Archive for July 2015

Kris

    • Kris.
      “Bisakah kau menunggu? Tenang saja, aku akan kembali padamu.” Tangan besarnya membelai rambutku.
      “Baiklah, aku akan menunggu. Tapi, kau harus berjanji kalau kau akan kembali.”
      Lelaki yang memiliki hidung mancung itu tersenyum, mata birunya berbinar. “Iya, aku berjanji.” Ia menunjukkan kelingkingnya di depan wajahku. Kutarik ujung-ujung bibir, lalu menautkan jari kelingking pada kelingkingnya.
      Ya Tuhan, bisakah kau menghentikan waktu sebentar saja?
      ***
      “Kris! Tidak! Beginikah caramu mencintai seseorang?”
      “Iya, begini caraku mencintaimu, Rore.”
      “Kris,”
      ***
      Semua sudah sepuluh tahun. Aku masih menunggu. Begitu bodohnya aku membiarkan dia pergi dan membiarkan diri untuk menunggu. Begitu bodohnya aku karena terlalu percaya padanya. Mana janjinya? Dia tidak kunjung kembali. Atau tidak akan pernah kembali?
      Apakah dia tahu? Aku telah menolak ratusan atau mungkin ribuan lelaki yang menyatakan perasaan cintanya padaku. Semua hanya demi dia, Kris. Orang yang dulu selalu berada di sampingku. Mengusap air mataku ketika aku menangis. Orang yang selalu melakukan hal-hal gila demi membuatku tertawa. Orang yang tidak pernah meninggalkanku ketika aku sedang banyak masalah, merawatku ketika aku sakit, menuliskan catatan pelajaran ketika aku tidak masuk sekolah. Orang yang membuatku jatuh ke cinta dan tidak bisa berpaling pada orang lain.
      Kupandangi sebuah foto yang berbingkai ungu. Di dalam foto itu, dia memamerkan gigi putihnya yang berderet rapi. Tangan kanannya memegang kepalaku, sementara tangan kirinya mencubit pipiku. Kami terlihat bahagia. Padahal, itu adalah hari terakhir kita bertemu. Dan, foto itu diambil sebelum Kris kehilangan kedua adiknya.
      Ah, seandainya saat itu aku tidak membiarkannya pergi, aku tidak perlu menunggu seperti ini. Aku tidak perlu merasa kecewa karena dia belum menepati janjinya. Tidak perlu ada rasa rindu yang tinggi yang perlu aku rasakan. Seandainya waktu bisa diulang kembali. Seandainya.
      “Aurore,” Karena aku terlalu rindu padanya, aku sampai mendengar dia sedang memanggil namaku.
      “Aurore,” Aku menutup telinga. Kris tidak ada di sini
      “Aurore, lihatlah seseorang yang di belakangmu.” Aku menoleh. Aku sampai tidak percaya pada penglihatanku. Itu Kris. Dia masih sama. Mata birunya, hidung mancungnya. Tidak ada yang berubah selain tinggi badannya.
      “Kris, apakah itu kau?”
      Kris tersenyum. Senyum yang sama seperti sepuluh tahun lalu. “Tentu saja. apakah kau tidak berniat untuk memelukku?” Dia merentangkan kedua tangannya.
      Aku segera berdiri dan menghambur memeluknya. Kuletakkan kepalaku di dada bidangnya. Ada yang aneh. Aku mencium aroma bahan kimia yang menempel pada jas yang dikenakannya. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
      Tangannya membelai rambut cokelatku. “Aku sangat rindu denganmu, Aurore. Apakah kau sekarang sudah menikah?”
      Kulepaskan pelukan, “Apa maksudmu? Aku belum menikah! Aku menunggumu kembali, Kris!”
      “Kau menepati janjimu, Aurore. Ayo, kita jalan-jalan sebentar untuk melepas rindu. Bagaimana jika kau kubelikan es krim rasa coklat? Kau masih menyukainya, bukan?”
      Kami berjalan berdampingan. Dia menggenggam tanganku sangat erat. Seolah aku akan pergi jauh darinya. “Tanganku sakit, Kris.” Dia melonggarkan genggamannya. “Maaf,”
       Kedai es krim sudah di depan mata. Langkah kaki kami terhenti. “Kau tunggu di sini ya, Aurore. Akan kubelikan es krim favoritmu.”
      Aku mengangguk. Lagi-lagi, aku harus menunggu. Aku merasa ada yang berbeda dari Kris. Aku tidak tahu apa yang berbeda. Entahlah, ini sulit untuk dijelaskan. Aku hanya merasa, aura Kris berbeda. Saat dipelukannya tadi, aku tidak merasakan kehangatan apa pun. Tidak sama seperti dulu.
      Ah, aku hampir lupa kalau itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Wajar saja kan, jika seseorang berubah? Sepuluh tahun itu, bukan waktu yang sebentar, bukan? Atau, perubahannya itu hanya perasaanku saja?
      “Ini es krim kesukaanmu,”
      Aku menoleh, kemudian tersenyum, “Terimakasih Kris. Kau tidak lupa apa yang kusukai.”
      “Itu wajar Aurore. Mana mungkin aku melupakan kesukaan orang yang kucintai.”
      ***
      Kepalaku pusing. Tanganku terikat. Hei, aku ada di mana? Bau apa ini? Ini seperti bau bahan kimia.  Perlahan-lahan mataku terbuka.
      “AAAAAAAAA” Aku menjerit sejadi-jadinya. Ini mimpi kan? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Aku yakin, ini pasti hanya sebuah mimpi. Bangun, Rore. Bangun. Kupejamkan mata erat-erat, berusaha untuk tidur. Dan saat bangun, aku sedang berada di rumah. Aku yakin, ini pasti hanya sebuah mimpi.
      ***
      Aduh, tanganku masih terikat. Tidak! Ini bukan mimpi. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang mengikatku di sini? Aku tidak ingin membuka mata. Pemandangan yang ada hidapanku benar-benar bisa membuat jantungku copot.
      “Aurore, bangunlah. Aku tahu kau sudah sadar.” Itu, itu suara Kris.
      Benar, itu suara Kris. Aku pasti sudah aman. Kris pasti sudah menyelamatkanku. Ia hanya lupa untuk melepaskan ikatan tanganku. Tapi, bau ini masih sama seperti tadi. Kuberanikan diri untuk membuka mata pelan-pelan.
      “AAAAAAAA”
      Ruangan ini masih sama seperti tadi! Tidak mungkin!
      “Jangan takut Aurore. Ini aku, Kris. Kenapa kau menjerit?”
      Bodoh! Bagaimana aku tidak menjerit? Aku melihat Kristal dan Kristie. Mereka berada di sebuah lemari kaca. Aku yakin, aku tidak salah lihat. Itu jelas Kristal dan Kristie. Adik kembar Kris yang meninggal sepuluh tahun lalu. Kristal meninggal karena terkena kangker. Sementara Kristie meninggal bunuh diri karena depresi kehilangan kembarannya. Yang di hadapanku ini pasti adalah mayat. Mayat yang diawetkan.
      Siapa yang melakukan ini? Kris, tidak mungkin. Ia tidak mungkin tega melakukan semua ini. Kris adalah orang yang sangat baik hati. Ia tidak mungkin sekejam ini. Lalu, kenapa Kris ada di sini?
      “Jangan menangis, Aurore. Kau tidak perlu takut. Kris pahlawanmu, ada di sini.” Ia mengusap air mataku.
      “Kris! Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang membawaku kemari?”
      Pria yang memiliki hidung mancung itu mundur beberapa langkah. “Aku.” Jawabnya sambil tersenyum.
      “Tidak! Jangan berbohong, Kris!”
      Pria bermata biru itu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang menyeramkan. Ini bukan Kris. Kris tidak mungkin seperti ini! Bagaimana bisa, ia melakukan semua ini?
      “Tentu saja aku tidak berbohong. Aku yang melakukan semua ini. Aku melakukan semua ini karena aku mencintai Kristal dan Kristie. Dan, kau Aurore,”  telunjuknya diarahkan padaku. “Akan bernasib sama seperti mereka.
      “Kenapa kau melakukan ini padaku, Kris? Aku telah menunggumu bertahun-tahun! Aku mencintaimu dengan sepenuh hati! Dan inikah jawabannya?”
      “Aku melakukan ini karena aku mencintaimu Aurore,”
      “Kris! Tidak! Beginikah caramu mencintai seseorang?”
      “Iya, begini caraku mencintai seseorang.”
      “Kris,” buliran-buliran bening keluar dari sudut mataku. Pandanganku buram. Hatiku hancur sehancur hancurnya. Tubuhku lemas. Keringatku bercucuran. Ketakutan, kekecewaan, kesedihan. Semua berbaur menjadi satu. Ini tidak mungkin, tidak mungkin.
      “Sebentar lagi kau akan mati. Aku sudah memasukkan racun dalam tubuhmu. Es krim yang kau makan tadi, ada racunnya. Kau akan menjadi milikku seutuhnya, Aurore.”
      Tidak mungkin.
      “Jika kau berpikir aku telah berubah, kau salah besar! Aku memang sejak dulu seperti ini. Hanya kau saja yang tidak mengetahuinya.”

      Tidak mungkin.
    • Posted by Refa Annisa
    • 0 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -