Apr 14, 2015

Deja vu dalam Hujan

Déjà vu dalam Hujan
Oleh : Refa Ans
Semakin jelas seseorang mengetahui apa yang akan terjadi padanya, maka semakin tidak jelaslah kecepatannya untuk berubah pikiran.
***
Semua sudah berhasil diingatnya. Ya, semua, tentang ingatan janggal yang menghantui, tentang pemuda itu, dan kisah yang kembali berputar. Kisah yang sebetulnya sempat terjadi, tetapi tertidur sekian lama. Yang masih dipenuhi ketidakpastian perasaannya.
Kini, kisah itu kembali ke dalam ingatan masing-masing dari mereka.
***
Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu. Aku mencintaimu.
Lagi-lagi ada suara di dalam kepalanya. Suara yang sama, yang selalu menghantuinya. Kilasan-kilasan tali bersimpul lasso yang menggantung dan bergoyang turut menghantuinya. Apa itu?
Hal itu, hal yang sudah menghantuinya sampai saat ini.
***
“Jadi, selama ini aku tidak cantik untukmu, Nate, sehingga kaubiarkan tentang pernikahan itu?” tanya seorang gadis dengan kesal. Di pelupuknya kini sudah menggenang airmata. Iris cokelatnya kini menatap penuh selidik, menuntut tentang jawaban atas pertanyaan barusan. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai.
“Kamu selalu salah mengerti, Jade.” Pemuda itu berjalan mendekat, tangannya terangkat untuk membelai surai pirang si gadis. Berharap dengan begitu ia bisa menenangkannya dari berita pahit tadi. Ia menelan ludah yang seketika menjadi sangat sulit untuk masuk ke batang kerongkongan. Mendadak rasa cairan saliva di mulutnya menjadi sepahit berita itu. “Aku selalu mencintaimu, Jade, hanya saja begitulah yang harus kau—juga aku—terima.”
Buliran bening yang tadi menggenang langsung meluber. Luluh. Menganak sungai di kedua pipi gadis itu. Ia lalu memeluk pemuda itu dengan erat, dan menumpahkan segala kesah di pelukan itu.
“Aku tidak ingin dinikahkan dengannya, Nate. Aku hanya ingin bersamamu.”
***
Siapa itu Jade?
Berkali-kali gadis berambut pirang itu mencari tahu nama yang terus berkelindan di kepalanya. Sampai saat ini, ia tidak pernah mengerti alasan nama itu terselip dalam bayang-bayang hidupnya. Memang ada teman sekolahnya yang bernama Jade ketika masih berada di sekolah dasar dulu, tapi sama sekali tidak ada hubungan dengan kelindan nama di benaknya itu.
“Jody, berhenti, jangan biarkan hal itu semakin lama semakin menguasaimu.” Ia mempercepat langkah di koridor sekolah yang semakin lama semakin ramai di jam pulang sekolah ini.
***
“Kita harus mengakhiri semuanya, Nate.” Dengan tatapan kosong gadis berambut pirang itu berujar lantang. Pikirannya sudah tidak jelas ke mana arahnya. Kantung matanya kini tercetak jelas. Yang ia tahu saat ini, ia tidak ingin dipisahkan dari Nate. Selamanya, ia ingin hidup bersama dengan pemuda itu, karena pemuda itulah yang dicintainya.
Hanya gumaman yang keluar dari bibir Nate. Pikirannya makin berantakan. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Dirinya memang mencintai Jade, sebanyak gadis itu mencintainya. Namun, percayalah, bagaimanapun dirinya berjuang, ia tidak bisa membuat perjodohan Jade dibatalkan hanya karena ia ingin menikahi Jade.
“Ayo kita mati bersama, Nate. Dengan begitu, kita akan selalu bersama.”
Nate hanya terdiam ketika mendengar retasan kata dari bibir Jade itu, meski sebenarnya ia begitu terkejut ketika mendapati Jade mengeluarkan perkataan yang sama sekali tak diduganya. Maksudnya…, bunuh diri?
***
Bayangan gadis itu berkali-kali terlintas di benaknya. Sudah ratusan kali, bahkan. Ia tidak pernah tahu alasan bayangan seorang gadis pirang yang berlari seakan meninggalkannya di tengah hutan saat hujan terus muncul di ingatannya. Siapa dia? Apa alasannya?
Ingatan itu ada entah sejak kapan, dirinya tidak pernah tahu secara jelas ketika ingatan itu mulai tertanam dalam memorinya. Yang ia tahu, tiba-tiba saja ada sosok gadis pirang dengan pakaian abad ke-20 itu di otaknya, yang sedang berlari menjauh.
Guh. Pemuda itu menghembus napas kasar sambil menyibak poni pirangnya ke belakang.
“Mungkin ini semua hanya karena aku lelah.” Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Ya, saat ini aku hanya lelah.” Terdapat penekanan di kata terakhir, ia meyakinkan diri lagi sebelum kembali fokus ke buku di pangkuannya. Angin berembus menggoyangkan rambut pirangnya.
***
Ini jalan yang mereka ambil, sebuah jalan pintas menuju akhir.
“Nate, jangan khawatir, kita pasti akan bersatu kelak jika ada benang merah yang menghubungkan jari kelingking kita. Kita pasti akan terlahir kembali dan bersatu,” ujar Jade pelan dengan senyum pasrah dan tatapan yang kosong. Ia menunjukkan kelingking kanannya ke depan muka Nate persis. Sejenak ia mengerling, melirik ke langit yang makin lama makin menggelap dan tanah sepuluh kaki di bawahnya.
Nate tersenyum kecil mendengar perkataan Jade barusan. “Maksudmu, reinkarnasi?” Ia tertawa miris dalam hati ketika berujar. Apa yang bisa diharapkan dari kelahiran kembali seperti itu? Bagaimana jika keadaannya tidak jauh berbeda dengan saat ini, apa artinya itu? Matanya memperhatikan tali yang ada di tangannya, tali bersimpul lasso yang tadi ia ikatkan ke pohon ini.
“Terkadang ada hal yang hanya bisa kita mengerti dengan cara berkorban, Nate.” Seulas senyum ceria terpoles di wajah Jade membuat siapapun yang melihat gadis itu dan Nate di atas pohon tidak akan mengira niatan mereka untuk bunuh diri.
Pemuda itu lagi-lagi mengamati tali bersimpul lasso secara bergantian miliknya dan milik Jade. Pikirannya berkecamuk banyak hal. Sungguhkah dirinya akan benar-benar mati nantinya? Bagaimana reaksi dari orang tua juga teman-temannya? Lalu bagaimana berita tentangnya yang seharusnya nanti mewarisi tahta kerajaan, apa kata rakyatnya? Senyum yang tipis tadi menjelma menjadi senyum kecut.
“Tenang, Nate. Semuanya akan baik-baik saja.” Jade langsung menepuk bahu pemuda yang kini duduk di dahan lain pohon tempatnya duduk. Seulas senyum menenangkan terulas di bibir gadis bermata hijau itu. “Hanya ini yang bisa kita lakukan jika ingin bersatu, karena kita adalah saudara sedarah. Mati dan menunggu untuk lahir kembali.” Air mata gadis berambut pirang tersebut langsung mengalir turun.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Nate. Ia hanya tersenyum simpul.
“Jadi, apa kau sudah siap, Jade?”
***
Langkah Jody langsung terhenti ketika matanya tertumbuk pada pemuda berambut pirang itu. Bayangannya semakin jelas. Kini ia bisa mengingat jelas satu nama lain.
Nate.
Seketika ia merasa bahwa di sini hanya ada dirinya dan pemuda yang ia tahu namanya adalah Nathan, bukan Nate.
***
“Jadi, apa kau sudah siap, Jade?”
Jade tidak langsung menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut Nate. Ia terdiam sambil menatap kakak laki-lakinya tersebut. Ia lalu hanya mengangguk lemah.
“Kalau begitu, ayo kita kalungkan ke leher kita.” Nate memimpin aksi bunuh dirinya bersama sang adik yang ia cintai—bukan mencintainya sebagai seorang adik, tapi seorang wanita. Tidak butuh waktu lebih dari sepuluh detik untuk mendapati tali bersimpul lasso itu terkalung di lehernya dan Jade.
Jade menatap ke lehernya yang sudah dikalungi tali tersebut. Sebentar lagi aku akan mati, pikirnya sambil terlongo. Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang ketakutan itu, ketakutan yang dirasakan hampir semua orang; takut akan kematian.
“Jade, mungkin ada kata-kata terakhir yang ingin kauucapkan untuk dirimu sendiri atau untukku yang akan mendengarkannya?” Nate menoleh ke arah Jade. Gadis itu tampak kaget ketika ia berkata seperti itu.
“Eh? Kata terakhir?” Jade tampak berpikir. Ia tidak tahu yang akan dikatakannya sebagai kata-kata terakhir. Di kepalanya kini justru terbayang ketidakpercayaan bahwa sebentar lagi dirinya akan bertemu malaikat pencabut nyawa. “Tak ada, Nate.”
“Baiklah. Aku juga tidak akan mengatakan apapun.” Seulas senyum terulas di bibir Nate. Senyum yang menenangkan, seakan mengatakan bahwa setelah ini semua pasti baik-baik saja.
Jade justru semakin ragu untuk melakukan ini, walaupun tadi ia amat yakin. Rasa takut semakin menenggelamkannya. Pikirannya berandai-andai makin liar apa yang terjadi setelah ini.
“Semuanya akan baik-baik saja, kan, Nate?”
***
Pemuda berambut pirang itu hanya menatap gadis yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia tidak mengenal Jody—gadis itu—dengan baik. Hanya sekadar tahu sebagai teman satu angkatan.
Nathan lalu berdiri. Matanya dan Jody bertemu. Mata hijau itu membuatnya ingat akan seorang gadis yang tersenyum begitu menenangkan. Juga gadis yang berlari itu.
Perlahan, rintik-rintik hujan mulai turun. Keduanya hanya terdiam di antara siswa-siswi yang berlarian untuk berteduh.
***
Pemuda itu mengangguk meyakinkan, walaupun di dalam hatinya sama sekali tidak yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Ia hanya ingin menuruti kemauan gadis itu, satu-satunya orang yang ia cintai. Keinginan yang juga ia miliki, bersatu dengannya meski harus mati dulu dan menunggu waktu bereinkarnasi.
“Kamu sudah siap?”
Jade hanya mengangguk ketika mendengar pertanyaan Nate itu. Semakin bersiap untuk terjun ke bawah kini ia justru semakin takut akan kematian. Keyakinannya yang tadi bulat sudah menguap entah ke mana hanya tersisa perasaan takut akan kematian, perasaan yang tak pernah berkelindan sedikit pun di kepalanya.
Nate lalu menyodorkan tangannya, mengajak Jade untuk terjun bersama. “Aku tahu, kaulah yang merencanakan semua ini, tapi biarkan aku yang memimpinnya.” Seulas senyum yang manis sekali terulas di bibir Nate.
Gadis pirang itu hanya menggeleng lemah. “Tidak usah, Nate.”
“Baiklah. Kau siap? Biar kuhitung, ya.” Pemuda itu lalu menarik napas dalam-dalam. Detik-detik terakhir ini terasa begitu lambat baginya. “Hitungan ketiga, ya. Satu…, dua…, tiga.”
Hanya Nate seorang yang terjun. Jade justru menatap kakak laki-lakinya dengan airmata mengalir. Dengan gesit ia kemudian turun. Berdiri tepat di dekat kaki kakaknya yang menggantung, yang sedang meregang nyawa.
“Nate, maafkan aku.”
Hujan langsung mengguyur keduanya.
***
“Jade.”
“Nate.”
Keduanya memanggil sebuah nama yang sama sekali bukan nama mereka. Ya, sebuah nama yang tiba-tiba terlintas dalam benak mereka. Nama yang sebenarnya milik mereka beberapa ratus tahun yang lalu itu.
Mata mereka yang berwarna senada itu bertemu. Hujan yang kini mengguyur sama sekali tak mengusik mereka. Mereka sama-sama berkutat dalam ingatan yang pernah mereka miliki.
***
Nate menatap Jade nanar. Dengan napas sesak, ia mengatakan sesuatu. Entah ini bisa disebut kata terakhir atau apa.
“Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu.” Nate menangis, tetapi Jade sama sekali tidak tahu. Tangisnya bersembunyi di balik hujan “Aku mencintaimu.”
Jade hanya termenung sambil menangis menatap Nate ketika mendengar perkataan itu. Rasa bersalah kini bergumpal di dadanya. Mengapa kini dirinya yang berubah pikiran, padahal tadi ia yang merasa paling yakin bahwa ini adalah cara terbaik?
“Maafkan aku, Nate,” ujar Jade sangat lirih, tenggelam dalam rinai hujan yang turun dengan derasnya.
“Pergilah….”
Itu kata terakhir yang Jade dengar sebelum berlari pergi. Melaporkan bahwa kakaknya bunuh diri, tanpa ia menjelaskan penyebab sang kakak bunuh diri.
Itu tetaplah rahasianya dan Nate.
***
“Kau…, mengingatnya?”
“Ya,” Jody menjawab dengan mantap. Ia bisa akhirnya mendapat jawaban dari kalimat yang selama ini terkesan mengganggunya. Kalimat yang sebenarnya berisi penuh harapan. “Kurasa kau juga.”
“Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu. Aku mencintaimu,” ucap keduanya bersamaan dalam keheranan.

6 comments:

  1. Refaaaa...terlepas dari kesesuaian isi dengan tema yang aku juga belum paham. *geret Anis, cerpennya bagus, kok. Alur maju mundurnya mudah dimengerti, genrenya Refa banget ini sih. Yang aku soroti cuma adegan Si Jade yang mendadak gak jadi ikutan terjun aja. Di situ agak kurang dapet konflik batinnya yang bikin dia akhirnya memutuskan gak jadi ikutan bunuh diri. Padahal awalnya dia yang semangat banget, kan. Kalau itu diperdalam lagi, pasti lebih keren. Pokoknya cerpen ini baguuuussss, aku bisa menikmatinya. Keep writing....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih tangi, aku terharu baca komennya :') Apalagi inget prosesnya sampe jungkir-balik di kasur ='))))

      Delete
  2. Karena aku sudah baca sumber inspirasi cerpen ini... err... ( ̄◇ ̄;)

    buat aku, ceritanya masih terlalu mirip fa. (/(エ)\)

    Tapi masih okay. Aku suka gayanya. Berasa nonton twilight. >,< dan iya setuju... perubahan pikiran Jade masih kurang greget. Konflik batinnya ga terlihat.

    Tapi aku suka gaya penceritaannya. Dua alur berjalan beriringan. ヘ(= ̄∇ ̄)ノ

    Jujur sih aku berharap mereka berdua sebelumnya mati karena hal lain. Bukan bunuh diri. Ga sreg aja sama adegan ala romeo & juliet gitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aw, maacih buat komennya mbak desssss. Aku jg merasakan apa yg kaurasakan, mbak des. pas itu aku jg telat kan postnya, makanya udahlah apa adanya😂

      Delete
  3. Halo, Refa! Aku mampir di cerpen kamu. :)
    Pertama aku nggak ngerti sama temanya yang kalau nggak salah Heisenberg ya? Aku komentar dr sisi pembaca awam. :')

    Kedua, aku agak bingung sebenarnya pas baca cerpen kamu di awal. Aku nggak tahu siapa yg punya mimpi itu. Dan ada beberapa dialog yang aku malah nanya sendiri "Ini siapa yang ngomong." Tapi makin ke belakang makin jelas kok, dan aku pikir kamu memang menyisakan tanda tanya itu untuk bagian middle to end story. :)

    Tulisan kamu apik. Aku suka gaya kamu bercerita. Hehe. Satu lagi yang aku mau komentari adalah soal bagian bunuh diri. Kenapa Jade nggak jadi bunuh diri? Kenapa harus biarin Nate mati sendiri? Kalo nggak mau bunuh diri kenapa semangat banget ngajak Nate mati?
    Nah, emosi di sana belum terlalu kuat. Jadi perihal bunuh diri itu nghak berasa full feel-nya.
    Itu aja sih kayaknya. Aku juga masih belajar menulis, jadi mohon maaf kalau salah-salah komen. ^^"
    Keep writing, Refa! Kayaknya bakal sering-sering nengok-nengok blog KF11 nih kalau butuh bahan bacaan. ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, dikomen sm senior>,< Jadi malu aku>< Makasih banget komennya, Mbak. Hehe. Sering-sering aja dateng, mumpung gratis dan masih trs apdet😂

      Delete