Posted by : Pipit Dwie Putri May 8, 2015

Kota ini penuh dengan keindahan saat Bintang datang pertama kalinya ke sini. Pemandangan hijau rerumputan dihiasi tanaman ilalang sebagai pembatas jalannya. Bunga-bunga bermekaran di musim penghujan dan kupu-kupu selalu terbang di atasnya. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Hal itulah yang tidak dia dapati saat ini. Banyak yang telah berubah setelah satu tahun kepergiannya ke pulau seberang. Pertama kali hanya berniat mencari pekerjaan untuk modal usaha di kampung halaman, namun ternyata dia menemukan tambatan hati di sana. Dan saat ini wanita itulah yang menemani Bintang pulang ke kampung halaman orang tuanya.

Mereka tiba di depan rumah tepat pukul 7 malam. Suasana begitu sepi dan mencekam. Lolongan anjing di kejauhan menambah suasana menjadi menyeramkan. Bintang melangkah menuju pintu diikuti langkah kaki calon istrinya, Santi. Wajah Santi tampak cemas, terlihat tanda kerutan di keningnya pertanda dia sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang dipikirkannya, Bintang tak pernah tahu.

Tok... tok... tok...
Dia mengetuk pintu rumahnya sebanyak tiga kali. Dia tak mengerti mengapa orang tuanya menyuruh demikian sejak Bintang masih kecil. Mungkin untuk mengusir hantu barangkali.

Kreekk...
Bunyi engsel pintu yang sudah tua terdengar saat seorang wanita tua –ibu Bintang– membukakan pintu untuk mereka. Sesaat wanita itu sedikit termenung melihat sosok gadis di sebelah anaknya. Tetapi pada akhirnya, wanita itu mengajak mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah.

Bintang memasuki kamar lamanya sambil mengajak Santi masuk ke ruangan itu. Rencananya Santi lah yang akan tidur di kamarnya dan dia tidur bersama adiknya, Rean. Dia melihat tidak banyak perubahan di kamar tidurnya. Yang berubah hanyalah sprei yang sepertinya baru saja diganti oleh Bik Inah, pembantu setia keluarga ini. Foto bersama saudara kembarnya terpampang di atas meja di sebelah tempat tidur. Kembali Bintang mengingat kenangannya bersama almarhum.
“Ah, aku tidak boleh mengingatnya lagi. Dia sudah tenang di alam sana.” Kata Bintang dalam hatinya.

Setelah membersihkan badan dan merapikan bawaan mereka, Bintang mengajak Santi ke ruang tamu. Di sana keluarga besar Santoso sudah menunggu. Ibu, bapak, Rean, Manda dan juga Bik Inah. Mereka duduk bersama dan saling bertukar cerita selama kurang lebih satu jam. Keluarganya cukup memaklumi kelelahan mereka berdua, setelah perjalanan panjang yang dilalui. Akhirnya, tepat pukul 9 malam, mereka semua memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.
Di kamar, Bintang kembali mengingat percakapan mereka di ruang tamu.
“Aku harus segera bertindak. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bisa-bisa nyawa Santi juga melayang gara-gara ini.” Pikirnya dalam hati.

Keesokan paginya, Bintang menemui teman-teman lamanya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini. Santi sebenarnya ingin pergi bersamanya sambil melihat keadaan di kampung itu, namun  Bintang melarang karena khawatir akan keselamatannya. Tanpa  mereka sadari, dari kejauhan sepasang mata menatap tajam ke arah rumah Bintang. Menatap Santi dengan nafsu membara.

***
“Mbah, sepertinya di kampung ini ada mangsa baru untuk persembahan.” Kata laki-laki itu kepada Mbah Gentong.
“Sopo, Le?”(1) Kata Mbah Gentong sambil terus mengunyah sirih merah.
“Kula mboten mangertos naminipun, Mbah. nanging kadosipun piyambakipun calon menantu keluarga Santoso.” (2) Tambah laki-laki itu.
“Yo wes. lakoke sabaene wae.“(3) Mbah Gentong memberikan perintah.
“Nggih, Mbah. Enggal kula tumindakake kengken Mbah. Kula pamit riyen. “(4)
“Yo wes. Ati-ati, Le. Firasat Mbah ora ping enak iki”(5) Kata Mbah Gentong sambil memberikan sebuah bungkusan yang isinya jampi-jampi.
“Inggih, Mbah” (6) Kata laki-laki itu sambil mengambil bungkusan dan segera meninggalkan rumah Mbah Gentong.

***
Hari beranjak malam. Matahari sudah terbenam di ufuk timur. Tampak sinar kemerahan mulai pudar seiring dengan pancaran sinar rembulan yang menggantikan tugas sang surya. Malam ini tak tampak seperti malam di mana Bintang datang kembali ke kampung ini. Malam ini sang bulan tertutup awan hitam. Suara burung hantu terdengar memilukan, seperti sebuah pertanda akan terjadi sesuatu pada malam ini. Yang Bintang takutkan hanyalah keselamatan Santi, kekasihnya. Bintang tidak ingin dia bernasib sama dengan perawan-perawan desa yang raib entah kemana. Dika mengatakan kepadanya kalau awalnya para gadis itu berjalan sendiri ke arah danau perawan, danau di ujung kampung yang tak pernah terjamah oleh orang-orang. Setelah itu, mereka semua menghilang tanpa jejak walaupun para warga kampung mencari hingga ke dalam hutan di samping danau.

***
Di kamar, Santi sedang mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat isya’. Hatinya malam ini sedikit kacau. Entah mengapa perasaannya tidak begitu enak sejak makan malam tadi. Dia seperti merasakan ada sesuatu di rumah ini. Tapi, pikiran-pikiran buruk itu segera dia musnahkan. Dia berpikir kalau tidak enak mengatakan hal ini kepada calon keluarganya. Cukup dia saja yang merasakannya.
***
Di kamar sebelah, Bintang juga merasakan perasaan yang sama seperti yang Santi rasakan. Bintang ingin sekali menemani Santi malam ini hingga dia tertidur. Tapi, sepertinya Bintang tidak mau melanggar aturan keluarganya untuk tidak berada dalam satu kamar bersama orang yang bukan muhrim. Dalam hati Bintang terus berdoa untuk keselamatan Santi.
***
Waktu menunjukkan pukul 9 lewat 5.
“Sepuluh menit lagi akan aku lakukan ritual ini,” pikir laki-laki itu dalam hatinya.
Sesajen dan hio sudah dipersiapkan di seberang danau perawan. Tinggal menunggu waktu dan gadis itu −Santi− akan segera datang.
***
Santi terus menerus menguap, tanda dia semakin mengantuk. Santi mendekati pinggir tempat tidur dan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak sampai lima menit, Santi sudah terlelap. Bintang juga sepertinya sedang dalam kelelahan yang luar biasa. Bintang tertidur lebih cepat dari biasanya. Dan Bintang bermimpi buruk. Di dalam mimpinya, dia melihat seorang laki-laki yang sedang menggeret paksa gadis berpakaian putih di depannya. Bintang seperti mengenal sosok gadis itu. Ah, itu adalah Santi, kekasihnya. Mau apa laki-laki itu kepada Santi? Mengapa Santi seperti menurut saja diperlakukan seperti itu oleh lelaki di sampingnya? Bintang harus segera membantunya. Jika tidak, Bintang tak akan pernah tahu apa akibatnya setelah ini.
Dia mulai mendekati laki-laki itu, dan melayangkan tinju kepadanya. Tetapi dia mampu mengelak dari tinju Bintang dan membalasnya dengan satu pukulan yang menyebabkan Bintang terjengkal ke belakang. Pertarungan sengit terus berlangsung. Dan tanpa sadar, Bintang mengingat ucapan Kiai Sepuh di pondokannya dulu.

Jika kamu mengalami pertarungan di dalam mimpi dan pertarungan itu tampak seperti nyata, ucapkanlah doa ini. Niscaya engkau akan segera memenangkan pertarungan dengan ijin Allah SWT.

Bintang mengucapkan doa-doa yang diajarkan Kiai Sepuh, dan apa yang terjadi setelah ini benar-benar jauh dari nalarnya. Lelaki di depannya berteriak histeris dan terus menghilang seperti asap.
***
Di tempat lelaki suruhan Mbah Gentong, Santi tampak tertidur pulas di samping lelaki yang telah kalah dari pertarungan. Dia tewas seketika di dalam pertarungan yang terjadi antara Bintang dan lelaki itu. Musnahlah sudah harapan Mbah Gentong untuk menggenapkan tumbalnya menjadi 50 gadis perawan.

~end~

 (1) Siapa, Le?
(2) Saya tidak tahu namanya, Mbah. Tapi sepertinya dia calon menantu keluarga Santoso.
(3) Ya sudah, lakukan seperti biasa saja.
(4) Ya, Mbah. Segera saya lakukan perintah Mbah. Saya pamit dulu.
(5) Ya sudah. Ati-ati, Le. Firasat mbah tidak enak kali ini.
(6) Iya, Mbah.


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -