Kaca
yang Berdebu
Oleh : Anis Stiyani
“Dia
memuntahkan darah pada kemejaku, pagi tadi.”
Sewajarnya,
dalam keadaan seperti ini aku akan melihat banyak guratan ekspresi dalam
wajahmu. Tapi, selama itu adalah kau, ekspresi adalah satu-satunya barang
langka yang akan kutemukan, bagaikan mencari stomata daun dengan menggunakan
mata telanjang, mustahil terlihat.
“Aku
bahkan tidak sadar, dia benar-benar begitu bodoh. Aku masih melihat senyum
konyolnya tadi pagi,” setengah melantur, kau mengaduk kopi pertamamu hari ini.
Kopi yang seharusnya disiapkan oleh dia-mu, seseorang yang selalu kau ceritakan
padaku tanpa kenal lelah.
“Kau
tahu? Banyak hal yang sudah ditakdirkan terjadi, dan beginilah takdirku.”
Benarkah?
Kau tidak ingin menangis?
Satu
hal yang selalu kusuka darimu adalah, kau akan mengelus punggungku naik-turun,
secara teratur, membuatku nyaman berada dalam dekapanmu. Kugeliatkan badan,
menyusupkan tubuh lebih dalam pada dekapanmu, yang selalu terasa hangat. Oke, anggap
aku genit. Tapi, siapa yang akan peduli?
Kurasakan
tangan-tangan panjangmu menangkup wajahku. “Kau mau susu? Aku yakin kau pasti
mau, ayo!”
***
“Syailendra...
Syailendra... bangun,” suara lembut terdengar sayup-sayup di telingaku. Aku
terlalu malas untuk bangun. Menggeliatkan tubuh, kutepuk-tepuk wajahmu. Bangun...
“Andra...
Syailendra, tidak mau melihatnya untuk terakhir kali?” kudengar bisik halus itu
lagi, tapi kau masih betah dengan posisimu, tak terganggu sedikitpun.
“Hei,
bangun...” kali ini, wanita yang biasa kau panggil ibu itu, menepuk bahumu
sedikit keras. Sementara aku berjalan anggun menuju kursi malas milikmu, tempat
favorit kita menghabiskan coklat panas
saat malam-malam.
Duduk
tegak, dalam penglihatanku, kau seperti bocah umur dua tahun yang terjebak
dalam tubuh laki-laki dewasa duapuluh tujuh setengah tahun. Kau menggeliat di atas
kasurmu. Berguling ke kanan, berguling ke kiri, lalu membuka mata.
“Ibu,
di sini? Ada apa?” kau bertanya dengan raut bingung, seolah-olah kau baru sadar
kalau rasa air laut benar-benar asin.
“Kita
ke rumah Sasti sekarang, ya?” kau mengangguk tanpa memberikan komentar lebih,
beranjak masuk kamar mandi.
“Dia
akan baik-baik saja, ‘kan, Mell? Sasti perlu melepaskan rasa sakitnya. Iya, ‘kan?”
Ibumu
mengelus puncak kepalaku sebelum beranjak pergi. Mungkin Ibu juga butuh menenangkan
diri. Kehilangan menantu yang baru beberapa menit didapatnya, tepat di depan
mata. Bahkan saat doa-doa untuk pernikahan kalian masih basah, menyatu bersama
udara.
Setelah
hening mengisi penuh setiap sudut-sudut kamar ini, Kau keluar dari kamar mandi.
Dengan rambut basah, kulit lembab dan... aku melewatkan satu bagian basah yang
tak kau sadari keberadaannya, matamu. Mata basah, memerah.
“Hei,
kita lanjutkan acara tidur kita setelah ini, oke? Aku akan segera kembali,” kau
berujar begitu santai sambil lalu. Menyambar kemeja hitam yang tepat berada di
sebelah kemeja putih, bekas kau pakai saat akad nikah tadi pagi.
Hitam
dan putih yang begitu kontras. Persis seperti keadaan dirimu yang begitu ironis
hari ini. Aku tahu, bahkan disetiap belaianmu pada puncak kepalaku hari ini,
kau menyimpan seribu getir yang sedang coba tekan dalam-dalam. Sekarang, senja
menjelang. Ini hari yang cukup berat untukmu, ‘kan?
***
Aku
sedang berguling di sofa, menikmati iklan-iklan yang berkelebat lewat—terlalu
cepat untuk mata pemalasku—di Televisi. Tiba-tiba saja, kau datang, ikut
bergabung bersamaku, dengan secangkir penuh minuman yang memperlihatkan asap
yang meliuk dalam aliran laminer, seperti konsep fluida pada umumnya. Dari
baunya yang harum dan menyengat, aku yakin itu kopi, atau setidaknya, begitu
Ibu mengatakan jenis minuman itu setiap pagi saat memberikan kepada ayahmu.
“Harusnya
akan ada istri yang memanjakanmu saat malam tiba begini.” Ibumu yang sejak tadi
berkutat dengan sinetron tiba-tiba saja menggersah sendu.
“Sasti
perlu tempat untuk pulang. Tempat dimana dia tidak perlu merasakan sakit lagi.
Ibu tau itu, ‘kan?” ujarmu terlampau tenang.
Seingatku,
terakhir kali kita bertemu, lingkaran hitam di bawah matamu belum setebal ini.
Rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitaran wajahmu juga belum terlihat kacau.
Seingatku, terakhir kali kita bertemu, kau berada dalam tampilan pengantin
laki-laki paling bahagia sepanjang masa.
“Berapa
lama kau tidak tidur? Wajahmu kacau sekali...”
Kau
terlihat berpikir, mungkin saja kau sedang menghitung kapan terakhir kali kau
pergi tidur? Atau mungkin kau sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau
pergi ke kamar mandi? Bau tubuhmu sudah serupa dengan kopi dan asap rokok.
Dengan kemeja kusut dan lengan terlipat asal sampai batas siku, dirimu layak
mendapatkan predikit laki-laki paling mengenaskan sepanjang masa yang
bersanding dengan kisah tragis di hari pernikahannya.
“Aku
cepat lelah belakangan ini. Sebagian besar waktuku habis di atas tempat tidur.
Jadi, aku perlu kopi. Pekerjaanku tidak akan selesai dengan sendirinya, Bu...”
Aku
meringis mendengar jawabanmu. Ibu bertanya apa, kau menjawab apa?
“Sepertinya,
kopi ini pun akan sia-sia,”
“Tidurlah,
jika itu membuatmu merasa lebih baik,” Ibu mengalah, merasa sia-sia jika harus
berbicara dengan dirimu yang memperlihatkan sisi datar dan baik-baik saja.
Apa
benar, kau baik-baik saja?
“Ayo
tidur, Mell!”
***
Kadang aku berpikir,
bagaimana manusia bisa diciptakan dengan wajah datar tanpa ekspresi sepertimu?
Kadang, aku bertanya, apakah Tuhan lupa menempatkan beberapa syaraf di
daerah-daerah tertentu, yang dapat menarik sudut-sudut wajahmu, menghasilkan
ekspresi. Lalu aku mulai sadar. Mungkin, harus ada satu dari seribu orang di
dunia ini yang sejenis dengan dirimu, dengan begitu anomali akan selalu tampak
mencolok dan menonjol untuk sekedar dilewatkan.
“Dia terlalu bodoh,
memilih waktu yang tidak tepat. Kau lihat, tuksedo yang sudah dia pesan enam
bulan lalu jadi sampah seperti ini? dia benar-benar pengacau yang ulung!” Kau
masih sibuk hilir-mudik di dalam kamar. Masih melirik ke arahku sesekali, lalu
hilang di balik pintu kamar mandi.
Yah, wanita tersayangmu
memang selalu jadi pengacau yang ulung. Mengacaukan rencanamu, mengacaukan
hatimu, lalu mengacaukan hidupmu sebagai penyempurnanya. Hari ini, tepat empat
puluh hari setelah pernikahanmu berlangsung. Hari ini, tepat pula empat puluh
hari istrimu yang baru saja kau ikat dengan hatimu, terikat oleh benang
kematian.
“Andra... kau dimana?” suara mendayu seorang
wanita terdengar dari balik pintu kamarmu. Sementara suara gaduh dari balik
kamar mandi menandakan kau sedang tidak baik-baik saja.
“Ouch!!!” suara erangan
tertahan serta bunyi pintu kamar mandi yang di banting kasar membuatku
menggeliatkan badan malas. Ini sudah biasa terjadi.
“Aku akan memakai baju
dulu, Arana. Tunggu sebentar,” teriakmu di balik pintu lemari. Menekuri kuku
jariku yang mulai memanjang terasa lebih menyenangkan daripada melihat kulit
punggung pucatmu, yang bersaing ketat dengan warna pucat bulan malam ini.
Sedikit menyanyi
sepertinya dapat melepaskan penatku. Baru saja aku mengambil ancang-ancang
untuk mengeluarkan suara, pintu kamarmu menjeblak paksa dan muncul sosok
perempuan yang belakangan akrab terlihat beredar disekitarmu. Mungkin dia
berpikir, dirinya adalah satelit yang akan selalu menjaga keseimbangan dengan berada
di sekitarmu. Harusnya dia sadar, kau dan dia tak lebih dari ekor komet dengan
matahari.
“Hai, Melly... apa
kabar?” ujarnya ramah, terdengar seperti dipaksakan. Kuabaikan dia dan lebih
memilih memandangmu yang sedang menuju ke arah sofa tempatku duduk malas.
“Kau tampaknya sedang
sibuk, ya?”
“Hanya sedang memilah
barang-barang,” ujarmu cuek sambil menyapukan pandangan pada kotak karton
berisi kenanganmu bersama Sasti.
“Kemajuan yang bagus,”
timpal wanita di hadapanmu, matanya ikut-ikutan menyapu seisi ruanganmu.
Berhenti padaku sejenak, lantas fokus padamu lagi sepenuhnya.
Biar kuberitahu,
sepertinya dia menaruh hati padamu.
“Dari sekian banyak keinginanku di dunia, ada
satu yang tak akan pernah terwujud, seberapa keraspun aku mencoba
mewujudkannya.” Kau memulai sesi berceritamu dengan wanita ini. Atau yang ibumu
bilang padaku saat kau pergi ke kantor kemarin, ini terapi untuk kesembuhanmu.
“Melly, kau tahu Aleksitimia?
Aku sangat sedih, Andra mengidapnya,”
cerita ibumu beberapa hari yang lalu. Mata senjanya muram, basah, berurai air
kepedihan. Ibumu pikir kau sakit? Kurasa kau hanya perlu jujur pada hatimu
sendiri, bukan perkara sakit.
“Mau kopi? Kebetulan aku
belum minum kopi hari ini,” ujarmu lantas menggiring wanita yang masih
tersenyum lebar padamu itu keluar kamar. Yah, kamar ini hanya milik kita
berdua, dan akan selalu seperti itu.
“Kau yakin tidak mau ikut
ke dapur, Mell?” nada datar yang biasa kudengar itu menjajikan sejuta
kenikmatan. Tentu saja aku mau ikut! Dengan malas-malasan aku mengikuti di
belakangmu.
***
“Aku tak perlu menentukan bagaimana aku harus
memilih di antara dua pilihan. Pilihan hanya akan membuat kepala pusing.”
Kau mengaduk-aduk
cangkir kopimu sebentar. Satu... dua... tiga... sepuluh. Setiap harinya akan
selalu sama, sepuluh kali. Dengan dua sendok kecil gula, setengah sendok krim,
dan tiga sendok penuh bubuk kopi hitam. Perpaduan yang cukup mengerikan untuk
ukuran sebuah cangkir kopi yang dapat habis dalam sekali tegukan. Tanganmu
menyusuri pinggiran cangkir putih yang masih mengepulkan asap.
“Kau tidak harus selalu
memilih saat sudah tau apa yang ingin dilakukan. Termasuk membebaskan perasaanmu,
atau berpura-pura tegar.”
Gerakan tanganmu yang
sibuk memutar-mutar pingggiran cangkir berhenti begitu saja, disusul deru napas
yang keras, senada frustasi.
“Kadang manusia hanya
terlalu terbawa perasaan. Setiap yang bernapas pasti akan mati, begitu juga
Sasti. Apa lantas aku harus meprotes kepada Tuhan agar tidak mengambil dia
secepat itu?” napas pendek-pendekmu memberitahukanku satu hal, kau marah dan
tidak terima. tapi kau masih setia mengelak.
Kau meneguk kopimu lagi
yang masih sangat panas. Dalam keadaan normal, seharusnya itu akan membuat
lidahmu melepuh. Tapi kau tetap diam, seakan-akan kau meminum kopi pada suhu
normal. “Dia sudah terlalu lama menderita.”
“Pekerjaanmu jadi
berantakan akhir-akhir ini, pun kehidupan sosialmu. Menurutmu, kenapa?”
Perempuan yang duduk di depanmu ini seperti mengabaikan keluhanmu, dan balik
bertanya dengan nada menantang.
“Aku hanya kurang enak
badan. Aku butuh tidur lebih banyak...”
“Kau bilang pada ibumu
kau menghabiskan banyak waktumu untuk tidur. Lalu, berapa banyak waktu lagi yang
kau butuhkan untuk tidur?”
“Mungkin selamanya,”
ujarmu acuh. Bahumu mengendik, tapi aku tahu, tidak dengan hatimu. Jauh di
dalam hatimu, pun kau ingin memberontak dari semua jalan yang dipilihkan takdir
untukmu.
Lama setelahnya terasa
sunyi, senyap. Jam di dinding dapur terasa bergerak lambat, lebih lambat dari
pada gerakan siput yang tak menemukan makanan selama seminggu. Kau dan wanita
yang sedang menekuri isi cangkirnya itu terdiam, sementara gemuruh guntur di
langit malam menjadi musik pengiring kalian.
“Dia memuntahkan
darahnya, tepat di depan mataku,” ujarmu tiba-tiba. Tatapanmu menerawang,
melayang jauh dari tubuhmu. “Dia masih bisa tersenyum saat itu...” kulihat
setitik air mata yang menggantung di pelupuk matamu, meluruh secara tegas.
Lama-lama titik-titik itu menjadi banyak, membentuk badai yang meluluh
lantahkan pertahananmu.
“Lalu kenapa sekarang
kau menangis?” pancing wanita yang masih setia memperhatikan semua perubahan
ekspresimu.
“Entahlah. Dia bilang,
aku akan baik-baik saja...”
“Kau tahu, hati manusia
itu, ibarat kaca yang berdebu. Jika terlalu keras membersihkannya, ia akan
retak dan akhirnya pecah. Pun, jika terlalu lembut membersihkannya, ia akan
berakhir pada keruh dan noda.”
“Jadi... apa maksudmu?”
Kau mengerutkan kening, hingga dua alis tebalmu saling bertaut satu sama lain.
“Berhentilah
menggunakan logika, pakai hatimu sesekali, agar kau lebih manusiawi...”
“Dan kau dapat menjamin
aku akan lebih bahagia?”
“Kebahagiaan itu
letaknya di hati. Kau sendiri yang dapat menentukan, apakah kau ingin bahagia
atau berpura-pura untuk bahagia,”
Aku berjalan mendekat
ke arahmu setelah menghabiskan minuman bagianku. Beranjak naik kepangkuanmu,
yang kau sambut dengan hangat. Kupandang lekat mata legammu. Mata serupa malam,
pekat, tak lagi memunculkan binar di sana.
“Meongg....” Kutelusupkan
kepala di sela-sela tubuh sebelum melingkarkan ekor cantikku yang baru saja
dikeramasi tadi pagi di salon. Berharap, dengan adanya diriku benar-benar akan
membuatmu baik-baik saja.
Kau pasti baik-baik
saja.
END
Nyari nangis di bagian akhir pas ngomongin ttg kaca yg berdebu...
ReplyDeleteMengangguk setuju waktu diajak pakai hati sekali2... Krn memang logika adalah perangkat yg terakhir berevolusi, konon terlalu lamban dibanding hati dan intuisi...
*eh, kok jd serius gni ya komennya XD
Keep writing, Nis! :D
Makasihh Tant Siiss :*
Delete