, aku lupa kalau ini sudah di awal musim dingin?"
      Sora hanya tersenyum. Seperti biasa, Ken memang begitu. Ia terlalu sering menyalahkan diri sendiri walaupun terkadang itu bukan salahnya.
      "Sudah, tak apa. Lebih baik kita secepatnya pulang," kata Sora bermaksud mengajak pemuda itu kembali berjalan.Ia tidak ingin terus-terusan merasakan perasaannya yang tak karuan itu.
      "Baiklah, ayo." Tanpa diduga, Ken langsung memasukkan tangan mereka yang bertautan tadi ke dalam saku mantelnya.
      Sora langsung tersentak kaget, tapi di tengah kekagetannya itu, ia merasakan kini hangat bukan hanya menyelimuti tangannya yang digenggam Ken dalam saku mantel. Badannya juga. Hatinya. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk menolak itu. Ia merasa begitu nyaman.
      Bukankah Ken memang selalu begitu?
      Lagi-lagi Sora mulai membela diri menampik kenyataan. Ia masih bersi-keras tidak mau mengakui perasaannya.
      "Ken, doushite?"
      "Eh?"
      Tanpa Sora sadar akhirnya pertanyaan di ujung lidah yang tadi tak bisa terlepas kini meloncat keluar. Kenyang tadi fokus pada jalanan langsung menoleh ke arah Sora. Kedua alisnya terangkat, sorot matanya menyiratkan keheranan. Degup jantung Sora pun semakin tidak keruan.
      Kami-sama, aku tidak ingin jatuh cinta kepadanya, aku tidak ingin terluka lagi, dalam hati Sora memohon.
      "Mengapa kamu begitu perduli padaku?" Sora meluncurkan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Dalam hatinya ia merasa begitu cemas menanti jawaban dari mulut Ken. Sadar atau tidak, kini sebenarnya dalam hati Sora berharap bahwa Ken akan mengatakan itu karena ia mencintainya. Baiklah, anggap saja Sora hanya berangan-angan. Karena ia ‘tidak-jatuh-cinta-kepadanya’.
      Ken kemudian menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Sora. Matanya mengunci mata Sora. "Karena aku ingin terus melindungimu, menjaga agar senyumanmu tidak hilang dari sana."
      Terasa sebuah hantaman di ulu hati Sora ketika mendengar itu. Ia tidak lagi bisa mengelak. Perkataan itu membuatnya merasa semakin hangat dan rasa senang seakan Ken memang mengucapkan apa yang diharapkannya.Sora dapat merasakan kini mukanya begitu hangat.
      Saat itu juga, Sora luluh dengan kenyataan. Ia kalah, tamengnya telah hancur berkeping-keping. Sebongkah kepercayaan membuat gadis itu yakin, bahwa Ken adalah sosok lain yang berhak ia cintai.
      Sekarang, Sora mengakuinya. Sora mencintai Ken. Bersamaan itu, salju pertama tahun ini turun.Salju pertama, selalu saja tentang Ken.
      ***
      Apakah salju pertama selalu tentang keinginan?
      Sora termenung di beranda rumahnya sore ini. Tanpa pernah terasa, tiba-tiba saja ini sudah awal musim dingin lagi. Sudah selama itu dirinya diam-diam jatuh cinta  pada Ken. Tak seorang pun ia biarkan tahu. Ah, mengapa sampai saat ini ia belum juga mempunyai keberanian,
      Gadis berambut cokelat sepunggung itu menghela napas berat. Hawa dingin yang bersentuhan dengan kulit tak dihiraukannya. Ia kembali terdiam, membiarkan sosok Ken memenuhi benaknya. Pikirannya melayang-layang ke kenangan mereka dua tahun terakhir ini.
      Drrrt..., drrrt....
      Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Tanpa berpikir panjang,ia langsung menghidupkan ponsel. Nama Ken tertera di sana. Dengan gerakan kilat, Sora membuka pesan itu.
      Sora-chan, bisa kita bertemu? Tunggu aku di taman, ya. Pukul 7 malam ini.
      Sora langsung mengamati teks itu berkali-kali. Heran. Ken tidak biasanya mengirim pesan kecuali terlalu penting. Ken mengaku ponsel memusingkannya. Hah, Sora tidak tahu mengapa. Padahal kebanyakan anak muda seusia mereka begitu tergila-gila dengan benda itu.
      Ada apa ini?
      Ya, kutunggu di sana.
      Tak banyak tanya, Sora hanya menyetujui itu. Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi saat itu. Sebuah pertemuan yang rahasianya akan terbuka di masa depan.
      ***
      Tak terasa sudah hampir dua jam Sora menunggudi kursi taman bawah pohon sakura yang kini kering tak berdaun dan Ken belum juga datang. Padahal udara begitu dingin. Sampai setiap kali ia menghembuskan napas keluar asap putih. Kegelisahan kini menyelimutinya.
      Bagaimana bisa Ken belum juga datang? Sekali lagi Sora melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jam sembilan lebih semenit. Air mata kemudian menggenang di pelupuk matanya. Keyakinannya bahwa Ken akan datang mulai ludar. Belum lagi dengan rasa dingin yang terus berusaha dilawan oleh mantelnya, meski tak jarang menelisik masuk dari lubang-lubang kecil.
      Berkali-kali Sora menahan diri untuk tidak menangis. Harus ia akui, ia kecewa dengan Ken. Pelupuknya tidak lagi kuat membendung airmata. Cairan bening itu lalu meluncur turun. Tangis Sora pecah saat itu juga. Berkali-kali tangannya berusaha mengusap air mata. Namun sebanyak apapun ia mencoba, air mata itu tak juga habis. Terus saja jatuh bagaikan hujan saat tsuyu datang.
      "Nakanai de, Sora-chan[3]."
      Sebuah pelukan hangat dari belakangkemudian melingkari leher Sora. Air matanya justru turun semakin deras ketika mendapati kini dirinya dipeluk oleh sosok yang ia tunggu.
      "Aku di sini, maafkan aku sudah membuatmu menunggu, Sora-chan." Ken mengeratkan pelukannya pada Sora. Perlahan di dalam dadanya seperti ada sesuatu yang remuk. Hatinya patah. Bukan karena melihatnya menangis, tapi jika menyadari waktu.
      Sora masih saja belum bisa menghentikan linangan airmatanya. Firasatnya kali itu merasa tidak enak saat mendengar nada bicara Ken barusan. Ia pun tidak berani menatap mata hitam Ken. Hanya dibiarkan Ken memeluknya begitu erat.
      "Arigatou. Maafkan aku membuatmu menungguku." Ken berbisik pelan ke telinga Sora. "Walaupun sebenarnya tidak ada yang harus kukatakan, aku hanya ingin bertemu denganmu."
      Dapat Sora rasakan kini ada air mata yang menetes di lehernya. "Kamu..., menangis, Ken?"tanya Sora dengan suara bergetar. Bagaimana bisa Ken yang ia tahu begitu tegar kini menangis?
      "Aku hanya bahagia bisa mengenalmu."
      Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Sora. Hanya air matanya yang terus mengalir. Dirinya tidak bisa berusaha kuat jika seseorang yang selama ini selalu menguatkannya justru menangis sepeti itu
      "Ada apa sebenarnya, Ken?"Sora berbalik. Matanya dan Ken kini bertatapan. Sora bisa melihat mata itu begitu sendu sarat dengan kesedihan.
      "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu saja. Jangan menangis, tersenyumlah, Sora-chan. Aku selalu merasa hangat ketika melihatnya, senyummu bagai langit musim semi yang cerah." Ken mengusap aliran airmata di pipi Sora. Seulas senyum kini terulas di wajahnya, meski linangan airmata dari sana belum terusap bersih.
      Sora tersenyum kemudian diikuti dengan Ken. Mereka memaksakan diri walaupun sebenarnya hati mereka remuk seremuk-remuknya malam itu.
      "Satu lagi, aku ingin memberikan origami ini untukmu." Ken lalu mengeluarkan origami cranes yang belum sempurna itu dari saku mantelnya. Disempurnakannya origami itu sebelum diberikan kepada Sora."Tolong simpan ini. Ini adalah hatiku."
      Lagi dan lagi, mata Sora menangkap salju pertama turun. Pertanda apa pada salju kali ini?
      ***
      Sora tidak menyangka apa yang kini tertulis di sana. Beberapa kalimat yang tidak pernah ia duga. Beberapa keanehan yang tidak terlalu ia perdulikan kini seperti terjelaskan sejelas-jelasnya. Bagai seekor rusa yang dikuliti, Sora baru mengetahui siapa Ken. Dan ia tidak bisa menerima itu.
      Keanehan seperti Ken yang gagap teknologi, bisa menceritakan kejadian belasan tahun lalu seakan melihatnya sendiri, dan dari gaya berpakaiannya.
      Mengapa harus begini?
      Daisuki dayo[4], Sora-chan. Maafkan aku terlambat mengungkapkannya. Tetapi percayalah begini lebih baik daripada aku meninggalkanmu dan perasaanku tanpa sepatah kata pun perpisahan. Andai saja aku bisa menghabiskan waktu lebih lama di masa ini tanpa harus kembali ke masa lalu.
      Kami-sama, tolong jelaskan apa maksud semua drama ini….”
      Sora menenggelamkan kepala ke lipatan tangannya di meja. Tangisnya keluar, seluruh rasa sakit yang hatinya simpan ia keluarkan. Tanpa terkecuali.



      [1] Ya
      [2] Membungkuk
      [3] Jangan menangis, Sora.
      [4] Aku menyukaimu.
    • Posted by Refa Annisa
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Jukebox Party!



    • Syukur tiada terkira kita akhirnya telah melewati satu putaran arisan dan masih bersemangat meneruskan ke putaran berikutnya. Semoga kita bisa terus menjaga semangat ini, semangat untuk terus mempertajam pena. Aamiin.

      Kali ini, tema arisan kita adalah Jukebox Party! Kenapa Jukebox? Karena kita akan memutarkan lagu-lagu pilihan kita setiap minggunya. Lagu pilihan kita sendiri, yang kita sukai, atau malah yang kita benci karena mengingatkan pada kenangan buruk (matinya kucing kesayangan, misalnya #eh), intinya lagu-lagu yang memiliki arti khusus untuk kita, a song you can personally relate to.

      Ibarat jukebox juga, sebelum diputar kita harus masukin koin dulu. Bedanya, di sini kita harus ngocok arisan dulu, nama siapakah yang keluar untuk memutarkan lagu berikutnya? :p Nah, kita juga tak akan tahu siapa yang akan membawakan lagu kita. Kita yang memilih lagunya, namun kocokan arisanlah yang memilih orang yang akan membawakannya.

      Biar nggak bingung, langsung aja disimak aturan mainnya, yah. :D

      1. Arisan ini adalah arisan cerita pendek, dengan panjang cerita bebas (asal jangan kurang dari 400 karakter dan lebih dari 2000 karakter, eh...itu nggak bebas dink ya? >.<)

      2. Cerita pendek akan dirilis sebanyak dua buah setiap minggunya, yakni setiap hari Minggu di blog kita tercinta ini.

      3. Dua cerita pendek tersebut ditulis oleh dua orang peserta arisan yang namanya keluar pada hari minggu sebelum cerita dirilis. Jadi, setiap cerita punya waktu seminggu untuk ditulis.

      4. Rilis dua cerpen pertama akan dilakukan pada hari Minggu, tanggal 17 Mei 2015.

      5. Dua orang penulis cerpen pertama telah dipilih satu minggu sebelumnya (10 Mei 2015)--dan sekarang mereka mungkin sedang tenggelam di dunia imajinasi. ;p

      6. Khusus untuk dua cerpen pertama, penulis memilih sendiri lagu yang akan mereka jadikan inspirasi untuk menulis cerpen.

      7. Untuk minggu-minggu berikutnya, kedua orang penulis yang karyanya dirilis hari Minggu itu harus memilih masing-masing satu lagu untuk dibawakan oleh penulis berikutnya.

      - Jadi, misalnya pada tanggal 10 Mei nama yang keluar adalah Amat dan Cimot, maka mereka akan memilih satu lagu yang mereka suka untuk dijadikan cerpen yang rilis tanggal 17 Mei.
      - Lalu, pada tanggal 17 Mei mereka akan memilih masing-masing satu lagu (jadi total ada dua, satu dari Amat lagu Balonku dan satu dari Cimot lagu Bengawan Solo, Misalnya) untuk dibawakan oleh penulis berikutnya.
      - Penulis berikutnya akan dipilih lewat metode kocok arisan undian pada tanggal 17 Mei pula.
      - Misalkan, yang terpilih berikutnya adalah Belo dan Dodo, maka Belo dan Dodo menuliskan cerpen untuk tanggal 24 Mei dengan sumber inspirasi dari lagu yang dipilihkan Amat dan Cimot.
      - Belo dan Dodo bebas menyepakati siapa yang akan menulis berdasarkan lagu Balonku dan siapa yang berdasarkan lagu Bengawan Solo.
      - Pada tanggal 24 Mei, Belo dan Dodo akan rilis cerpen, sekaligus memilih satu lagu kesukaan mereka untuk dibawakan oleh penulis berikutnya yang diundi pada hari itu juga. Begitulah seterusnya.

      8. Setelah satu putaran selesai, seperti biasa kita akan adakan polling dan penjurian. Akan dipilih dua orang pemenang, satu untuk kategori pilihan juri, dan satu untuk kategori polling pembaca.

      Ada hadiahnya, nggak? Tentu saja! Untuk kali ini, pemenang kategori pilihan juri akan mendapatkan paket buku sebanyak tiga buku, dan pemenang polling akan mendapatkan satu  buah buku. :D

      Oke, segini dulu aja tentang aturan main arisan kita kali ini. Sampai jumpa! :)


    • Posted by siska
    • 2 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Polling Cerpen Episode II

    • Alhamdulillah, satu putaran arisan cerpen telah terlewati. Di akhir putaran ini kami kembali mengadakan polling, salah satunya sebagai sarana evaluasi bagi tulisan kami yang tentu masih banyak kekurangannya. Harapan kami, pembaca yang berkunjung ke blog ini berkenan memberikan tanggapan, baik dengan memberikan komentar/kritik/saran pada cerpen yang bersangkutan, maupun berpartisipasi dalam polling yang kami sediakan.

      Cara mengikuti polling cukup dengan meluncur ke widget di bagian kanan blog ini, dan memilih salah satu cerpen di bawah ini yang disukai:

      1. Panggil Saja Aku Laki-laki

      2. Wasiat Lazarus

      3. Deja Vu dalam Hujan

      4. Kaca yang Berdebu

      5. Mekarnya Bunga Youtan Poluo

      6. Amorette

      Demikian pengantar dari kami, selamat membaca dan terima kasih untuk partisipasinya!  :)


      Salam hangat,

      #KF11
    • Posted by siska
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Semacam Pengantar

    • Alhamdulillah, akhirnya walau dengan jatuh bangun layaknya batita yang baru belajar berjalan, arisan cerpen KF 11 season pertama berhasil diselesaikan. Sebagai proyek pertama yang masih sarat euforia akan kenangan dua hari di Kampus Fiksi, ternyata komitmen anggota untuk terus menulis diuji juga di proyek ini. Tentu saja, ke depannya ujian itu akan semakin besar karena euforia itu sudah pasti berkurang. Tapi, kami percaya bahwa kami dipertemukan karena memiliki kecintaan yang sama pada dunia literasi, sehingga komunitas ini tentu tidak akan lelah untuk terus memanggil-manggil kami agar berkarya lebih banyak lagi.

      Hari ini, polling cerpen arisan kembali dibuka untuk kedua kalinya. Arisan cerpen season 2 juga akan segera dimulai lagi. Mekanisme arisan cerpen season dua dan mekanisme poling akan dijelaskan di postingan berikutnya. Semoga ujian yang nantinya semakin besar itu, baik dari segi komitmen, kualitas tulisan, kesibukan masing-masing, dan lain-lain dapat teratasi dengan baik dan blog KF 11 sebagai prasasti yang mengukir pertemuan kita bulan Februari 2015 lalu, dapat terus hidup karena nafasnya berasal dari tulisan kita semua.

      Keep writing and love you all, guys...

    • Posted by yenita anggraini
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Cerpen - Tumbal Danau Perawan

    • Kota ini penuh dengan keindahan saat Bintang datang pertama kalinya ke sini. Pemandangan hijau rerumputan dihiasi tanaman ilalang sebagai pembatas jalannya. Bunga-bunga bermekaran di musim penghujan dan kupu-kupu selalu terbang di atasnya. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Hal itulah yang tidak dia dapati saat ini. Banyak yang telah berubah setelah satu tahun kepergiannya ke pulau seberang. Pertama kali hanya berniat mencari pekerjaan untuk modal usaha di kampung halaman, namun ternyata dia menemukan tambatan hati di sana. Dan saat ini wanita itulah yang menemani Bintang pulang ke kampung halaman orang tuanya.

      Mereka tiba di depan rumah tepat pukul 7 malam. Suasana begitu sepi dan mencekam. Lolongan anjing di kejauhan menambah suasana menjadi menyeramkan. Bintang melangkah menuju pintu diikuti langkah kaki calon istrinya, Santi. Wajah Santi tampak cemas, terlihat tanda kerutan di keningnya pertanda dia sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang dipikirkannya, Bintang tak pernah tahu.

      Tok... tok... tok...
      Dia mengetuk pintu rumahnya sebanyak tiga kali. Dia tak mengerti mengapa orang tuanya menyuruh demikian sejak Bintang masih kecil. Mungkin untuk mengusir hantu barangkali.

      Kreekk...
      Bunyi engsel pintu yang sudah tua terdengar saat seorang wanita tua –ibu Bintang– membukakan pintu untuk mereka. Sesaat wanita itu sedikit termenung melihat sosok gadis di sebelah anaknya. Tetapi pada akhirnya, wanita itu mengajak mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah.

      Bintang memasuki kamar lamanya sambil mengajak Santi masuk ke ruangan itu. Rencananya Santi lah yang akan tidur di kamarnya dan dia tidur bersama adiknya, Rean. Dia melihat tidak banyak perubahan di kamar tidurnya. Yang berubah hanyalah sprei yang sepertinya baru saja diganti oleh Bik Inah, pembantu setia keluarga ini. Foto bersama saudara kembarnya terpampang di atas meja di sebelah tempat tidur. Kembali Bintang mengingat kenangannya bersama almarhum.
      “Ah, aku tidak boleh mengingatnya lagi. Dia sudah tenang di alam sana.” Kata Bintang dalam hatinya.

      Setelah membersihkan badan dan merapikan bawaan mereka, Bintang mengajak Santi ke ruang tamu. Di sana keluarga besar Santoso sudah menunggu. Ibu, bapak, Rean, Manda dan juga Bik Inah. Mereka duduk bersama dan saling bertukar cerita selama kurang lebih satu jam. Keluarganya cukup memaklumi kelelahan mereka berdua, setelah perjalanan panjang yang dilalui. Akhirnya, tepat pukul 9 malam, mereka semua memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.
      Di kamar, Bintang kembali mengingat percakapan mereka di ruang tamu.
      “Aku harus segera bertindak. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bisa-bisa nyawa Santi juga melayang gara-gara ini.” Pikirnya dalam hati.

      Keesokan paginya, Bintang menemui teman-teman lamanya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini. Santi sebenarnya ingin pergi bersamanya sambil melihat keadaan di kampung itu, namun  Bintang melarang karena khawatir akan keselamatannya. Tanpa  mereka sadari, dari kejauhan sepasang mata menatap tajam ke arah rumah Bintang. Menatap Santi dengan nafsu membara.

      ***
      “Mbah, sepertinya di kampung ini ada mangsa baru untuk persembahan.” Kata laki-laki itu kepada Mbah Gentong.
      “Sopo, Le?”(1) Kata Mbah Gentong sambil terus mengunyah sirih merah.
      “Kula mboten mangertos naminipun, Mbah. nanging kadosipun piyambakipun calon menantu keluarga Santoso.” (2) Tambah laki-laki itu.
      “Yo wes. lakoke sabaene wae.“(3) Mbah Gentong memberikan perintah.
      “Nggih, Mbah. Enggal kula tumindakake kengken Mbah. Kula pamit riyen. “(4)
      “Yo wes. Ati-ati, Le. Firasat Mbah ora ping enak iki”(5) Kata Mbah Gentong sambil memberikan sebuah bungkusan yang isinya jampi-jampi.
      “Inggih, Mbah” (6) Kata laki-laki itu sambil mengambil bungkusan dan segera meninggalkan rumah Mbah Gentong.

      ***
      Hari beranjak malam. Matahari sudah terbenam di ufuk timur. Tampak sinar kemerahan mulai pudar seiring dengan pancaran sinar rembulan yang menggantikan tugas sang surya. Malam ini tak tampak seperti malam di mana Bintang datang kembali ke kampung ini. Malam ini sang bulan tertutup awan hitam. Suara burung hantu terdengar memilukan, seperti sebuah pertanda akan terjadi sesuatu pada malam ini. Yang Bintang takutkan hanyalah keselamatan Santi, kekasihnya. Bintang tidak ingin dia bernasib sama dengan perawan-perawan desa yang raib entah kemana. Dika mengatakan kepadanya kalau awalnya para gadis itu berjalan sendiri ke arah danau perawan, danau di ujung kampung yang tak pernah terjamah oleh orang-orang. Setelah itu, mereka semua menghilang tanpa jejak walaupun para warga kampung mencari hingga ke dalam hutan di samping danau.

      ***
      Di kamar, Santi sedang mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat isya’. Hatinya malam ini sedikit kacau. Entah mengapa perasaannya tidak begitu enak sejak makan malam tadi. Dia seperti merasakan ada sesuatu di rumah ini. Tapi, pikiran-pikiran buruk itu segera dia musnahkan. Dia berpikir kalau tidak enak mengatakan hal ini kepada calon keluarganya. Cukup dia saja yang merasakannya.
      ***
      Di kamar sebelah, Bintang juga merasakan perasaan yang sama seperti yang Santi rasakan. Bintang ingin sekali menemani Santi malam ini hingga dia tertidur. Tapi, sepertinya Bintang tidak mau melanggar aturan keluarganya untuk tidak berada dalam satu kamar bersama orang yang bukan muhrim. Dalam hati Bintang terus berdoa untuk keselamatan Santi.
      ***
      Waktu menunjukkan pukul 9 lewat 5.
      “Sepuluh menit lagi akan aku lakukan ritual ini,” pikir laki-laki itu dalam hatinya.
      Sesajen dan hio sudah dipersiapkan di seberang danau perawan. Tinggal menunggu waktu dan gadis itu −Santi− akan segera datang.
      ***
      Santi terus menerus menguap, tanda dia semakin mengantuk. Santi mendekati pinggir tempat tidur dan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak sampai lima menit, Santi sudah terlelap. Bintang juga sepertinya sedang dalam kelelahan yang luar biasa. Bintang tertidur lebih cepat dari biasanya. Dan Bintang bermimpi buruk. Di dalam mimpinya, dia melihat seorang laki-laki yang sedang menggeret paksa gadis berpakaian putih di depannya. Bintang seperti mengenal sosok gadis itu. Ah, itu adalah Santi, kekasihnya. Mau apa laki-laki itu kepada Santi? Mengapa Santi seperti menurut saja diperlakukan seperti itu oleh lelaki di sampingnya? Bintang harus segera membantunya. Jika tidak, Bintang tak akan pernah tahu apa akibatnya setelah ini.
      Dia mulai mendekati laki-laki itu, dan melayangkan tinju kepadanya. Tetapi dia mampu mengelak dari tinju Bintang dan membalasnya dengan satu pukulan yang menyebabkan Bintang terjengkal ke belakang. Pertarungan sengit terus berlangsung. Dan tanpa sadar, Bintang mengingat ucapan Kiai Sepuh di pondokannya dulu.

      Jika kamu mengalami pertarungan di dalam mimpi dan pertarungan itu tampak seperti nyata, ucapkanlah doa ini. Niscaya engkau akan segera memenangkan pertarungan dengan ijin Allah SWT.

      Bintang mengucapkan doa-doa yang diajarkan Kiai Sepuh, dan apa yang terjadi setelah ini benar-benar jauh dari nalarnya. Lelaki di depannya berteriak histeris dan terus menghilang seperti asap.
      ***
      Di tempat lelaki suruhan Mbah Gentong, Santi tampak tertidur pulas di samping lelaki yang telah kalah dari pertarungan. Dia tewas seketika di dalam pertarungan yang terjadi antara Bintang dan lelaki itu. Musnahlah sudah harapan Mbah Gentong untuk menggenapkan tumbalnya menjadi 50 gadis perawan.

      ~end~

       (1) Siapa, Le?
      (2) Saya tidak tahu namanya, Mbah. Tapi sepertinya dia calon menantu keluarga Santoso.
      (3) Ya sudah, lakukan seperti biasa saja.
      (4) Ya, Mbah. Segera saya lakukan perintah Mbah. Saya pamit dulu.
      (5) Ya sudah. Ati-ati, Le. Firasat mbah tidak enak kali ini.
      (6) Iya, Mbah.

    • Posted by Pipit Dwie Putri
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Perjalanan

    • Hidup serba berkecukupan dan memiliki segalanya tidak pernah membuatku bersikap sombong dengan orang-orang di sekitarku. Meskipun kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaan mereka, namun tidak pernah sekali pun membiarkan aku hidup hanya diasuh oleh pembantu. Aku juga tidak pernah menuntut mereka menemaniku sepanjang waktu meskipun dalam hati besar sekali keinginanku untuk mengatakannya. Bunda termasuk sosok wanita tangguh yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya. Dia selalu pulang lebih awal daripada jam kerja Ayah. Setiap kali ada masalah yang tidak bisa aku pecahkan sendiri, Bunda selalu membantuku. Ayah juga seorang laki-laki yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Di samping memiliki perusahaan garment, dia juga membuka usaha choco cafe yang sekarang ini aku kelola bersama adik kandungku, Ferry. Semenjak kecil, aku dan adikku dididik untuk menjadi tangguh dan bertanggung jawab. Itulah yang aku pegang hingga saat ini. Kami berdua memiliki banyak kesamaan dalam hal kesukaan dan hobi. Salah satunya adalah mendaki gunung. Bunda mengajarkan kepada kami tentang pentingnya menjaga alam di sekitar kita. Dia juga mengajarkan kalau kita harus melestarikan alam dan karena itulah kami senang dengan kegiatan pendakian gunung. Berawal dari hobi itulah, aku mengikuti kegiatan Pecinta Alam di sekolahku.

      Hari ini adalah pengumuman kelulusan di sekolahku. Setelah ini, aku bisa lebih mengeksplor hobiku yang selama beberapa bulan ini terbengkalai karena persiapan ujian kelulusan. Paling tidak sampai saat penerimaan mahasiswa baru di kampus yang aku inginkan. Aku mulai mempersiapkan kegiatan pendakian yang selama ini sudah direncanakan sebelumnya. Ya, mendaki gunung Kawah Ijen yang menurut orang-orang memiliki pesona alam yang menakjubkan dengan adanya fenomena blue fire −api berwarna biru yang muncul di sela-sela bebatuan di lokasi penambang belerang− yang terdapat pada bibir Kawah Ijen.
      Perjalanan yang aku dan Ferry lalui cukup panjang. Kami harus menaiki kereta api dari Bandung menuju Surabaya, kemudian menggunakan bis untuk mencapai kota Bondowoso. Kurang lebih 12 jam yang telah ditempuh dari Stasiun Bandung hingga Stasiun Gubeng Surabaya. Cukup melelahkan memang, tetapi itu sebanding dengan keindahan alam yang akan kami dapatkan di puncak gunung Kawah Ijen. Menurut info yang aku dapatkan, untuk mencapai Kawah ijen ada dua jalur pendakian, yaitu melalui Kecamatan Sempol, Bondowoso, ataupun melalui Kecamatan Licin, Banyuwangi. Aku menentukan untuk melewati Kota Bondowoso. Meskipun perjalanan yang akan kami lalui lebih panjang jaraknya namun kami akan disuguhi keindahan kebun kopi dan air terjun Banyupahit sebelum mencapai Kawah Ijen.
      Kulirik jam tangan pemberian ayah, waktu sudah menunjukan pukul 21.30, satu jam lagi bis akan memasuki Kota Bondowoso. Sambil menunggu, aku membuka foto-foto Kawah ijen yang kudapatkan dari browsing di google. Keindahan alam yang kulihat di foto cukup membuatku penasaran, bagaimana jika aku melihatnya secara langsung? Mungkin aku langsung terpana dan tak berkedip menatap kawah itu. Aku tiba di Kota Bondowoso pada pukul 22.30. Perjalanan panjang membuatku merasakan lapar. Tetapi rasa itu bisa ku tahan, karena mobil jemputan yang akan membawaku ke Kecamatan Sempol sudah menunggu. Di atas mobil, aku mencari makanan ringan untuk sedikit mengganjal perutku.
      Ternyata jarak yang harus dilalui masih panjang. Perjalanan menuju Kecamatan Sempol ditambah ke Pos Paltuding masih ditempuh selama 2,5 jam lagi. Jika kita sampai di pos tepat waktu, masih ada waktu ½ jam untuk beristirahat dan mencari makan. Kendaraan yang kami tumpangi tiba sesuai rencana di Pos Paltidung pada pukul 1 tepat. Ku langkahkan kaki keluar dari mobil. Hawa dingin mulai menyelimuti tubuhku. Suhu di tempat ini yang mungkin mencapai -5O --entahlah aku tak tahu pasti-- yang menyebabkan aku menggigil. Kami mulai membangun tenda di sekitar pos meskipun banyak penginapan yang disediakan di sana. Aku memasuki tenda dengan membawa makanan yang telah ku beli di rumah makan yang masih buka hingga pagi.
      Pada pukul 01.30, kami mulai mempersiapkan fisik untuk memulai pendakian. Saat-saat seperti inilah yang kami nantikan. Perjalanan panjang yang memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan santai. Rute yang kami lalui cukup menantang, meskipun pada awalnya kami hanya melewati lintasan yang datar. Kemudian kurang lebih setelah 100 meter dilalui, jalan mulai menanjak dengan kemiringan bervariasi antara 250-350. Satu kilometer sudah dilewati, jalan yang dilalui semakin menanjak. Aku semakin susah untuk mengatur nafas. Jam tanganku berbunyi, ternyata sekarang sudah 1,5 jam kami berjalan. Sebentar lagi aku akan tiba di puncak. Semakin tak sabar rasanya untuk segera melihat keindahan alam di atas. Adikku menambah kecepatan berjalannya. Aku mulai kewalahan mengikuti kecepatannya dari belakang. Nafasku mulai tersenggal karena tidak mampu menyaingi langkah kaki panjangnya.
      Kami tiba di puncak tepat pukul 2.30, waktu yang tepat untuk melihat fenomena blue fire di bawah sinar rembulan. Beruntungnya sang bulan masih tetap setia menemani perjalananku. Aku memutuskan untuk melihat blue fire lebih dekat. Kami mulai turun menyusuri tebing kaldera di jalur yang dilalui penambang.

      Kulangkahkan kaki dengan hati-hati di jalan yang terjal. Asap belerang yang tertiup angin mulai menembus hidungku. Aromanya terasa asam dan mulai membuat pedih di mata. Tetapi hal itu tidak membuatku mengurungkan niat untuk melihat keindahan lain yang ada di depanku.
      Saat ini, di depanku terbentang kawah yang sangat luas, panjangnya mencapai 911 meter dengan lebar 600 meter. Kawah yang cukup luas dengan warna hijau tosca dan di sela-sela bebatuan tampak berwarna kebiruan di bawah sinar rembulan. Fajar akan segera tiba, aku tidak mau melewatkan matahari terbit dari puncak gunung. Kami berjalan ke arah timur dan tepat waktu untuk melihat sunrise dari tempatku berdiri. Semakin matahari menampakkan diri, semakin terlihat jelas keindahan Kawah Ijen dari puncaknya. Kawah Ijen terlihat sangat cantik, berwarna hijau toska, dikelilingi dinding kaldera berwarna coklat dan abu-abu membingkai indah pesona alam Kawah Ijen. Sisa erupsi menjadikan dinding kaldera seperti pahatan batu yang terlihat indah dari kejauhan. Di bawah Kawah Ijen terlihat kepulan asap putih dengan belerang berwarna kuning.

      Aku sudah cukup puas melihat semua ini. Kelelahan selama perjalanan dan pendakian terbayar sudah. Kami bergegas menuruni lereng untuk segera beristirahat. Di perjalanan pulang terlihat bunga abadi, edellweis, tumbuh dengan subur di pinggir-pinggir lereng. Keindahan bunga itu tampak jelas di hiasi sinar matahari yang mulai menampakkan diri lebih jelas. Warna kuning dan putih dari edellweis semakin indah dihiasi pancaran sinar matahari keemasan. Setibanya di pos patildung, kami beristirahat sejenak sekedar melepas lelah sebelum kembali beraktivitas di rumah.
      Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dari perkiraanku. Kami tiba di rumah sebelum tengah malam. Lelah mulai menjalari tubuhku. Kurebahkan badan di atas tempat tidurku dan aku mulai terlelap. Aku bermimpi melihat kembali segala keindahan dan pesona alam yang aku lihat di Kawah Ijen.
      ***
      Ujian penerimaan mahasiswa baru semakin dekat. Tidak ada lagi alasan untuk bermain-main lagi. Yang akan aku hadapi bukanlah hal yang mudah. Jika ingin masuk ke fakultas pilihanku aku harus melewati berbagai ujian yang sulit. Tes tulis, wawancara dan juga tes kesehatan beserta psiko tesnya. Inilah yang harus aku lakukan, belajar lebih giat dari biasanya.
      Aku lulus semua tes yang aku jalani. Hari ini adalah hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa Fakultas Keperawatan. Tidak pernah kusangka semua bisa berjalan sesuai dengan rencana. Banyak yang harus aku lakukan setelah ini. Meskipun sulit namun akan indah pada waktunya. Aku bertemu dengan seorang sahabat di kelasku yang pertama. Seorang gadis berperawakan tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan memiliki tahi lalat di hidung dan di bawah bibirnya. Namanya Danica, biasa kupanggil Chaca, dia hidup dengan ibu dan kedua adiknya. Ayahnya sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. Meskipun begitu, ayahnya meninggalkan banyak perusahaan yang akan dikelola adiknya kelak. Sama sepertiku, Chaca sudah biasa sekolah sambil membuka usaha sejak masih duduk di bangku SMA. Bedanya, dia membuka semacam distro yang semua barang-barangnya adalah desain dan pemikiran dia beserta adik-adiknya.
      Berbekal pengalamanku sebelumnya, aku mendaftarkan diri menjadi anggota UKM Pecinta Alam di kampusku. Pada saat kegiatan, aku melihat seorang kakak tingkat yang menurutku sangat baik. Warna kulitnya sedikit cokelat dengan tinggi badan sekitar 175 centimeter. Wajahnya cukup tampan, dan lesung pipinya membuat senyum yang menghiasi bibirnya membuatnya terlihat semakin cute. Tepukan Chaca di lenganku membuyarkan lamunanku. Kegiatan di luar ruangan akan segera dimulai. Kami akan memulai pengenalan alam di sekitar kampus. Melihat tumbuhan mana yang boleh dan tidak boleh dimakan saat survival. Ternyata pengetahuanku semakin bertambah dengan ikutnya aku menjadi anggota pecinta alam. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, waktunya untuk mengakhiri kegiatan dan segera pulang ke rumah.
      Aku menyusuri lorong kampus dan pandanganku teralihkan pada papan pengumuman. Ada lembar pengumuman yang membuat aku bersemangat. Sudah lama aku tidak mengasah kemampuan teaterku sejak saat itu. Aku mengajak Chaca untuk ikut mendaftar besok. Tapi kekecewaan yang aku dapatkan. Dia tidak menginginkan kegiatan lain lagi selain pecinta alam. Dia takut akan mempengaruhi kuliahnya dan bisnisnya. Keesokan harinya kuberanikan untuk memasuki ruang UKM Teater seorang diri. Cukup terkejut melihat seseorang yang sedang duduk di depan meja pendaftaran. Dia duduk dengan manis melayani mahasiswa baru yang meminta formulir pendaftaran keanggotaan. Hal ini akan semakin menarik, pikirku dalam hati. Aku semakin menaruh hati padanya. Belakangan ku ketaui namanya adalah Bintang, nama yang indah sesuai dengan wajahnya. Aku tambah bersemangat dengan segala kegiatanku di kampus selain kuliah.

    • Posted by Pipit Dwie Putri
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -