Posted by : Unknown May 31, 2015



SAYANG-SAYANG DITIMPA MALANG
Oleh: Gyta Ryandika
...ayam kampus, ayam siapa?
Entah apa yang harus aku lakukan kali ini. Berhenti atau menyelesaikan hingga akhir? Jika dibatalkanpun rasanya tidak mungkin. Tamu undangan yang tak lain tetangga, kerabat, dan teman sudah berkumpul hendak menonton drama ini sampai akhir. Walau tak banyak dari mereka yang hadir.Aku menghela napas panjang, menoleh ke arah perempuan tengah baya yang jaraknya tiga meter dari tempatku berdiri. Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala. Seketika rasa ragu buyar dari hadapanku. Hanya nama Amira bin Dardjo yang menjadi perhatian utamaku.

Aku berjalan, menuju altar tempat si penghulu tua itu menantiku. Aku mencoba tersenyum, walau tidak dipungkiri rasa cemas menggelayut manja di pikiran. Sebagian dari mereka berkasak kusuk, mencoba agar aku tidak mendengarnya. Tapi aku yakin, mereka menggunjingku. Masa bodoh dengan hal itu. Yang penting ibuku masih tetap tersenyum. Hanya perempuan itu yang aku percaya, sejak bapak mati bunuh diri karena penyakit gilanya.
Sepuluh tahun lalu saat usiaku lima belas, bapakku terserang syarafnya. Aku masih ingat bapak habis bertengkar dengan ibu, entah masalah apa, yang jelas mereka saling memaki dan memecahkan barang.  Setelah itu bapak stress berat. Di ajak bicara tidak pernah nyambung. Ia menyebut nama Asih –nama ibuku- berkali-kali, sesekali juga terlihat berbicara sendiri. Bagusnya, bapak tidak pernah ngamuk seperti orang gila lainnya. Setahun kemudian aku menemukan bapak mati dengan menggorok kerongkongannya.
“Saya terima nikahnya Amira bin Dardjo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Aku mengucapkannya dengan satu tarikan napas dan segera lepas semua bebanku.
“Alhamdulillah...” sedikit orang yang menghargai ijab qobulku dengan pernyataan itu.
***
“Amira!” panggilku dari balik pintu. Sedikit malu-malu memang.
Pertemuan kami saat masuk kuliah, telah membuatku jatuh hati padanya. Wajahnya cantik, sedikit terlihat seperti keturunan Arab memang, ditunjukkan dengan hidungnya yang mancung. Sungguh menggoda. Ditambah kerudung yang dengan setia melindunginya dari godaan dunia. Amira menoleh, memberikan senyum yang sejak awal memang menjadi favoritku.
“Iya, Mas.”
Aku menghampiri dan mensejajarkan langkah dengannya.
“Pulang, Mir?”
“Tidak, Mas. Masih ada kepentingan lain. Ada apa ya, Mas?”
“Tidak, hanya ingin menyapa saja.”
Amira menyunggingkan senyumnya lagi sebelum dia pamit mengurus hal lain yang aku tidak tahu apa itu. Aku menghentikan langkahku, menatap kepergian yang sekejab lalu tak terlihat lagi.
***
Amira masuk altar ketika ijab qabul telah meresmikan kami sebagai suami istri. Amira terlihat lebih cantik dari biasanya. Selain karena sudah resmi jadi istriku, kebaya putih yang membalutnya, dan dandannya sebagai seorang pengantin. Tapi Amira tak sespesial dulu, sanggul tanpa kain penutup menghiasi kepalanya. Amira, ke mana terbangnya kain penutup kepala yang jadi kebanggan perempuan itu? Hah, perempuan? Aku kira Amira lebih tepat disebut wanita.
Amira kini duduk di sebelahku. Mencium tanganku dan aku mencium keningnya yang terlihat agak lebar kali ini. O Amiraku sayang, Amiraku malang.
***
 Siang ini aku mencoba melacak prostitusi on line yang sedang marak di kalangan mahasiswa. Ternyata tidak hanya menimpa kalangan artis yang sedang jadi perbincangan panas di media sekarang ini, ternyata germo ayam kampus juga mencoba menggunakan layanan praktis yang sediakan kemajuan zaman. Selain praktis, mereka pikir ini lebih aman. Ayam-ayam kampus? Masih saja prostitusi pelajar merajalela. Mungkin bisnis ini tidak akan pernah habis dari masa ke masa.
Memang tidak dijelaskan secara gamblang seperti apa rupanya. Tapi ada satu nama yang sangat kukenal. Amira. Tapi kupikir bukan Amira-ku. Mungkin hanya nama yang sama. Mana mungkin Amira gadis solekhah itu, pikirku. Aku tersenyum, mencoba menepiskan pikiran itu. Kulihat nama-nama lain. Ada beberapa nama yang kukenal, termasuk Gendis Rengganis, gadis pintar di kelasku ternyata pelayan nafsu juga. Pantas saja gaya hidupnya berubah begitu drastis. Baju dengan merk terkenal melekat pada tubuh gadis perantau itu dan kebutuhan serba terpenuhi. Astaga, di antara nama-nama ini sungguh membuatku terkejut.
“Amira.. Amira..Amira..” nama itu terus terngiang. Beberapa kali memang sudah kutepiskan prangsangka itu. Tapi kali ini aku penasaran. Kuambil ponselku. Mencoba menghubungi germo perdagangan nafsu itu. Aku ingin segera menetaskan rasa penasaranku. Anjiiiirrr!!! Amira, lagi-lagi terbayang kerudung yang melambai di terpa angin.
***
“Sudah pesan tempat?” seorang pelayan hotel abal-abal menanyaiku.
“Sudah, atas nama Rahmat.” Aku memalsukan namaku. Berharap pertemuan ini berhasil mengungkap siapa Amira itu.
“Mari saya antar, kamar nomor 21.”
Aku berjalan mengikuti si pelayan melewati lorong remang. Kupikir memang hotel kecil ini disediakan untuk melancarkan bisnis jual-beli wanita. Si pelayan membukakan pintu kamar. Belum ada siapapun di sana. Gadis itu, maksudku wanita –kerena sulit untuk menyebutkan dia masih gadis atau tidak- belum datang. Aku masuk, si pelayan menutup pintu dan pergi setelah kuberi uang jasa antar, begitu aku menyebutnya.
Kreeekkk...
Tak berselang lama pintu kamar terbuka. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengan wanita itu. Bagaimana jika dia adalah Amira-ku? Apa yang harus aku lalukan? Lalu, jika bukan apakah aku harus melakukan persetubuhan itu dengannya, atau kabur lari terbirit-birit? Belum sempat kujawab pertanyaanku, seorang gadis masuk. Rambutnya panjang, kulitnya kuning langsat dengan make up tebal di wajahnya, rok mini jauh dari lutut membalut tubuhnya yang benar-benar indah. Bisa dibilang aku tidak tahan dengan godaan dunia ini.
“Amira?” aku menyebutkan namanya sembari menghela napas panjang karena ia bukan Amira-ku.
Belum sempat ia menjawab. Seorang wanita lainnya masuk. Dan...
“Amira!” kali ini aku menyebut nama itu dengan keras.
Seketika pikiranku panas, tidak pernah menyangka dengan hal ini. Amira-ku masuk kamar tanpa jilbab panjang dan baju santunnya. Ia mengenakan gaun malam merah ketat, dengan kerah rendah di bagian dada dan di bagian paha. Maksudku panjangnya sebatas paha atas.
“Ramdan?” Amira tak kalah kagetnya denganku.
“Upss.. salah kamar.” Wanita yang pertama datang pergi meninggalkan kamar yang penuh kebodohan ini.”
***
“Apa yang kau lakukan, Mir?”
“Aku hanya mencoba memenuhi kebutuhanku di kota rantau ini, Ram. Aku sudah terlanjur.”
“Siapa?”
“Dosen kita pernah memesanku. Dan ia sangat menikmatinya. Bahkan di kampus ia mencoba terus menggodaku.”
“Lalu, hijab yang kau kenakan?”
“Hijab itu kewajibanku pada Tuhan.”
“Tidak mencerminkan akhlakmu, Mir?”
“Tadinya aku ingin seperti itu, Ram. Tapi kota ini begitu menggiurkanku. Apalagi mami selalu memberikan fasilitas lebih untukku. Mana mungkin aku yang naif ini bisa menahannya? Bukankah kita sedang bermain peran?”
“Aku salah tentangmu, Mir.”
“Kau akan membocorkannya? Aku tahu kau tidak akan melakukan itu, Ram. Cintamu begitu besar padaku. Apa kau ingin menikmatinya?”
“Aku akan membocorkannya, Mir. Berusaha agar Amira-ku berubah pikiran.”
Gelap itu terus berkelebat dalam pikiranku. Esok hari setelah kejadian itu, kulihat Amira menanggalkan atribut kehormatannya. Rambutnya kini dibiarkan dilihat semua pria dan tergerai panjang menggoda. Baju santunnya kini berganti dengan rok selutut dan kemeja yang tidak menutup lengan. Wajahnya dihiasi berbagai jenis produk kecantikan. Amira-ku malang.
“Aku akan mengungkapnya sebelum kau membocorkannya. Dan itu salahmu, Ramdan. Lelaki yang selalu aku cintai pula.”
Itulah kata terakhir Amira, sebelum aku meninggalkannya di hotel remang milik ‘Mami’ yang mempekerjakan Amira.
***
Semua orang menggunjingku. Tapi sungguhlah aku bahagia menikah dengan Amira yang sekarang sedang bunting anakku dua bulan. Menyesal? Sungguhlah tidak. Menikah dengan pelacur bukanlah hal yang menjijikan bukan? Toh banyak orang besar menjadikan ini sebagai hobbi. Disebut istri simpanan tepatnya. Atau bagian dari ajang unjuk gigi kekayaan.
Aku tidak seperti mereka. Aku melakukannya dengan cinta. Bukan karena rasa unjuk gigi ikut-ikutan para pengusaha. Amira juga melakukan hal itu untukku, bukan nafsu bukan pula uang. Lagi pula ibu tak mempermasalahkan status Amira sebagai pecun. Ibu menerima dengan tangan terbuka.
Malam membentang setelah perhelatan siang ini berakhir. Aku dan Amira baru saja membersihkan diri. Aku menemui ibu yang duduk dengan tenang di ruang tamu, Amira pergi ke kamar, sepertinya terlalu lelah untuk ikut bergabung dengan kami. Ibu masih tersenyum. Menatapku dengan perasaan bahagia. Aku menyeruput kopi buatan Mbok Nah yang sudah hampir dingin. Ibu tak mengatakan sepatah katapun sejak tadi pagi. Ia hanya tersenyum, tidak menanggapi kasak-kusuk yang terus berdatangan saat para tamu undangan menyalami kami.
“Ibu ingin berterimakasih padamu, Ram.” Akhirnya ibu berbicara. Aku sedikit lega sembari meletakkan kopi kembali ke meja. Menunggu kata-kata ibu selanjutnya. “Amira, Ram, ibu bahagia kau menikahinya.”
“Sebenarnya aku sedikit heran. Mengapa ibu tidak mencoba melarang pernikahan ini. Amira itu kan...”
“Ayam kampus? Lalu kenapa memangnya?”
“Ramdan pikir ibu...”
“Kamu kan juga anak mantan pelacur, lalu apa yang harus ibu tidak setujui?”
“Maksud ibu!?”
Ibu tersenyum simpul. “Amira anak asuh ibu.” Ibu berlalu meninggalkan aku yang masih menganga tak percaya apa yang dikatakannya. Ibu masuk kamar di Amira beristirahat.
“Mami?” aku bergumam kecil. Mengingat kata ‘mami’ yang Amira katakan malam itu. Ibu?
Ayahku mati karena menikah dengan ayam kampus dan setelah lulus jadi pelacur. Lalu benarkah aku ini anak ayah? Dan benarkah bayi dalam kandungan Amira anakku?
***

{ 1 comments... read them below or add one }

  1. Wah... Gyta... akhirnya bisa melihat cerpen Gyta disini. XD

    twistnya lumayan. ;)

    Aku suka gaya tulisannya. Diksi dan deskripsinya terasa syahdu.
    Trus apa lagi ya... hmh... aku bingung mo komen apa. Haha.

    Ini yg asalnya dari lagu Ajar yang mana?

    ReplyDelete

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -