Posted by : Refa Annisa May 17, 2015

First Snow
Oleh : Refa Ans
Sora menatap origami berbentuk cranes di tangannya. Kertas itu tidak lagi terlihat baru. Ah, rasanya sudah lama sekali ia menerima origami itu darinya. Ini pula satu-satunya benda kenangan dari pemuda yang dulu amat ia cintai itu, meski tanpa pernah mengungkapkannya. Ia selalu merasa bahwa semua akan berubah ketika menyatakan itu seperti sebelumnya, ia takut hal seperti itu kembali lagi terjadi.
Origami itu selalu terasa istimewa. Sebanyak apapun yang ia buat, bahkan dengan kertas yang jauh lebih bagus, origami itu selalu terasa lebih istimewa. Dirinya bahkan tidak pernah terpikir untuk membongkarnya meski telah sekian lama menyimpan itu dan tidak pernah bertemu dengannya lagi. Ia selalu menyimpan itu baik-baik, itulah kenang-kenangan terakhir darinya sebelum menghilang tanpa kabar.
Sora menerawang ke langit gelap di balik jendela kamarnya. Dingin di luar sana seakan dapat ia rasakan. Kenangan saat menunggu pemuda itu di taman kembali terputar di benak. Kali itu, pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu. Saat pemuda itu mengatakan ia menitipkan hatinya.
Tangan Sora pelan-pelan bergerak membuka origami itu ketika teringat perkataan pemuda itu. Tentang hati. Menitipkannya. Seharusnya ia sadar dari dulu. Lipatan demi lipatan dilepaskannya. Hingga akhirnya tinggal bentuk dasar diamond. Bersamaan dengan itu segala kenangan dengannya kembali berputar. Di mana ia selalu memberi kenangan saat salju pertama. Bukan hanya itu, bahkan hampir di sepanjang masa SMA.
Saat terbuka sepenuhnya, airmata Sora mengalir deras karena matanya menumbuk beberapa baris tulisan itu. Dan lagi-lagi, kali itu adalah salju pertama yang turun. Dari jendela Sora bisa menangkap butiran salju yang turun.
***
“Salju pertama!” jerit Sora dengan wajah berhias senyuman ketika mendapati butiran salju hinggap di telapak tangannya. Banyak orang mengatakan jika kita mengucapkan harapan pada saat salju pertama turun ke bumi maka harapan itu akan terkabul. Sora percaya itu. Ia selalu menganggap ketika salju pertama turun dewa juga ikut turun menyambut salju di bawah dan mendengarkan semua harapan manusia saat itu. Entahlah hanya pikirannya saja atau memang sesuatu yang nyata, atau bahkan dipercaya banyak orang. Sora tidak peduli.
Gadis berambut cokelat itu kemudian menautkan kedua tangannya dan mengucapkan harapan. Dirinya tidak berharap macam-macam, hanya permintaan seorang gadis yang membutuhkan teman karena hampir selalu kesepian. Yah, tampaknya tidak perlu disebutkan apa keinginannya.
“Berharap pada salju pertama, eh?”
Seketika Sora langsung membuka matanya dan menoleh saat mendengar sebuah suara bass di dekat telinganya. Seorang pemuda yang  menurut perkiraan seumur dengannya itu kini tengah memandang ke langit yang sudah gelap. Gadis itu menatap wajahnya sejenak. Bukan wajah asing, batinnya.
“Ah, hai[1],” jawabnya sopan sambil memberikan seulas senyum. “Banyak orang, kan, yang percaya kalau salju pertama bisa mengabulkan harapan. Omong-omong, kamu siapa? Aku seperti tidak asing.” Siapa tahu memang benar, kan, Sora pernah melihat pemuda itu. Entah di sekolah atau tetangganya. Lagipula orang asing tidak mungkin tiba-tiba menyapanya seperti tadi.
“Wah, rupanya kau belum tahu diriku, ya. Padahal aku mengenalmu, Aoki Sora dari kelas 1-A.”
Sora hanya tersenyum ketika mendengar pengakuan pemuda itu. Yah, dirinya terbilang cukup sulit dalam mengingat nama seseorang. Apalagi ia memang tidak begitu banyak mengenal teman sekolahnya kecuali teman-teman sekelas dan teman klub melukis. Ah, itu pun tidak seluruhnya berhasil ia ingat dengan tepat nama dan wajahnya.
Atashi wa Akita Ken desu. Aku dari kelas 1-B, tetanggamu.” Pemuda itu kemudian ber-ojigi[2] setelah menyebutkan namanya. “Yoroshiku.”
Yoroshiku.” Sora kembali tersenyum setelah ikut ber-ojigi juga.
“Jadi, kamu percaya kekuatan salju pertama?” Ken mulai mengajak Sora melanjutkan berjalan. Kalimat demi kalimat kemudian saling bertukar dari mulut keduanya. Di bawah salju yang melenggang turun dari langit keduanya berjalan bersama menuju rumah masing-masing.
Ia tidak pernah tahu bahwa sejak saat itu Ken akan menjadi temannya. Ah, inikah kekuatan salju pertama?
***
Tak bisa dibantah, rasa nyaman lama-kelamaan pasti akan melahirkan perasaan lain di dada. Di dalam dadamu akan ada perasaan yang begitu asing. Jantungmu akan berdegup lebih cepat, aliran darahmu bertambah deras, dan perasaanmu akan senang tak terkira ketika tahu dia ada di dekatmu.
Itu pula yang Sora rasakan. Pelan-pelan tapi pasti, ia jatuh pada pesona Ken. Ken bukan sosok yang selalu dipuja para gadis. Dia hanya pemuda biasa-biasa saja, tapi hanya ia yang mampu membuat Sora jatuh cinta setengah mati—dengan cara selalu bisa membuat gadis itu merasa nyaman berada di dekatnya.
Sayang, Sora terlalu takut untuk mengakui perasaannya itu, kembali jatuh cinta. Ia takut ketika pada akhirnya sudah jatuh terlalu dalam sepeti dulu, tetapi ternyata orang yang ia suka jauh memilih gadis lain. Karena itu ia kehilangan seorang teman, satu-satunya orang yang paling ia percaya.
Itulah mengapa Sora selalu membohongi tentang perasaannya ada Ken. Segala alasan ia buat atas perasaan aneh—baca: jatuh cinta—itu. Ketika malam hari tiba-tiba wajah Ken berkelindan di kepala, ia hanya menganggap ingin bercerita kepada Ken. Bahkan ketika detak jantungnya tak wajar saat Ken menggandeng tangannya untuk menyeberang jalan, Sora hanya menganggap itu kaget karena Ken yang tak jarang menarik tangannya tiba-tiba.
Begitu pula dengan saat ini, jantungnya terasa berdetak begitu cepat karena Ken menggandeng tangannya.
"Kamu kedinginan?" Sejenak Ken menghentikan langkahnya. "Kalau memang kedinginan, bilang saja. Ah, udara memang begitu dingin. Seharusnya kita tadi tidak usah mengerjakan tugas di sekolah dulu. Bagaimana bisa, sih, aku lupa kalau ini sudah di awal musim dingin?"
Sora hanya tersenyum. Seperti biasa, Ken memang begitu. Ia terlalu sering menyalahkan diri sendiri walaupun terkadang itu bukan salahnya.
"Sudah, tak apa. Lebih baik kita secepatnya pulang," kata Sora bermaksud mengajak pemuda itu kembali berjalan.Ia tidak ingin terus-terusan merasakan perasaannya yang tak karuan itu.
"Baiklah, ayo." Tanpa diduga, Ken langsung memasukkan tangan mereka yang bertautan tadi ke dalam saku mantelnya.
Sora langsung tersentak kaget, tapi di tengah kekagetannya itu, ia merasakan kini hangat bukan hanya menyelimuti tangannya yang digenggam Ken dalam saku mantel. Badannya juga. Hatinya. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk menolak itu. Ia merasa begitu nyaman.
Bukankah Ken memang selalu begitu?
Lagi-lagi Sora mulai membela diri menampik kenyataan. Ia masih bersi-keras tidak mau mengakui perasaannya.
"Ken, doushite?"
"Eh?"
Tanpa Sora sadar akhirnya pertanyaan di ujung lidah yang tadi tak bisa terlepas kini meloncat keluar. Kenyang tadi fokus pada jalanan langsung menoleh ke arah Sora. Kedua alisnya terangkat, sorot matanya menyiratkan keheranan. Degup jantung Sora pun semakin tidak keruan.
Kami-sama, aku tidak ingin jatuh cinta kepadanya, aku tidak ingin terluka lagi, dalam hati Sora memohon.
"Mengapa kamu begitu perduli padaku?" Sora meluncurkan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Dalam hatinya ia merasa begitu cemas menanti jawaban dari mulut Ken. Sadar atau tidak, kini sebenarnya dalam hati Sora berharap bahwa Ken akan mengatakan itu karena ia mencintainya. Baiklah, anggap saja Sora hanya berangan-angan. Karena ia ‘tidak-jatuh-cinta-kepadanya’.
Ken kemudian menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Sora. Matanya mengunci mata Sora. "Karena aku ingin terus melindungimu, menjaga agar senyumanmu tidak hilang dari sana."
Terasa sebuah hantaman di ulu hati Sora ketika mendengar itu. Ia tidak lagi bisa mengelak. Perkataan itu membuatnya merasa semakin hangat dan rasa senang seakan Ken memang mengucapkan apa yang diharapkannya.Sora dapat merasakan kini mukanya begitu hangat.
Saat itu juga, Sora luluh dengan kenyataan. Ia kalah, tamengnya telah hancur berkeping-keping. Sebongkah kepercayaan membuat gadis itu yakin, bahwa Ken adalah sosok lain yang berhak ia cintai.
Sekarang, Sora mengakuinya. Sora mencintai Ken. Bersamaan itu, salju pertama tahun ini turun.Salju pertama, selalu saja tentang Ken.
***
Apakah salju pertama selalu tentang keinginan?
Sora termenung di beranda rumahnya sore ini. Tanpa pernah terasa, tiba-tiba saja ini sudah awal musim dingin lagi. Sudah selama itu dirinya diam-diam jatuh cinta  pada Ken. Tak seorang pun ia biarkan tahu. Ah, mengapa sampai saat ini ia belum juga mempunyai keberanian,
Gadis berambut cokelat sepunggung itu menghela napas berat. Hawa dingin yang bersentuhan dengan kulit tak dihiraukannya. Ia kembali terdiam, membiarkan sosok Ken memenuhi benaknya. Pikirannya melayang-layang ke kenangan mereka dua tahun terakhir ini.
Drrrt..., drrrt....
Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Tanpa berpikir panjang,ia langsung menghidupkan ponsel. Nama Ken tertera di sana. Dengan gerakan kilat, Sora membuka pesan itu.
Sora-chan, bisa kita bertemu? Tunggu aku di taman, ya. Pukul 7 malam ini.
Sora langsung mengamati teks itu berkali-kali. Heran. Ken tidak biasanya mengirim pesan kecuali terlalu penting. Ken mengaku ponsel memusingkannya. Hah, Sora tidak tahu mengapa. Padahal kebanyakan anak muda seusia mereka begitu tergila-gila dengan benda itu.
Ada apa ini?
Ya, kutunggu di sana.
Tak banyak tanya, Sora hanya menyetujui itu. Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi saat itu. Sebuah pertemuan yang rahasianya akan terbuka di masa depan.
***
Tak terasa sudah hampir dua jam Sora menunggudi kursi taman bawah pohon sakura yang kini kering tak berdaun dan Ken belum juga datang. Padahal udara begitu dingin. Sampai setiap kali ia menghembuskan napas keluar asap putih. Kegelisahan kini menyelimutinya.
Bagaimana bisa Ken belum juga datang? Sekali lagi Sora melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jam sembilan lebih semenit. Air mata kemudian menggenang di pelupuk matanya. Keyakinannya bahwa Ken akan datang mulai ludar. Belum lagi dengan rasa dingin yang terus berusaha dilawan oleh mantelnya, meski tak jarang menelisik masuk dari lubang-lubang kecil.
Berkali-kali Sora menahan diri untuk tidak menangis. Harus ia akui, ia kecewa dengan Ken. Pelupuknya tidak lagi kuat membendung airmata. Cairan bening itu lalu meluncur turun. Tangis Sora pecah saat itu juga. Berkali-kali tangannya berusaha mengusap air mata. Namun sebanyak apapun ia mencoba, air mata itu tak juga habis. Terus saja jatuh bagaikan hujan saat tsuyu datang.
"Nakanai de, Sora-chan[3]."
Sebuah pelukan hangat dari belakangkemudian melingkari leher Sora. Air matanya justru turun semakin deras ketika mendapati kini dirinya dipeluk oleh sosok yang ia tunggu.
"Aku di sini, maafkan aku sudah membuatmu menunggu, Sora-chan." Ken mengeratkan pelukannya pada Sora. Perlahan di dalam dadanya seperti ada sesuatu yang remuk. Hatinya patah. Bukan karena melihatnya menangis, tapi jika menyadari waktu.
Sora masih saja belum bisa menghentikan linangan airmatanya. Firasatnya kali itu merasa tidak enak saat mendengar nada bicara Ken barusan. Ia pun tidak berani menatap mata hitam Ken. Hanya dibiarkan Ken memeluknya begitu erat.
"Arigatou. Maafkan aku membuatmu menungguku." Ken berbisik pelan ke telinga Sora. "Walaupun sebenarnya tidak ada yang harus kukatakan, aku hanya ingin bertemu denganmu."
Dapat Sora rasakan kini ada air mata yang menetes di lehernya. "Kamu..., menangis, Ken?"tanya Sora dengan suara bergetar. Bagaimana bisa Ken yang ia tahu begitu tegar kini menangis?
"Aku hanya bahagia bisa mengenalmu."
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Sora. Hanya air matanya yang terus mengalir. Dirinya tidak bisa berusaha kuat jika seseorang yang selama ini selalu menguatkannya justru menangis sepeti itu
"Ada apa sebenarnya, Ken?"Sora berbalik. Matanya dan Ken kini bertatapan. Sora bisa melihat mata itu begitu sendu sarat dengan kesedihan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu saja. Jangan menangis, tersenyumlah, Sora-chan. Aku selalu merasa hangat ketika melihatnya, senyummu bagai langit musim semi yang cerah." Ken mengusap aliran airmata di pipi Sora. Seulas senyum kini terulas di wajahnya, meski linangan airmata dari sana belum terusap bersih.
Sora tersenyum kemudian diikuti dengan Ken. Mereka memaksakan diri walaupun sebenarnya hati mereka remuk seremuk-remuknya malam itu.
"Satu lagi, aku ingin memberikan origami ini untukmu." Ken lalu mengeluarkan origami cranes yang belum sempurna itu dari saku mantelnya. Disempurnakannya origami itu sebelum diberikan kepada Sora."Tolong simpan ini. Ini adalah hatiku."
Lagi dan lagi, mata Sora menangkap salju pertama turun. Pertanda apa pada salju kali ini?
***
Sora tidak menyangka apa yang kini tertulis di sana. Beberapa kalimat yang tidak pernah ia duga. Beberapa keanehan yang tidak terlalu ia perdulikan kini seperti terjelaskan sejelas-jelasnya. Bagai seekor rusa yang dikuliti, Sora baru mengetahui siapa Ken. Dan ia tidak bisa menerima itu.
Keanehan seperti Ken yang gagap teknologi, bisa menceritakan kejadian belasan tahun lalu seakan melihatnya sendiri, dan dari gaya berpakaiannya.
Mengapa harus begini?
Daisuki dayo[4], Sora-chan. Maafkan aku terlambat mengungkapkannya. Tetapi percayalah begini lebih baik daripada aku meninggalkanmu dan perasaanku tanpa sepatah kata pun perpisahan. Andai saja aku bisa menghabiskan waktu lebih lama di masa ini tanpa harus kembali ke masa lalu.
Kami-sama, tolong jelaskan apa maksud semua drama ini….”
Sora menenggelamkan kepala ke lipatan tangannya di meja. Tangisnya keluar, seluruh rasa sakit yang hatinya simpan ia keluarkan. Tanpa terkecuali.



[1] Ya
[2] Membungkuk
[3] Jangan menangis, Sora.
[4] Aku menyukaimu.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -