Archive for March 2015

Mekarnya Bunga Youtan Poluo


    • Ini kali keduanya Yuwen tampil di San Diego. Baginya dan seluruh tim Wu Dao Performing Arts, ini akan menjadi musim dingin yang menyenangkan karena California bagian Selatan banyak mendapat cahaya matahari. Tidak seperti tahun kemarin di mana mereka harus menghabiskan musim dingin di Eropa yang suhu udaranya turun sampai -20 derajat Fahrenheit. Hal sederhana lainnya yang menggembirakan bagi Yuwen dan penari lainnya adalah, San Diego Civic Theatre memiliki tempat rehearsal[1] yang lebih luas dan lebih banyak cermin dibanding gedung pertunjukan lainnya. Cermin-cermin itu sangat penting bagi para penari untuk mengukur seberapa tinggi kaki mereka saat diangkat menentang gravitasi bumi –dan juga untuk mengagumi diri sendiri. Tapi yang paling utama dari itu semua adalah tempat mereka tampil dan berlatih kali ini memiliki lantai marley. Lantai yang khusus untuk menari itu memang tidak bisa ditemukan di semua gedung pertunjukkan. Paling tidak persediaan beberapa pasang sepatu yang Yuwen bawa dari New York tidak akan banyak berkurang hanya karena lantai semen atau karpet kasar yang dengan cepat bisa membuat bolong alas kakinya.

      ***

      Pagi ketiga Yuwen di San Diego dan lagi-lagi pandangannya  jatuh pada sosok gadis kecil yang melihat sesi latihan mereka dari kaca lebar di sebelah kiri ruangan. Gadis kecil itu tidak sendiri, ada beberapa orang yang juga ikut melihat sesi latihan yang harusnya tertutup. Tapi yang membuat Yuwen mengingat kalau gadis kecil itu tidak pernah absen sejak hari pertama latihan mereka adalah penampilannya yang mencolok mata. Bagaimana tidak, ia hadir di tengah-tengah kerumunan manusia yang berpakaian rapi dan bersih. Tubuhnya yang kecil itu –bahkan sangat kecil, dibungkus oleh jaket kebesaran, berpadu dengan celana jeans lusuh dengan size yang juga sangat besar. Rambutnya yang kemerahan tampak kusam dan ia menggenggam gulungan karton besar di tangan kanannya. Mata cokelatnya yang bulat besar terus bergerak mengikuti langkah para penari. Mata itu memancarkan keingintahuan sekaligus kegembiraan yang luar biasa. Ironisnya, hanya mata itu yang tampak hidup

      Aku ingin menjadi penari.” Itu kalimat pertama yang Yuwen dengar saat ia akhirnya menghampiri gadis kecil itu karena kalah akan rasa penasaran. Kalimat itu bahkan keluar sebelum Yuwen bertanya apapun padanya.

      “Siapa namamu?” tanya Yuwen akhirnya.

      “Nancy,” jawabnya dengan suara lemah.

      Melihat Nancy dari dekat ternyata jauh lebih mengkhawatirkan dibanding menatapnya melalui kaca lebar di ruang latihan. Leher gadis kecil itu teramat kurus. Yuwen tidak tahu, apakah jaket kebesaran itu digunakannya sebagai kamuflase agar terlihat lebih berisi, atau Nancy memang membutuhkannya untuk merasa nyaman di cuaca musim dingin ini.

      Yuwen menyadari kalau kondisi Nancy tidak memungkinkan untuk menjadikannya seorang penari, tapi Yuwen juga tidak ingin menjawab keinginan Nancy dengan kata-kata yang seolah-olah menghibur hati namun hanya akan menjadi harapan semu bagi gadis kecil itu. Di pertemuan pertama itu, Yuwen memilih diam dan membiarkan mata cokelat Nancy terus menatap ke dalam ruangan yang kosong ditinggal para penari berisitirahat. Tidak lama kemudian, Nancy pergi.

      ***

      Besoknya Nancy datang lagi. Kali ini dengan syal rajutan besar mengelilingi lehernya yang kecil. Jaket yang kebesaran itu masih dikenakannya. Saat sesi istirahat berlangsung, lagi-lagi Yuwen mendatangi Nancy.

      “Kenapa Kakak datang ke sini lagi?” Nancy bertanya tanpa menatap mata Yuwen.

      Yuwen sendiri sebenarnya heran dengan ketertarikannya yang luar biasa terhadap Nancy. Yuwen merasakan seperti ada sebuah magnet yang tubuh ringkih itu pancarkan agar ia selalu mendekat.
               
      “Kamu tahu bunga youtan poluo, Nancy?” Yuwen bertanya tanpa menjawab pertanyaan Nancy sebelumnya.
                 
      Nancy hanya menggeleng. Tapi pertanyaan itu berhasil membuat mata coklat Nancy mengarah kepada Yuwen.

      “Melihatmu mengingatkanku akan youtan poluo.” Sedari kemarin, hal ini yang terus melintas di benak Yuwen saat melihat Nancy. Bunga yang di musim pertunjukan kali ini banyak disebut dalam sesi latihan Wu Dao Performing Arts.

      “Apa itu?”

      “Bunga yang menurut legenda hanya tumbuh 3000 tahun sekali. Warnanya putih tidak ternoda, kecil seperti kamu, terlihat lemah, tapi ternyata tangguh. Bila sudah tumbuh di suatu tempat, ia akan sulit untuk dicabut. Menarik, karena bahkan ia tidak terlihat memiliki akar.”

      Nancy tertawa mendengar cerita Yuwen. Wajah itu ternyata masih menyimpan kecantikan. “Itu hanya legenda, Kak. Kalaupun ada, siapa yang bisa menjamin kebenarannya? Siapa manusia yang umurnya sangat panjang hingga bisa menghitung kelahiran bunga itu?” Pertanyaan kritis itu keluar dari mulut yang terlihat tidak mampu mengeluarkan kata. Mengeluarkan kalimat sepanjang itu membuat nafasnya terengah-engah. Nancy merapatkan jaket tebalnya ke badan.

      “Kamu sakit, Nancy?” tanya Yuwen melihat tingkah Nancy.

      “Ya, sakit keras,” jawabnya ringan.

      Sakit apa yang dialami anak sekecil ini sehingga mampu menghabisi seluruh berat badannya? Sakit apa yang dihadapinya sehingga seluruh tubuhnya mengeluarkan aroma kesedihan? Yuwen bertanya dalam hati.

      “Aku akan menunjukkan youtan poluo padamu besok. Tidak perlu menunggu 3000 tahun, Nancy,” ucap Yuwen spontan.

      Mata Nancy terbelalak mendengar ucapan Yuwen. Sejenak, Nancy terlihat sangat sehat dan bahagia.

      “Ya, besok malam, temanku akan menunggumu di sini dan mengantarkanmu menemuiku. Kita akan melihat youtan poluo bersama,” jawab Yuwen lagi untuk meyakinkan Nancy.

      “Aku akan datang. Terima kasih.” Wajah itu menyiratkan kegembiraan yang sangat besar.  

      Jika Nancy memang sakit keras, maka aku akan memberikan pengalaman yang indah untuknya besok. Janji Yuwen pagi itu.

      ***

      Gemuruh tepuk tangan terdengar  di seantero gedung San Diego Civic Theatre. Hampir seluruh penonton yang berjumlah sekitar tiga ribu orang memberikan standing applause pada penampilan terakhir malam ini sekaligus penampilan yang menyudahi rangkaian tur Wu Dao Performing Arts di California Selatan.

      Bunga Youtan Poluo Yang Sedang Mekar[2] ditampilkan dengan luar biasa cantik." Terdengar suara MC dua bahasa setelah keramaian tepuk tangan berakhir.

      Tarian yang baru saja ditampilkan memang benar-benar memukau mata seluruh penonton. Begitu tirai dibuka, terlihatlah kemegahan Buddha yang dilanjutkan dengan legenda tentang bunga yang hanya dapat ditemui 3000 tahun sekali. Bunga youtan poluo yang berwarna putih tanpa cela diterjemahkan dengan  kostum penari yang berwarna putih bersih, tangkainya yang tipis serta tampak lemah tergambar dalam langkah-langkah kaki penari yang ringan seperti mengambang. Sangat cantik dan anggun.

      Sejatinya, bunga ini bukanlah simbol perpisahan, melainkan simbol sebuah kedatangan, tapi dipilihnya Mekarnya Bunga Youtan Poluo sebagai tarian penutup lebih kepada kemegahan sekaligus kesucian yang dihadirkannya.

      Di sana, di atas panggung, di antara puluhan orang dengan kostum buatan tangan yang memukau, ada sebuah senyum yang tidak bisa lepas dari mulut seorang wanita bernama Yuwen. Tapi senyum itu perlahan memudar seiiring tatapan matanya yang tidak juga berhasil menemukan sosok kecil dengan jaket kebesaran di bangku yang khusus ia berikan kepada penonton spesial malam iniKemana kamu, Nancy? youtan poluo mekar di sini, seperti yang aku janjikan.

      ***

      Malam itu, jauh dari keriuhan San Diego Civic Theatre yang sedang menampilkan Wu Dao Performing Arts –kelompok kesenian yang terkenal akan penampilannya dalam membawakan budaya-budaya Tiongkok, di pemukiman kumuh belakang Plaza Camino, seorang gadis kecil melepas jaket yang telah menemaninya seharian. Ia juga melepas kaos dan celana jeans kusam miliknya. Malam ini seharusnya ia menyaksikan bunga youtan poluo yang sedang mekar. Entah benar atau tidak ucapan kakak penari itu, tapi ia sangat ingin melihatnya. Bunga yang menurut legenda butuh waktu 3000 tahun untuk melihatnya lagi.

      Ia memandangi satu-satunya barang mewah di tempat tinggalnya. Sebuah cermin tinggi dan lebar yang sudah retak di banyak sisinya. Diangkatnya satu kakinya perlahan hingga lututnya mampu menyentuh hidung, kemudian disandarkan telapak kakinya yang sudah terangkat tinggi itu ke cermin. Ada rasa sakit yang timbul. Bukan sakit karena gerakan itu –ia sudah menguasai gerakan itu sejak dahulu, tapi sakit yang timbul di seluruh badannya. Kertas karton besar bertuliskan “NEED MONEY FOR FOOD” yang setiap hari ia bawa dan bentangkan sambil mengharap belas kasihan para pejalan kaki, kini tergeletak di dekat kakinya. Sedikit percikan darah mulai mengering di sana.
                  
      Nancy sudah sering dipukul, ditampar, bahkan disayat tangannya oleh Mama karena hal-hal kecil yang membuat Mama marah. Mama sangat mudah tersulut amarah akhir-akhir ini. Mungkin karena beberapa hari ini ia pulang dengan tidak membawa banyak uang karena diam-diam sering keasikan menonton latihan tari di gedung pertunjukan megah itu.

      Selama ini Nancy tidak pernah menangis. Tapi kali ini, sambil melihat bayangannya di cermin, Nancy mulai menangis. Seluruh tubuhnya yang telanjang terlihat dengan jelas di cermin itu. Luka lebam hampir di sekujur tubuh kurusnya. Di salah satu kakinya masih ada sayatan merah yang belum berhenti mengeluarkan darah. Luka itu baru saja diterimanya malam ini saat mencoba kabur dari rumah. Saat ia mencoba pergi diam-diam untuk melihat bunga youtan polou yang sangat langka. Luka itulah penyebab tangisnya malam ini karena untuk pertama kalinya mama menyakiti sepasang kaki yang sangat dicintainya. Kaki yang diharapkan akan membawanya menjadi seorang penari.




      [1] latihan
      [2] Tarian yang diciptakan dari budaya tradisional Tiongkok.



    • Posted by yenita anggraini
    • 8 Comments
    • Tag :
    • Readmore . . .
    • Add Comment

AMORETTE (Rahasia Cinta Kecil di Ujung Stasiun)


    •      Arisan Cerpen KF11
          Tema : Udumbara

      Sebuah kamar, Januari 2014

      Anehnya...
      aku mencintaimu seperti aku memang ditakdirkan untuk itu.

      Semuanya telah usai. Masa yang kupendam terlalu lama. Ragu yang kusembunyikan terlalu dalam, namun ternyata dangkal. Aku pernah melihat cukup lama pada satu titik kabur yang membingungkan. Dengan meneguhkan hati ––atau berpura-pura meneguhkan hati–– lagi-lagi aku bermuslihat dengan titik itu, makin jalang, dan akhirnya mendustai aturan yang mereka anggap nilai tertinggi di dunia ini. Anggap saja, aku sedang bermain-main dengan surga dan neraka.

      Duduk. Sedikit tersenyum. Atau mungkin lebih tepatnya meringis. Sudah satu jam aku menikmati wajahku sendiri yang terkurung dalam cermin. Putih. Hidung mancung. Bibir mungil, merah merona. Dagu runcing. Dan, lesung pipit. Benar-benar cantik, kan? Yah! Aku cantik! Kalian harus mengakui kalau aku adalah mahluk yang cantik!

      Berjalan ke sudut kamar lalu mengambil baju tak berlengan yang terpasang di manekin. Setelah itu, aku kembali menuju cermin besar di kamar dengan gaya bak seorang model yang sedang catwalk. Namun, aku sedikit kecewa saat menyadari kalau dadaku tak cukup besar untuk membuat air  liur laki-laki tumpah ruah. 

      ***
      Stasiun Tawang, Semarang, Maret 2015. 

      Aku tidak ingat kapan benar-benar memulainya, setahuku, tempat ini telah berhasil menyita waktu soreku setiap hari. Aku ulangi, setiap hari! 

      Namaku Lazzuardi, entahlah apa yang terlintas di benak orangtuaku hingga memberi nama yang berarti langit tersebut. Mungkin, mereka menginginkan anaknya ini menjadi seluas langit, secerah kumpulan awan putih yang menghiasinya, atau mungkin... hanya menjadi Lazzuardi berisikan awan hitam. Mendung. Percuma, seberapa pun keras memikirkannya, semua itu hanya menjadi praduga yang terus menguap hingga batas entah.

      “Seperti biasa, kau selalu datang jauh lebih dulu daripada aku. Dan, seperti biasa pula hari ini pun parfum yang kau pakai sangat menusuk hidung. Baunya wangi. Oh iya, kelihatannya Dochi sangat mengerti bagaimana cara membimbingmu, Retina,” sapaku, membuang keheningannya sore hari ini saat ia duduk termenung pada kursi panjang di bawah pohon besar, di ujung stasiun.

      Bola mata Retina secara acak dan abstrak mengarah padaku, walaupun tidak benar-benar tertumbuk pada kornea mata coklatku ini. Kemudian, aku duduk di samping gadis berbusana putih dengan rambut panjang sepinggangnya itu, lalu menggosokkan punggung tanganku ke bulu-bulu halus Dochi, anjing peliharan Retina yang saat ini ada di pangkuannya. 

      “Jangan terlalu memanjakan Dochi dengan membawakan ia makanan setiap hari. Nanti dia gendut loh, bagaimana kalau Dochi jadi malas bergerak? Terus siapa yang membimbingku jalan menuju stasiun ini kalau bukan dia? Kamu kan selalu terlambat, Zuar?” cecar Retina tanpa memberi jeda buatku menyekat omongannya. Gigi putih dan lesung pipi itu selalu menjadi favoritku ketika melihat wajahnya, selain mata.

      “Dia kelihatan lapar, Na,” ucapku sambil terus memberi Dochi makanan.

      Aku masih saja terus menyuapkan snack buat Dochi dan membiarkan ucapan gadis berbandana itu menguap begitu saja seiring dengan sudut bibir atasnya yang dibuat lebih maju dan tipis. Bahkan, kali ini aku berhasil berpura-pura untuk tidak segera mencubit pipinya yang sengaja ia gelembungkan ketika tidak setuju dengan perkataan atau perbuatanku, walaupun hanya bertahan tiga detik.

      “Berhentilah mencubit pipiku, Zuar! Andai saja aku bisa melihat tangan jahilmu itu, pasti akan kubalas perbuatannya,” tukas Retina, kemudian memalingkan wajah dariku. 

      Mataku melonggar dari tatapan yang sebelumnya seakan ingin menerkam dan memasukkan rona lucu di pipinya ke dalam mulutku. Retina, nama itu cukup singkat untuk seorang gadis yang aku yakin jika menceritakannya dalam sebuah buku pun tidak akan cukup. Seperti yang kalian duga, ia buta. Sama seperti pengeliatannya, sampai sekarang pun aku buta tentang gadis yang selalu duduk pada kursi besi berwarna perak dengan ukiran bunga-bunga kecil di setiap sudutnya itu. Aku dekat dengan Retina, sangat dekat! Tapi, aku belum menyentuh di tempat yang tepat. Dan entah sejak kapan... aku mulai mencintainya!

      Sandaran kursi yang cukup menampung tiga orang itu kali ini menjadi sasaran tangan dan kepalaku untuk bersandar, sekadar menyempitkan rasa lelah. Mataku beralih memandangi langit jingga yang tertutupi daun pohon. Sebagian sinar redup itu berhasil lolos dari celah dedaunan dan menyentuh sisi wajahku. Beberapakali terdengar bunyi laju kereta yang meninggalkan stasiun. 

       “Pohonnya semakin besar, ya?” gumamku berceloteh tak jelas, “jadi, hari ini kamu mau menceritakan apa lagi tentang lelaki yang selalu kamu tunggu itu, Retina? Aku penasaran dengan ending-nya, hehe,” tukasku sambil menaik-turunkan alis yang justru lebih pantas disebut ulat bulu. Hitam. Pekat.

      “Jangan tanya ending-nya! Aku benci jika memikirkan akhir, Zuar. Dan, jangan coba-coba kau tanya lagi tentang mawar yang selalu ada di sampingku! Sisi yang tidak boleh kamu duduki dari kursi ini,” tukasnya cepat.

      ***
      Stasiun Tawang, Semarang, Januari 2013. 

      Sengaja aku kembali melewati jalan ini hanya untuk melihat keadaan gadis itu lagi. Hah, aku menghela napas berat ketika melihatnya, ada sayatan kecil di hati yang tanpa sadar telah membesar dan kian membuatku sakit saat berpapasan dengannya.

      Kalian bisa memanggilku dengan sebutan Raka Rahardika. Saat ini mobil yang kupacu memasuki kawasan kota lama dan akhirnya melintasi sepanjang jalan Tawang. Gemuruh bunyi kereta yang meredam akibat batu kerikil di sepanjang rel masih saja tertangkap gendang telinga dari dalam mobil jazz silver kepunyaanku . Kini  hujan turun dengan gegap gempita, membasahi payung gadis itu lalu akhirnya ikut mengguyur rambut spike dan tubuh kurusku saat mulai turun dari mobil. Matahari kian surut, tetapi gadis itu masih berselimut dalam keheningan payung hitam, berdiri di ujung halaman stasiun dengan pandangan mata tak berwarna miliknya. 

      “Aku menyerah. Setelah sebulan sudah memperhatikanmu berkerudung duka, kini giliranku yang memastikan bahwa duniamu masih sebenderang neon, bukan lentera!” ujarku yang membuat ia terlihat mulai beralih dari dunia imajiner-nya.

      Bahu gadis berbandana itu kecil, sama sepertiku. Rasanya sangat pas jika ia mendekam dalam pelukan dadaku. Aku berdiri mematung di sampingnya, dengan tatapan yang bahkan ia tak akan pernah tahu kalau titik-titik airmata sudah mulai jatuh lalu membasahi pipi berlesung dan akhirnya bermuara di bibir tipisku, karena ia memang tak bisa melihat! Hujan masih sama. Rintik kecil namun cukup deras. Lalu lalang kendaraan semakin sepi, kerumunan manusia pun hampir tak terlihat lagi. 

      “Kau siapa? Jangan terlalu keras memegang bahuku! Rasanya sedikit sakit,” ujar gadis dengan ujung rambut hitam lurusnya yang sudah menyentuh pinggang itu. Aku mengendorkan genggaman, kepalanya tertunduk. Sepertinya lekat sekali ia fungsikan telinga untuk mendengar suara anehku ini. 

      “Ehem...,” aku menggosok leher serampangan. “Namaku Raka,” ucapku sekenanya, sambil menjulurkaan tangan kanan.

      Hening. Ia tak membalas ucapan perkenalan dariku. Sedari tadi angin nakal sekali menerbangkan ujung-ujung rambutnya. Aku tahu persis, ketika jarum jam sudah merapat ke angka empat sore, ia mulai memaku kakinya di ujung stasiun hingga pukul sembilam malam. Maklum, sudah satu bulan ini aku mengamatinya tanpa pernah berani untuk memulai percakapan. 

      “Hey, gadis payung, aku membawakan sesuatu untukmu, tunggu ya! Jangan ke mana-mana!”
      Tanpa menunggu balasannya, aku berlari menuju parkiran mobil lalu mengambil beberapa benda yang sudah kusimpan di bagasi, “semoga dia suka,” ucapku ketika sudah mendapatkan benda-benda tersebut di geanggaman. 

      Tak memakan banyak waktu untuk kembali berdiri di dekat gadis yang saat ini kembali merenung. Nampaknya ia bersikeras mengabaikanku!

      “Nih buat kamu,” tegurku saat berdiri di sampingnya, “Oh iya, kamu kan...,” perkataanku menggantung, karena menyadari hampir saja berkata tidak sopan pada gadis itu. 

      “Buta. Iya, kan? Aku tidak bisa melihat apa yang kamu bawa sekarang, bisa dijelaskan?” ujarnya sambil memiringkan kepala ke arahku. Poninya ikut bergerak pelan.

      Sengaja aku mengalihkan pandangan mengitari lahan stasiun untuk menghilangkan rasa kikuk. Beberapa orang berkerumun mengantri tiket, dan yang lainnya duduk tak beraturan di beberapa sudut. Sementara di ujung stasiun ini, hanya ada aku, gadis itu, kursi kecil, dan sebatang  pohon. Lahan ini sepertinya dibiarkan kosong begitu saja, jarang sekali orang berlalu-lalang. Tempatnya sedikit tertutup.

       Kini, mataku kembali tertancap padanya. Dengan sedikit kikuk, aku pun mulai memberitahu padanya tentang benda-benda yang kubawa. Lengan kiriku bergerak maju dan akhirnya mendaratkan sebuah kursi ke tanah tempat gadis itu berpijak.

      “Aku bawa kursi buat kamu, biar lebih nyaman saat menunggu seseorang yang entah bagaimana sudah berhasil membuatku benci padanya.” Kursi itu sekarang tepat berada di belakangnya. “Kamu duduk di sini ya! Besok aku bawakan kursi yang lebih besar. Tenang saja, aku sudah izin sama pihak stasiun kok, hehe.” Aku memegang bahunya dan terpaksa membimbing dia duduk untuk melenyapkan keragu-raguannya.

      Aneh, tubuh gadis itu sedikit gemetar saat mendapat sentuhan dariku. Mata kosongnya terlihat semakin dalam seakan memikirkan sesuatu. 

      “Nih, kamu pegang! Kalau yang satu ini sedang tidur, soalnya dia masih kecil sih. Kamu jaga ya biar dia bisa jadi mata keduamu, hehe.” Aku memegang lembut tangan gadis itu dan menyerahkan kado kedua yang sedang kupegang padanya. 

      “Ha? Ini apa? Kok berbulu gini? ” tanyanya sedikit kaget saat memegang pemberianku yang kini ada di pangkuannya.  

      “Itu anak anjing. Terserah kamu mau namainnya siapa, hahaha.” Aku tertawa keras saat melihat mulut gadis itu terbuka lebar, berbentuk bulat. 

      Aku membuka kantong plastik besar di hadapanku. “Nah, hadiah satunya lagi adalah pohon. Sepertinya payung yang selalu kamu pakai itu tidak cukup rindang sebagai tempat berteduh. Jadi, kalau pohonnya udah besar kan bisa jadi tempat berlindung. Sebentar, aku tanam dulu ya bibit pohon ini, kamu duduk aja sambil jagain anak anjingnya.” Dengan cekatan, aku beralih ke tanah kosong di belakang gadis itu, dan menanam bibit pohon yang telah kubawa. Rambut spike milikku benar-benar telah hancur akibat derasnya rintik hujan. 

      “Namaku Retina. Dan... bagaimana kalau anjing kecil ini kuberi nama Dochi?” ujar gadis itu angkat bicara ketika aku sedang sibuk menggali tanah. Ia pun dengan sukarela menggeser posisi payungnya hingga meneduhiku dari guyuran hujan.  

      Retina dan Dochi. Lucu juga.

      “Nama yang bagus. Udah tahu namaku, kan? Aku Raka Rahardika. Yap. Bibit pohonnya udah selesai aku tanam nih. Cepet besar ya pohon.” Aku mencium sepucuk daun pohon itu, lalu mataku beralih ke anjing kecil yang tengah terlelap di pangkuan Retina, “Kamu juga cepat besar ya, Dochi.”  Kami berdua pun mulai menebar tawa satu sama lain. Benar-benar Indah.

      ***
      Rs. Kariadi Semarang, Mei 2013  

      Gaun yang kukenakan berwarna putih. Bersih. Mengkilap. Bagian atasnya hanya berhasil menyentuh pucuk dada dan berlabuh di lipatan lengan, itu semua membuat leher jenjangku kedinginan karena tak berselimut serat-serat yang entah bagaimana selalu menghantarkan ornamen bunga mawar di permukaannya. Malam kembali membimbing gelap menuju pembaringanku. Yah, hanya ada aku. Gaun putih. Sebuah bandana. Dan, setangkai mawar!

      Sebenarnya, aku pun tidak mau tergolek di pembaringan ini dengan rupa absurd. Beberapa menit lagi! Ya! Aku yakin beberapa menit lagi alat persegi itu menunjukkan garis lurus dan mengeluarkan bunyi menakutkan. Apa dia masih dengan bodohnya menungguku di sana? Di ujung stasiun itu?

      ***
      Stasiun Tawang, Semarang, Maret 2013. 

      “Kamu sudah datang ya, Raka? Kenapa tidak duduk?” Retina menepuk pelan sisi kiri kursi bermotif bunga-bunga kecil yang sekarang ia duduki. Sementara Dochi masih sibuk dengan makanan di bawah kursi yang sengaja gadis itu bawa.   

      “Sudah dua bulan lebih kita kenal,” tuturku sembari duduk di sisi kirinya, lalu melanjutkan bicara, “tapi, kenapa kamu selalu tahu kalau aku sudah datang? Padahal aku kan tidak bersuara sama sekali dari tadi?” tanyaku heran, sambil menggaruk tengkuk leher.

      “Aku memang tidak bisa melihat, Ka. Tapi, indera penciumanku masih bisa merasakan bau mawar yang selalu kamu bawa itu. Oh iya, satu lagi, parfum kamu terlalu menyengat, makanya aku bisa tahu kamu sudah datang atau belum,” ucap Retina dengan memamerkan gigi gingsul miliknya.  

      “Parfumku kebanyakan, ya?” jawabku kecut, sambil mengendus-endus tubuhku sendiri. “Oh iya, hampir lupa, nih bunga mawar buat kamu hari ini.” Aku meletakkan mawar itu di pangkuan Retina.

      Entahlah, aku pun masih bingung kenapa setiap hari membawakan gadis itu setangkai mawar merah. Mungkin, karena memang aku yang mengagumi keindahan bunga, atau... mencari benda yang bisa melambangkan perasaanku?! 

      “Raka, stock mawar di kamarku sudah banyak berkat kamu. Bagaimana kalau kamu memberiku bunga yang lain saja?” pinta Retina, walaupun matanya tidak bisa melihat, tapi aku mampu menerka kalau sekarang rona binar muncul dari dalam sana. “Bunga yang... tidak biasa,” lanjutnya.

       “Emm... kamu tahu udumbara?” tanyaku ragu, kemudian dibalas gelengan kecil oleh Retina. Punggungku bersandar pada kursi lalu menghirup napas dalam. “Udumbara adalah bunga yang melambangkan kebenaran. Tidak tumbuh di tempat biasa, seolah-olah ia berasal dari dunia lain, mungkin surga. Datang membawa kedamain bagi umat manusia,” jelasku.

      “Tidak tumbuh di tempat yang biasa? Lalu, apakah mungkin aku bisa mendapatkan bunga itu darimu?” sela Retina.

      Entahlah, Retina. Bunganya sangat kecil, hampir tak kasat mata. Tidak seperti kebanyakan bunga lainnya, udumbara bisa tumbuh dan mekar di logam, cermin, bahkan hidup di tanaman lain. Itu bunga legendaris, dan menurut legenda pula kalau bunga udumbara hanya mekar satu kali dalam 3000 tahun. Banyak orang yang beranggapan kalau bunga ini hanya mitos. Tapi, ternyata udumbara memang ada walaupun sulit sekali mencarinya.” Aku mengakhiri cerita dan beralih pandang ke arah Retina. Namun, yang kudapat justru kesedihan di pelupuk mata gadis berbandana itu. 

      “Bunga yang melambangkan kebenaran ya?” Ia tertunduk lesu. “Raka, apa mungkin ia bisa tumbuh pada kulitku atau setidaknya tumbuh di sekitarku saat nanti kematian menjemput gadis buta ini? Walaupun aku tidak bisa melihat, tapi rasanya ingin sekali aku menyaksikan keindahan bunga itu,” ungkapnya makin sedih.

      “Kamu akan melihat bunga udumbara, Retina! Aku janji!” tanpa pikir panjang, kalimat ini terlanjur keluar dari bibirku. 

      Bunga yang 3000 tahun sekali baru mekar, harus berapa kali aku hidup lalu mati kemudian hidup lagi untuk bisa menemukan bunga ini? Pikirku kecut.

      ***
      Stasiun Tawang, Semarang, Juni 2015. 

      “Dan sampai sekarang, Raka belum bisa menepati janjinya untuk membuatku melihat bunga udumbara. Bahkan, laki-laki bodoh itu pun pergi entah ke mana,” lirih Retina, ia menangis sedu-sedan.

      Hebat. Aku berani memeluk erat tubuh Retina untuk pertama kalinya setelah mengenal gadis ini selama setahun. Kemudian, dahinya kukecup lembut. Dan entah sejak kapan, kini bibir kami sudah berpagut satu sama lain. Aku bisa merasakan ranum bibir merah dan tipis itu. Mata retina terpejam, dan aku pun akhirnya ikut memejamkan mata. Lambat laun, tangis gadis berbandana ini redam dalam ciuman hangat kami. Cukup lama kami memainkan lidah satu sama lain, sebelum akhirnya ia membuka mata, dan perlahan menjauhkan wajahnya dariku. Pipinya bersemu merah. Namun, kemudian berganti pucat. Tak berwarna.

      “Zuar. Emm... aku ingin bertanya sesuatu,” ucapnya kaku.

      “Kamu mau nanya apa, Na?” tanyaku heran. Sedikit gugup juga saat melihat raut serius di wajah Retina.

      “Menurut kamu, cinta itu ada berapa jenis, Zuar?” Ia tertunduk. Jarinya saling menekan satu sama lain.

      “Jenis? Sejak kapan cinta itu berjenis?” tanyaku sedikit bingung. Aku mengambil Dochi dan menaruhnya di pangkuanku.

      “Bukannya manusia itu suka mengkotak-kotakkan sesuatu? Termasuk cinta, kan?” Retina mendengakkan kepala.
       
      Hening. Hari sudah mulai gelap.

      “Coba aku balik dulu ya pertanyaannya. Menurut kamu, cinta itu ada berapa jenis?” tanyaku perlahan.

      “Banyak. Cinta secara universal memang satu jenis, yaitu rasa. Tapi, sedihnya, cinta itu mengikuti kelogisan dan kenormalan yang padahal manusia sendiri penciptanya, atau mungkin ada juga yang mengatasnamakan agama. Tidak semua manusia bisa beruntung mendapatkan bentuk cinta yang dianggap normal, seperti ; cinta beda agama, cinta beda usia, cinta pada saudara kandung, cinta terlarang sama orang tua, cinta dan ketertarikan seksualitas terhadapan hewan, benda mati, ada juga cinta sesama jenis, dan juga terlalu mencintai diri sendiri. Cinta itu banyak jenisnya, kan?. Bagaimana menurutmu?” Retina menarik napas panjang. Seperti ada gemuruh di dadanya. 

      “Aku tipe orang yang tidak suka mengkotak-kotakkan sesuatu. Kesemua itu pada dasarnya kan sama saja. Cinta beda agama, cinta beda usia, cinta sesama jenis, semua itu adalah cinta. Perasaan cinta yang mereka punya sama, kan? Sama-sama merasa terobsesi ingin memiliki. Kebanyakan orang berkata kalau ‘cinta tidak harus memiliki’ menurutku itu hanya alasan orang-orang yang gagal berjuang buat cintanya.” Aku bertopang dagu. Sedang berpikir kenapa Retina menanyakan hal ini padaku.

      “Atau mungkin... dia sadar kalau cintanya hanya menimbulkan sesuatu yang tidak baik jika keduanya bersatu. Sebab, di zaman sekarang itu aneh, cinta bukan lagi zat tertinggi yang menimbulkan kebahagiaan. Tapi, zat kebahagiaan tertinggi itu adalah pandangan orang lain. Bayangkan seberapa banyak cinta yang gagal atau pun berhasil karena pandangan orang lain?” kembali, mata gadis yang sudah satu tahun ini mengisi hatiku akhirnya menangis pilu. Ia menggigit bibir bawahnya. 

      “Kamu kenapa, Retina?” Aku bergeser mendekat ke arahnya.

      “Sini tangan kamu, Zuar.” Retina mengulurkan tangan kanannya untuk menunggu sambutan tanganku. Walaupun masih tidak paham kenapa gadis ini bersikap aneh seperti sekarang, namun, aku menyambut uluran tangan tersebut. 

      Tangan kanan kami menyatu. Jari-jari mungil Retina bergerak maju membimbing lenganku menyentuh..., dadanya! Aku tercekat. Hampir saja kedua bola mataku terlempar dari singgasana tempatnya. Gadis ini membimbingku untuk menyentuh... dadanya?! 

      “Re-re-tina,” aku meneguk liur yang terasa keluh.

      Ternyata rasa terkejutku tidak hanya sebatas ini. Ketika Retina mulai berbicara dengan nada yang kembali lirih.

      “Ini palsu, Zuar.” Ia menggerakkan tangan kirinya masuk ke dalam dua bongkahan dada lalu mengeluarkan gabus dari dalam sana. 

      Remuk sudah sendi di semua tubuhku saat Retina makin mempererat sentuhan lenganku di dadanya yang kini rata. Benar-benar rata! Apa cintaku akan menguap begitu saja ketika mengetahui fakta kalau Retina tidak memiliki dada yang selama ini ada di imajenasiku?!

      “Se-se-sejak kapan, Na? Kamu sakit apa hingga... bagian itumu harus diamputasi?” mataku memerah. Sedih.

      “Bukan sakit. Aku begini karena... aku adalah laki-laki, Zuar. ” 

       Aku berani bersumpah kalau fakta ini adalah kabar terburuk yang pernah kudengar seumur hidupku. Retina adalah laki-laki? Sekuat tenaga aku berusaha agar air yang mulai menggenang di pelupuk mata tak tumpah dan menunjukkan tanda kelemahan. Bahuku bergetar hebat. Gigi mulai bergemetak satu sama lain. Rahangku mengencang. 

      “Kamu bohong kan, Na?! Lalu siapa Raka yang selama ini kamu tunggu itu? Bukankah dia juga laki-laki?!” pitamku sedikit meningkat. 

      “Maaf, Zuar. Aku tidak pernah menyangka kalau kamu datang dan mulai mengubah skenario yang terlanjur kubuat. Aku adalah Raka,” tangisnya makin pecah. Bahu kecil itu berguncang hebat. Sementara Dochi mengigit-gigit kecil rok yang Retina pakai. 

      “Tidak! Jadi, selama ini aku mencintai seorang... laki-laki?” aku menyerah. Airmata meluncur dengan bebas, mengalirkan rasa perih yang tertampung amat menyiksa dan membuat ulu dada sakit. Rasa sakitnya terus menyiksa dada bagian kiriku. 

      “Retina meninggal dua tahun yang lalu. Ia menyembunyikan sakit yang dideritanya padaku hingga meninggal dalam rasa sepi kesendirian. Terbaring di pembaringan seorang diri, tak ada satu pun yang menemaninya. Ia meninggal bahkan sebelum aku sempat menunjukkan kalau bunga udumbara memang benar-benar ada. Tapi biarlah, mataku sudah bersamanya, dia akan menyaksikan keindahan udumbara di surga sana. Yah, aku memberikan indera pengelihatanku padanya beberapa hari sebelum ia menyatu dengan tanah. Hari itu, untuk pertama kalinya ia bisa melihat wajahku,” Retina––maksudku, Raka–– berhenti sejenak, ia berusaha meredam tangisnya, “Tapi hatiku berkata lain, Zuar. Aku tidak rela akan kepergiannya dan kemudian diriku menjelma menjadi sosok Retina. Sekarang aku buta, dan karena kebutaan inilah aku menyadari dan bisa memahami kalau cinta itu bersemayam di hati dan jiwa, bukan fisik! Aku tidak peduli kalau kita adalah laki-laki. Karena aku mencintaimu, Zuar”

      Retina atau pun Raka, yang jelas sekarang sosok rapuh itu berjalan menjauh meninggalkanku. Ia tertatih bersama Dochi di sampingnya. Sementara aku? Hanya bisu! Kakiku membatu, rasanya ia terlalu kecil untuk menampung beban di hati. Apakah cintaku hanya seperti ini? Bukankah aku berkata kalau tidak suka mengkotak-kotakkan seusatu? Cinta adalah cinta! Bagaimanapun bentuknya. Tapi, kenapa ini sulit sekali saat menyadari kalau dia bukanlah wanita. Ternyata, aku hanyalah mencintai fisiknya saja, bukan sama sekali raganya. Cinta kasih yang kutanam, kupupuk, dan kupelihara sendiri, kini kandas hanya karena batas kenormalitasan. Siapa yang membuat garis kenormalitasan itu?!

      “Reti... emm, maksudku Raka. Tunggu!” pekikku padanya yang berhasil menghentikan langkah laki-laki itu. 

      “Sebelumnya, kau berkaata kalau udumbara itu bunga kecil yang hampir tak kasat mata, kan? Apa bunga itu berwarna putih?” tanyaku sedikit heran saat melihat pohon yang biasanya menjadi tempatku dan dia berteduh kini ditumbuhi sesuatu berwarna putih hampir disemua bagian batangnya. 

      “Bagaimana kau tahu, Zuar?” Raka berjalan pelan ke arahku.

      “Sekarang, bunga udumbara itu memenuhi semua batang pohon ini, Raka.”

      Laki-laki berbandana itu tersenyum. Aku melihat bagian dadanya yang kini rata, selebihnya ia masih seperti Retina yang kukenal!

      “Kau melihat bunga udumbara-nya kan, Retina? Bunga itu benar-benar ada.” Raka tersenyum dan airmata makin deras di pipinya.

      “Tunggu. Bukankah permintaan dari Retina yang asli adalah ia ingin melihat udumbara tumbuh di kulit atau hidup di sekitar jasadnya, benar?” tanyaku ngeri.

      “Kau benar!  Jasad gadis itu terkubur di bawah kursi tempat duduk kesayangan kita, Zuar.”

      -END-


      NB : Terimakasih buat Rofie Khaliffah dan TanGi yang udah jadi teman sharing.


      BIODATA

      Ricky Douglas, seorang penulis muda kelahiran 14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di Facebook: Ricky Douglas,  Twitter: @RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com Terimakasih.

                 
    • Posted by Ricky Douglas
    • 10 Comments
    • Readmore . . .
    • Add Comment

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -