Archive for April 2015

Panggil Saja Aku Laki-laki

    • Di jalanan, di pasar, di tengah-tengah keramaian, di apotik yang menjual alat kontrasepsi, di setiap diskusi para ibu-ibu arisan, tidak hanya ibu-ibu tetapi juga para mahasiswi juga pernah, paling tidak pernah membicarakannya. Semuanya begitu, membahas keperkasaan laki-laki dan kelaki-lakiannya. Tidakkah aku tersinggung, atau sedang tidak pura-pura tersinggung, atau hanya pura-pura tersinggung? Tetapi, kadang mulut perempuan ini perlu disumbat dengan kekuatan laki-laki, atau kita sumbat dengan kelaki-lakian kita. Mereka sudah banyak omong kawan!
      Suatu hari di Cassanova.
      Gelak tawa para perempuan setengah tua yang kehabisan cara untuk membelanjakan uang. Berjuta-juta mereka habiskan untuk bisa krimbat, menikur, pedikur, rawat wajah, naikkan bember dan sedot lemak. Semuanya hanya untuk satu tujuan: agar suami mereka bakal betah di rumah, tidak serong kanan juga ke kiri, semuanya agar suaminya tetap lurus ke depan. Tapi terkadang hidup tidak melulu harus ke depan. Tahulah sendiri.
      Suatu hari di rumah.
      “Mau kemana, Pa?” setiap pagi mungkin inilah yang paling membosankan. Laki-laki mana atau pria yang mana yang suka dengan pertanyaan model robot? Semua laki-laki dan pria bosan mendengarnya, apalagi aku yang ditakdirkan laki-laki. Apakah semua laki-laki dan pria, juga aku, boleh merasakan bosan? Mengapa pertanyaannya bukan “mau kemana, Ma?” kalau seperti itu kan laki-laki dan pria, juga aku, tidak harus berbosan ria. Namun, kalau aku yang bertanya itu, insya Allah, jawabannya akan selalu sama sampai Kiamat, tidak berubah: “Mama mau ke salon, Pa.” Tapi, seandainya aku, laki-laki, atau pria mana pun yang ditanya jawabannya akan selalu berbelit-belit. “Anu, Ma….anu…”
      “Anu Papa, kenapa?”
      “Dua jam lagi ada klien Papa yang harus dibantu, Ma. Papa tak mau dia harus repot-repot keluar kota mencari bantuan.”
      Suatu hari di kantor.
      Lelah juga kalau harus menunggu lampu di pinggir itu menjadi hijau. Padahal pilihannya hanya tiga, ada merah, ada kuning, dan juga ada hijau. Tapi kenapa yang muncul hanya ada dua: merah dan kuning. Itu pun kalau tidak aku perintahkan menjadi hijau, lampu itu tidak pernah menjadi hijau. Tahukah kamu siapa yang memegang kendali itu. Ya, dialah istriku. Menjadi operator setalah aku melamarnya di masjid. Tidak pernah sekalipun dia menyalakan lampu hijau untukku.
      “Kalau Papa ingin lampu hijau setidaknya Mama juga ingin menikmatinya, Pa.” Begitu cakapnya. Ah, masa bodoh dengan istriku. Dia pun tak pernah melayaniku dengan lampu hijau.
      Begitu juga di kantor, pilihannya hanya dua. Semua harus sesuai dengan prosedur kantor. Meeting ini, meeting itu, dan kertas yang harus aku tanda tangani. Tapi, aku harus main kucing-kucingan dengan istriku kalau mau menandatangani sekretaris pribadi di kantor. Sebagai MoU tentunya.
      “Mas, bisakah kita makan malam hari ini, istri Mas sedang di Cassanova kan?” SMS dari sekretarisku terpaksa harus mengubah lampu kuning dan merah menjadi hijau. Asyik benar hidup ini.
      Suatu hari di Cassanova
      Bla….bla…@**&^^%#@**&><????!!!!&%$#*&^%$#@!!##@%>>>~~~$#......ngomogin apa sih mereka….susah banget.
      Susah atau mudah mestinya sebuah relativitaskan? tapi kenapa setiap kesusahan selalu mereka anggap sebagai suatu yang mengerikan dan susah untuk dipecahkan dan jangan sampai suatu saat nanti kita harus berurusan dengannya. Kesusahan-kesusahannya mungkin hanya berkisar bagaimana membuat suami betah di rumah atau bagaimana cara memanjakannya. Entah di ranjang, entah di meja makan dengan menu-menu baru yang mereka sadur dari majalah kewanitaan. Toh, semuanya akan hilang, setidaknya untuk saat ini. Apalagi kalau mereka sudah ngerumpi di Cassanova.
      Suatu hari di rumah
      “Papa,kok baru pulang…?”
      “Mama juga nggak biasanya pulang selarut ini.”
      Mama. Coba pikirkan sejenak. Mengapa setiap kali pulang dari ngantorin sekretaris pribadi di kantor wajah dan tubuh istriku ada yang berbeda. Lebih menggairahkan. Ah, Mama kita selesaikan urusan kita malam ini.
      Suatu hari di Cassanova.
      Suatu hari di kantor.
      Suatu hari di rumah.
      Suatu hari di Cassanova. Ada istriku dan para perempuan setengah tua lainnya.
      Suatu hari di kantor. Ada aku dan sekretaris pribadi.
      Suatu hari di rumah, ada istri dan kelaki-lakianku.
    • Posted by siska
    • 3 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Wasiat Lazarus

    • WASIAT LAZARUS
       oleh: karasuhibari
      .
      .
      .
                      Ini bukan ingatanku, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas, seakan aku sendiri yang berada di sana. Ini adalah ingatan "kami". Hamparan warna biru bagai lapis lazuli, kilat keperakan dari tubuh-tubuh bersisik yang bergerak cepat dan seirama, para ganggang yang melambai perlahan sambil menyapa. Semua terbentang di sana, ketika waktu masih menjadi sesuatu yang statis bagi “kami”… 

      Ah, bukan di sana. Tapi di sini, terjadi di masa lampau, jadi mungkin boleh saja kalau kusebut di sana. Entahlah. Ingatan “kami” bercampur-baur menjadi kesatuan—kesadaran yang padu. “Aku” bahkan tak tahu di mana kedudukanku pada saat itu. Apakah aku berenang sebagai pemimpin di barisan paling depan? Atau hanya mengikuti komando di bagian tengah? Bisa jadi itu aku yang sedang terbirit-birit mengimbangi gerakan di belakang sana!

      “Hati-hati, kawan. Ada bayangan kapal di permukaan.”

      Peringatan itu bergetar dari dalam kawanan di ujung sana. Kawanan itu bagaikan gumpalan besar berwarna kuning dan biru metalik. Gerakan mereka lincah dan tangkas, tanpa jeda. Kawanan itu melesat dalam koreografi teratur, masuk jauh ke perairan yang lebih dalam.

      Aku mendengar peringatan mereka, tapi tak bisa melihat apa yang mereka lihat. Tentunya karena aku bukan bagian dari kawanan. Bukan bagian dari kesadaran mereka. Aku memperhatikan saja pergerakan mereka. Toh, aku masih dalam jarak aman dari permukaan. Tubuhku sudah lama dijangkiti “Dewi Perak”—entitas asing yang tiba-tiba saja muncul di perairan sekitar sini. Gara-gara dia, siripku sudah sangat sulit untuk digerakkan sesuka hati, jadi aku hanya bisa mengambang mengikuti arus. Aku hanya memaksakan diri kalau ada hal yang benar-benar mendesak. Pemangsa, misalnya. Atau jaring dari kapal-kapal manusia.

      “Hati-hati, di sana daerah Dewi Perak.”

      Dewi Perak bekerja dengan cara yang aneh. Tak ada yang tahu kapan sulur-sulur keperakan miliknya menyusup dalam tubuh. Tapi ketika sulur itu sudah menyusup, tiba-tiba tubuh bagai dikendalikan oleh si Dewi. Lalu, tiba-tiba juga aku jadi bisa merasakan di mana sulur-sulur lain milik Dewi Perak berada.

      Aku mengirimkan resonansi peringatan yang dibalas dengan bunyi kibasan ekor dan riak-riak gelombang. Tahu-tahu kawanan itu sudah melesat kembali, berenang-renang di sekelilingku yang mengambang tanpa daya.

      “Wah, bahaya. Bahaya.”
      “Dewi Perak itu cantik, tapi menakutkan.”
      “Bagaimana caramu bertahan digerogoti olehnya?”
      “Ah, gara-gara dia, kau tinggal sendirian, ya? Tak bisa dibayangkan!”
      “Ngeri, ngeri!”

      Hantaman resonansi itu datang bertubi-tubi. Berisik. Sedikit membuatku terngiang oleh suara-suara dari masa lalu, ketika jenisku masih banyak. Dulu, tak pernah ada istilah “aku”. Semua menyebut dirinya “kami”. Ingatan kami satu, kehendak kami satu, pikiran kami satu. Tak ada masa lalu, masa sekarang, atau masa depan. Semua lebur menjadi satu.

      Lalu, Dewi Perak pun datang dan membuka tabir “masa depan” kami. Ia datang dan meninggalkan bagian dirinya dalam tubuh kami, melemahkan kami dari dalam…

      “Kau yakin tak ada jenismu yang meninggalkan telur di suatu tempat?” sebuah pertanyaan dari kawanan yang sedang berputar-putar itu menggelitik tubuhku, “Kalau ada, kau kan bisa membangun kawananmu lagi.”

      Telur, ya… Aku juga sudah lama mendambakannya. Kata ganti “aku” terasa lebih sepi dibanding “kami”. Kalau “aku” sendirian, mana bisa menghasilkan telur yang bisa menetas. Beda dengan “kami”…

      “Kalaupun ada, ingatanku pasti akan menunjukkannya.”
      “Benar juga.”

      Lalu, tiba-tiba tubuhku mengejang dan menggelepar beberapa saat. Dapat kurasakan jari-jemari Dewi Perak mencengkeram bagian dalam tubuhku, mengikat seluruh selku, kemudian menggerakkannya sesuka hati. Aku hampir pasrah. Aku capek melawan. Perlawanan akan membuat Dewi Perak makin kuat dan aku akan kalah semakin cepat. Persis seperti kawananku. Satu-persatu kalah dan mati hingga “kami” berubah menjadi “aku”. 

      Aku, seorang diri.

      “Bertahanlah!”
      “Itu Dewi Perak! Ayo pergi!”

      Kawanan itu berdesing ke sana kemari dalam panik. Tubuh-tubuh mereka melesat cepat melewati sinar matahari yang menembus air, membuat sinar itu terlihat bagai cahaya lampu kapal yang berkedip-kedip. Tubuhku masih kejang-kejang hebat dalam keributan itu. 

      Tak lama kemudian, semua menjadi hening. Kawanan sudah pergi dan kejangku sudah berhenti. Hanya bunyi sunyi yang bergema nyaring. Perlahan, warna lapis lazuli di sekelilingku mulai dirambati oleh sulur-sulur berwarna perak. Ia mengambang dan melingkar, nyaris transparan. Tak larut oleh arus air, justru menunggangi arus itu seakan dialah penguasa segalanya. Itulah Dewi Perak.

      Aku mengambang dalam diam, tak lagi punya rasa takut. Toh, sulur Dewi Perak sudah ada dalam tubuhku entah sejak kapan. Aku sudah jadi budaknya. Tak ada bedanya kalau ketambahan beberapa sulur lagi.

      “Kau masih di sini.”
      “Kau juga.”
      “Aku tak bisa mati. Air bukan lawanku, bumi tak mau menerimaku.”

      Cengkeraman dalam tubuhku mulai terasa lagi. Ekor dan siripku bergerak-gerak liar di luar kendaliku. Gerakan-gerakan itu membuat tubuhku terbawa makin dekat ke permukaan. 

      Sementara itu, bayangan hitam lambung kapal melenyapkan tiap berkas sinar matahari yang tersisa. Tanpa sinar, sulur-sulur keperakan itu terlihat makin pekat. 

      “Daripada kau sendiri tanpa kawanan, coba saja minta bantuan mereka?”

      Aku mendelik pada si Dewi Perak. Dapat kurasakan sulur-sulurnya yang lain mulai merambatiku, mengacaukan tiap sel dalam tubuhku. Ingatan bahwa lambung kapal itu berbahaya mulai menguasaiku. Alarm tanda bahaya dalam pikiranku berdering nyaring. Segala daya yang sebelumnya sudah kupasrahkan, mulai menggeliat lagi karena dipacu rasa takut. Aku memaksa sekujur tubuhku untuk menuruti kehendakku lagi, tapi sulur Dewi Perak sudah terlanjur berakar di dalamnya.

      “Kau mau membunuhku?!”
      “Ya tidak. Kau, kan tinggal sendiri. Sayang, dong.”

      Suara riak yang asing terdengar dari permukaan. Aku hanya menyaksikan dengan ngeri saat melihat jaring sudah terbentang di atas sana. Tubuhku menggelepar makin hebat. Semakin kuat aku melawan, semakin kuat juga cengkeram sulur dalam tubuhku. Kilas balik dari tiap keping ingatan “kami” tentang jaring, semua berkelebatan dalam kepalaku. 

      “Tidak, tidak, tidak!”

      Dewi Perak hanya berenang santai. Sulur-sulurnya bermain-main di antara jaring yang mulai mengukung kebebasanku. Dia berputar dan menari mengikuti gelombang air saat jaring diangkat kembali.

      “Percayalah. Saat mereka sadar kau hanya tinggal sendiri, mereka akan mencari cara untuk mengembalikan kawananmu.”

      “Bagaimana kau bisa yakin?! Apa jaminannya?!”

      Jaring terangkat makin tinggi. Aku bisa merasakan kepekatan di sekelilingku mulai berkurang. Udara terasa tipis. Indra pernapasanku mulai terasa panas. 

      Sela-sela jaring yang jaraknya sempit itu ditembus dengan mudah oleh sulur-sulur Dewi Perak yang terbuat dari ribuan partikel kecil. Semua kembali ke air, berputar dan mengamati sementara aku terperangkap dan diseret menjauhi habitatku.

      “Tentu saja aku yakin…” kata-kata si Dewi Perak terputus selama beberapa saat, “… karena merekalah yang menciptakan aku.”

      ---------------------------------------------

      Lazarus Taxon!”

      Seorang pria setengah baya berteriak hampir girang. Matanya bersinar saat dia menatap rekannya yang jauh lebih tua. Tatapan rekannya itu masih lekat pada ikan yang menggelepar lemah dalam jaring.

      “Luar biasa! Spesies ini harusnya sudah punah karena kontaminasi DDT dari penyemprot hama. Tapi dia ada di sini! Spesies yang kembali, Lazarus Taxon!”
      “Ambil air! Masukkan dalam box!”

      Si ikan pun dimasukkan kembali ke dalam air. Butuh beberapa saat hingga insangnya terlihat bergerak normal lagi. Meskipun begitu, ikan itu masih menggelepar tak tentu. Beberapa kali tubuhnya menabrak dinding box dari plastik itu.

      “Tak salah lagi. Ini tanda-tanda keracunan DDT…”
      “Tidak apa. Selama ada dia, kita bisa melakukan sesuatu. Mungkin membuat obat, atau membuat kloning dari DNA-nya…”

      Sementara dua ilmuwan itu sibuk berdiskusi, mesin kapal kembali dinyalakan. Gelepar si ikan perlahan berhenti, lalu ia mengapung pasrah dengan insang yang membuka dan menutup perlahan. Mata si ikan yang selalu tampak kosong itu mengawang pada lautan warna biru muda di atasnya, serta warna putih yang kini ada di sekelilingnya. 

      Tak ada lagi warna lapis lazuli. Tak ada lagi celoteh ramai kawanan ikan. Tak ada lagi gaung sunyi arus air. Tapi si ikan berusaha menyimpan ingatan tentang pemandangan baru ini baik-baik.

      Kalau si Dewi Perak benar… maka tak lama lagi, “aku” akan kembali menjadi “kami”… Ingatan penting ini tak boleh hilang, "kami" akan membaginya. Ingatan yang akan terus ada, berjalan seiring arus waktu selama “kami” masih ada…

      **END**



    • Posted by karasuhibari
    • 7 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Deja vu dalam Hujan

    • Déjà vu dalam Hujan
      Oleh : Refa Ans
      Semakin jelas seseorang mengetahui apa yang akan terjadi padanya, maka semakin tidak jelaslah kecepatannya untuk berubah pikiran.
      ***
      Semua sudah berhasil diingatnya. Ya, semua, tentang ingatan janggal yang menghantui, tentang pemuda itu, dan kisah yang kembali berputar. Kisah yang sebetulnya sempat terjadi, tetapi tertidur sekian lama. Yang masih dipenuhi ketidakpastian perasaannya.
      Kini, kisah itu kembali ke dalam ingatan masing-masing dari mereka.
      ***
      Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu. Aku mencintaimu.
      Lagi-lagi ada suara di dalam kepalanya. Suara yang sama, yang selalu menghantuinya. Kilasan-kilasan tali bersimpul lasso yang menggantung dan bergoyang turut menghantuinya. Apa itu?
      Hal itu, hal yang sudah menghantuinya sampai saat ini.
      ***
      “Jadi, selama ini aku tidak cantik untukmu, Nate, sehingga kaubiarkan tentang pernikahan itu?” tanya seorang gadis dengan kesal. Di pelupuknya kini sudah menggenang airmata. Iris cokelatnya kini menatap penuh selidik, menuntut tentang jawaban atas pertanyaan barusan. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai.
      “Kamu selalu salah mengerti, Jade.” Pemuda itu berjalan mendekat, tangannya terangkat untuk membelai surai pirang si gadis. Berharap dengan begitu ia bisa menenangkannya dari berita pahit tadi. Ia menelan ludah yang seketika menjadi sangat sulit untuk masuk ke batang kerongkongan. Mendadak rasa cairan saliva di mulutnya menjadi sepahit berita itu. “Aku selalu mencintaimu, Jade, hanya saja begitulah yang harus kau—juga aku—terima.”
      Buliran bening yang tadi menggenang langsung meluber. Luluh. Menganak sungai di kedua pipi gadis itu. Ia lalu memeluk pemuda itu dengan erat, dan menumpahkan segala kesah di pelukan itu.
      “Aku tidak ingin dinikahkan dengannya, Nate. Aku hanya ingin bersamamu.”
      ***
      Siapa itu Jade?
      Berkali-kali gadis berambut pirang itu mencari tahu nama yang terus berkelindan di kepalanya. Sampai saat ini, ia tidak pernah mengerti alasan nama itu terselip dalam bayang-bayang hidupnya. Memang ada teman sekolahnya yang bernama Jade ketika masih berada di sekolah dasar dulu, tapi sama sekali tidak ada hubungan dengan kelindan nama di benaknya itu.
      “Jody, berhenti, jangan biarkan hal itu semakin lama semakin menguasaimu.” Ia mempercepat langkah di koridor sekolah yang semakin lama semakin ramai di jam pulang sekolah ini.
      ***
      “Kita harus mengakhiri semuanya, Nate.” Dengan tatapan kosong gadis berambut pirang itu berujar lantang. Pikirannya sudah tidak jelas ke mana arahnya. Kantung matanya kini tercetak jelas. Yang ia tahu saat ini, ia tidak ingin dipisahkan dari Nate. Selamanya, ia ingin hidup bersama dengan pemuda itu, karena pemuda itulah yang dicintainya.
      Hanya gumaman yang keluar dari bibir Nate. Pikirannya makin berantakan. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Dirinya memang mencintai Jade, sebanyak gadis itu mencintainya. Namun, percayalah, bagaimanapun dirinya berjuang, ia tidak bisa membuat perjodohan Jade dibatalkan hanya karena ia ingin menikahi Jade.
      “Ayo kita mati bersama, Nate. Dengan begitu, kita akan selalu bersama.”
      Nate hanya terdiam ketika mendengar retasan kata dari bibir Jade itu, meski sebenarnya ia begitu terkejut ketika mendapati Jade mengeluarkan perkataan yang sama sekali tak diduganya. Maksudnya…, bunuh diri?
      ***
      Bayangan gadis itu berkali-kali terlintas di benaknya. Sudah ratusan kali, bahkan. Ia tidak pernah tahu alasan bayangan seorang gadis pirang yang berlari seakan meninggalkannya di tengah hutan saat hujan terus muncul di ingatannya. Siapa dia? Apa alasannya?
      Ingatan itu ada entah sejak kapan, dirinya tidak pernah tahu secara jelas ketika ingatan itu mulai tertanam dalam memorinya. Yang ia tahu, tiba-tiba saja ada sosok gadis pirang dengan pakaian abad ke-20 itu di otaknya, yang sedang berlari menjauh.
      Guh. Pemuda itu menghembus napas kasar sambil menyibak poni pirangnya ke belakang.
      “Mungkin ini semua hanya karena aku lelah.” Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Ya, saat ini aku hanya lelah.” Terdapat penekanan di kata terakhir, ia meyakinkan diri lagi sebelum kembali fokus ke buku di pangkuannya. Angin berembus menggoyangkan rambut pirangnya.
      ***
      Ini jalan yang mereka ambil, sebuah jalan pintas menuju akhir.
      “Nate, jangan khawatir, kita pasti akan bersatu kelak jika ada benang merah yang menghubungkan jari kelingking kita. Kita pasti akan terlahir kembali dan bersatu,” ujar Jade pelan dengan senyum pasrah dan tatapan yang kosong. Ia menunjukkan kelingking kanannya ke depan muka Nate persis. Sejenak ia mengerling, melirik ke langit yang makin lama makin menggelap dan tanah sepuluh kaki di bawahnya.
      Nate tersenyum kecil mendengar perkataan Jade barusan. “Maksudmu, reinkarnasi?” Ia tertawa miris dalam hati ketika berujar. Apa yang bisa diharapkan dari kelahiran kembali seperti itu? Bagaimana jika keadaannya tidak jauh berbeda dengan saat ini, apa artinya itu? Matanya memperhatikan tali yang ada di tangannya, tali bersimpul lasso yang tadi ia ikatkan ke pohon ini.
      “Terkadang ada hal yang hanya bisa kita mengerti dengan cara berkorban, Nate.” Seulas senyum ceria terpoles di wajah Jade membuat siapapun yang melihat gadis itu dan Nate di atas pohon tidak akan mengira niatan mereka untuk bunuh diri.
      Pemuda itu lagi-lagi mengamati tali bersimpul lasso secara bergantian miliknya dan milik Jade. Pikirannya berkecamuk banyak hal. Sungguhkah dirinya akan benar-benar mati nantinya? Bagaimana reaksi dari orang tua juga teman-temannya? Lalu bagaimana berita tentangnya yang seharusnya nanti mewarisi tahta kerajaan, apa kata rakyatnya? Senyum yang tipis tadi menjelma menjadi senyum kecut.
      “Tenang, Nate. Semuanya akan baik-baik saja.” Jade langsung menepuk bahu pemuda yang kini duduk di dahan lain pohon tempatnya duduk. Seulas senyum menenangkan terulas di bibir gadis bermata hijau itu. “Hanya ini yang bisa kita lakukan jika ingin bersatu, karena kita adalah saudara sedarah. Mati dan menunggu untuk lahir kembali.” Air mata gadis berambut pirang tersebut langsung mengalir turun.
      Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Nate. Ia hanya tersenyum simpul.
      “Jadi, apa kau sudah siap, Jade?”
      ***
      Langkah Jody langsung terhenti ketika matanya tertumbuk pada pemuda berambut pirang itu. Bayangannya semakin jelas. Kini ia bisa mengingat jelas satu nama lain.
      Nate.
      Seketika ia merasa bahwa di sini hanya ada dirinya dan pemuda yang ia tahu namanya adalah Nathan, bukan Nate.
      ***
      “Jadi, apa kau sudah siap, Jade?”
      Jade tidak langsung menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut Nate. Ia terdiam sambil menatap kakak laki-lakinya tersebut. Ia lalu hanya mengangguk lemah.
      “Kalau begitu, ayo kita kalungkan ke leher kita.” Nate memimpin aksi bunuh dirinya bersama sang adik yang ia cintai—bukan mencintainya sebagai seorang adik, tapi seorang wanita. Tidak butuh waktu lebih dari sepuluh detik untuk mendapati tali bersimpul lasso itu terkalung di lehernya dan Jade.
      Jade menatap ke lehernya yang sudah dikalungi tali tersebut. Sebentar lagi aku akan mati, pikirnya sambil terlongo. Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang ketakutan itu, ketakutan yang dirasakan hampir semua orang; takut akan kematian.
      “Jade, mungkin ada kata-kata terakhir yang ingin kauucapkan untuk dirimu sendiri atau untukku yang akan mendengarkannya?” Nate menoleh ke arah Jade. Gadis itu tampak kaget ketika ia berkata seperti itu.
      “Eh? Kata terakhir?” Jade tampak berpikir. Ia tidak tahu yang akan dikatakannya sebagai kata-kata terakhir. Di kepalanya kini justru terbayang ketidakpercayaan bahwa sebentar lagi dirinya akan bertemu malaikat pencabut nyawa. “Tak ada, Nate.”
      “Baiklah. Aku juga tidak akan mengatakan apapun.” Seulas senyum terulas di bibir Nate. Senyum yang menenangkan, seakan mengatakan bahwa setelah ini semua pasti baik-baik saja.
      Jade justru semakin ragu untuk melakukan ini, walaupun tadi ia amat yakin. Rasa takut semakin menenggelamkannya. Pikirannya berandai-andai makin liar apa yang terjadi setelah ini.
      “Semuanya akan baik-baik saja, kan, Nate?”
      ***
      Pemuda berambut pirang itu hanya menatap gadis yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia tidak mengenal Jody—gadis itu—dengan baik. Hanya sekadar tahu sebagai teman satu angkatan.
      Nathan lalu berdiri. Matanya dan Jody bertemu. Mata hijau itu membuatnya ingat akan seorang gadis yang tersenyum begitu menenangkan. Juga gadis yang berlari itu.
      Perlahan, rintik-rintik hujan mulai turun. Keduanya hanya terdiam di antara siswa-siswi yang berlarian untuk berteduh.
      ***
      Pemuda itu mengangguk meyakinkan, walaupun di dalam hatinya sama sekali tidak yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Ia hanya ingin menuruti kemauan gadis itu, satu-satunya orang yang ia cintai. Keinginan yang juga ia miliki, bersatu dengannya meski harus mati dulu dan menunggu waktu bereinkarnasi.
      “Kamu sudah siap?”
      Jade hanya mengangguk ketika mendengar pertanyaan Nate itu. Semakin bersiap untuk terjun ke bawah kini ia justru semakin takut akan kematian. Keyakinannya yang tadi bulat sudah menguap entah ke mana hanya tersisa perasaan takut akan kematian, perasaan yang tak pernah berkelindan sedikit pun di kepalanya.
      Nate lalu menyodorkan tangannya, mengajak Jade untuk terjun bersama. “Aku tahu, kaulah yang merencanakan semua ini, tapi biarkan aku yang memimpinnya.” Seulas senyum yang manis sekali terulas di bibir Nate.
      Gadis pirang itu hanya menggeleng lemah. “Tidak usah, Nate.”
      “Baiklah. Kau siap? Biar kuhitung, ya.” Pemuda itu lalu menarik napas dalam-dalam. Detik-detik terakhir ini terasa begitu lambat baginya. “Hitungan ketiga, ya. Satu…, dua…, tiga.”
      Hanya Nate seorang yang terjun. Jade justru menatap kakak laki-lakinya dengan airmata mengalir. Dengan gesit ia kemudian turun. Berdiri tepat di dekat kaki kakaknya yang menggantung, yang sedang meregang nyawa.
      “Nate, maafkan aku.”
      Hujan langsung mengguyur keduanya.
      ***
      “Jade.”
      “Nate.”
      Keduanya memanggil sebuah nama yang sama sekali bukan nama mereka. Ya, sebuah nama yang tiba-tiba terlintas dalam benak mereka. Nama yang sebenarnya milik mereka beberapa ratus tahun yang lalu itu.
      Mata mereka yang berwarna senada itu bertemu. Hujan yang kini mengguyur sama sekali tak mengusik mereka. Mereka sama-sama berkutat dalam ingatan yang pernah mereka miliki.
      ***
      Nate menatap Jade nanar. Dengan napas sesak, ia mengatakan sesuatu. Entah ini bisa disebut kata terakhir atau apa.
      “Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu.” Nate menangis, tetapi Jade sama sekali tidak tahu. Tangisnya bersembunyi di balik hujan “Aku mencintaimu.”
      Jade hanya termenung sambil menangis menatap Nate ketika mendengar perkataan itu. Rasa bersalah kini bergumpal di dadanya. Mengapa kini dirinya yang berubah pikiran, padahal tadi ia yang merasa paling yakin bahwa ini adalah cara terbaik?
      “Maafkan aku, Nate,” ujar Jade sangat lirih, tenggelam dalam rinai hujan yang turun dengan derasnya.
      “Pergilah….”
      Itu kata terakhir yang Jade dengar sebelum berlari pergi. Melaporkan bahwa kakaknya bunuh diri, tanpa ia menjelaskan penyebab sang kakak bunuh diri.
      Itu tetaplah rahasianya dan Nate.
      ***
      “Kau…, mengingatnya?”
      “Ya,” Jody menjawab dengan mantap. Ia bisa akhirnya mendapat jawaban dari kalimat yang selama ini terkesan mengganggunya. Kalimat yang sebenarnya berisi penuh harapan. “Kurasa kau juga.”
      “Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu. Aku mencintaimu,” ucap keduanya bersamaan dalam keheranan.
    • Posted by Refa Annisa
    • 6 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -