- Back to Home »
- Cerpen , Kaha Anwar »
- Panggil Saja Aku Laki-laki
Posted by : siska
Apr 28, 2015
Di jalanan, di pasar, di tengah-tengah keramaian, di apotik
yang menjual alat kontrasepsi, di setiap diskusi
para ibu-ibu arisan, tidak hanya ibu-ibu tetapi juga para mahasiswi juga pernah,
paling tidak pernah membicarakannya. Semuanya begitu, membahas keperkasaan
laki-laki dan kelaki-lakiannya. Tidakkah aku tersinggung,
atau sedang tidak pura-pura tersinggung, atau hanya pura-pura tersinggung?
Tetapi, kadang mulut perempuan ini perlu disumbat dengan kekuatan
laki-laki, atau kita sumbat dengan kelaki-lakian kita. Mereka sudah banyak
omong kawan!
Suatu hari di Cassanova.
Gelak tawa para perempuan setengah tua yang
kehabisan cara untuk membelanjakan uang. Berjuta-juta mereka habiskan untuk bisa krimbat, menikur,
pedikur, rawat wajah, naikkan bember dan sedot lemak. Semuanya hanya untuk satu
tujuan: agar suami mereka bakal betah di rumah, tidak serong kanan juga ke kiri, semuanya agar suaminya tetap lurus ke depan. Tapi
terkadang hidup tidak melulu harus ke depan. Tahulah sendiri.
Suatu hari di rumah.
“Mau kemana, Pa?” setiap pagi mungkin inilah yang paling
membosankan. Laki-laki mana atau pria yang mana yang suka dengan pertanyaan model robot? Semua laki-laki dan pria bosan mendengarnya, apalagi aku
yang ditakdirkan laki-laki. Apakah semua laki-laki dan pria,
juga aku, boleh merasakan bosan? Mengapa
pertanyaannya bukan “mau kemana, Ma?” kalau seperti itu kan
laki-laki dan pria, juga aku, tidak harus berbosan ria. Namun, kalau aku
yang bertanya itu, insya Allah,
jawabannya akan selalu sama sampai Kiamat, tidak berubah: “Mama
mau ke salon, Pa.” Tapi, seandainya aku, laki-laki,
atau pria mana pun yang ditanya jawabannya akan selalu berbelit-belit. “Anu, Ma….anu…”
“Anu Papa, kenapa?”
“Dua jam lagi ada klien Papa yang harus
dibantu, Ma. Papa tak mau dia harus repot-repot keluar
kota mencari bantuan.”
Suatu hari di kantor.
Lelah juga kalau harus menunggu lampu di
pinggir itu menjadi hijau. Padahal pilihannya hanya tiga, ada merah, ada kuning, dan juga ada hijau. Tapi
kenapa yang muncul hanya ada dua: merah dan kuning. Itu pun kalau tidak aku perintahkan menjadi hijau, lampu itu tidak pernah
menjadi hijau. Tahukah kamu siapa yang memegang kendali itu. Ya, dialah istriku. Menjadi operator setalah aku melamarnya di masjid. Tidak pernah sekalipun dia
menyalakan lampu hijau untukku.
“Kalau Papa ingin lampu hijau setidaknya Mama juga
ingin menikmatinya, Pa.” Begitu cakapnya. Ah, masa bodoh dengan istriku. Dia pun tak pernah melayaniku dengan lampu hijau.
Begitu juga di kantor, pilihannya hanya dua.
Semua harus sesuai dengan prosedur kantor. Meeting ini, meeting itu, dan kertas yang harus aku tanda tangani. Tapi, aku harus main kucing-kucingan dengan istriku kalau mau menandatangani sekretaris pribadi di kantor.
Sebagai MoU tentunya.
“Mas, bisakah kita
makan malam hari ini, istri Mas sedang di Cassanova kan?” SMS dari sekretarisku
terpaksa harus mengubah lampu kuning dan merah menjadi hijau. Asyik benar hidup ini.
Suatu hari di Cassanova
Bla….bla…@**&^^%#@**&><????!!!!&%$#*&^%$#@!!##@%>>>~~~$#......ngomogin
apa sih mereka….susah banget.
Susah atau mudah mestinya sebuah relativitaskan?
tapi kenapa setiap kesusahan selalu mereka anggap sebagai suatu yang mengerikan
dan susah untuk dipecahkan dan jangan sampai suatu saat nanti kita harus berurusan
dengannya. Kesusahan-kesusahannya mungkin hanya berkisar bagaimana membuat
suami betah di rumah atau bagaimana cara memanjakannya. Entah di ranjang, entah
di meja makan dengan menu-menu baru yang mereka sadur dari majalah kewanitaan.
Toh, semuanya akan hilang, setidaknya untuk saat ini. Apalagi kalau
mereka sudah ngerumpi di Cassanova.
Suatu hari di rumah
“Papa,kok baru pulang…?”
“Mama juga nggak biasanya pulang selarut ini.”
Mama. Coba pikirkan sejenak. Mengapa setiap kali pulang dari ngantorin sekretaris
pribadi di kantor wajah dan tubuh istriku ada yang berbeda. Lebih
menggairahkan. Ah, Mama
kita selesaikan urusan kita malam ini.
Suatu hari di Cassanova.
Suatu hari di kantor.
Suatu hari di rumah.
Suatu hari di Cassanova. Ada istriku dan
para perempuan setengah tua lainnya.
Suatu hari di kantor. Ada aku dan sekretaris pribadi.
Suatu hari di rumah, ada istri dan kelaki-lakianku.
Komenku di sini cuma pas bagian;
ReplyDelete"....keluar kota mencari bantuan.”
mungkin maksudnya ke luar kota kali, ya. Hehheehe... Setelah itu ga ada komen kok, Tan =))
Bagus, sih. Aku suka. Cuma ada beberapa kata (misalnya saja 'juga') yang diulang dua kali dalam waktu dekat yang membuat agak tidak nyaman waktu membaca. Selebihnya, sih, aku suka idenya. Asa beda sama kebanyakan cerpen :P
ReplyDeleteBagus, sih. Aku suka. Cuma ada beberapa kata (misalnya saja 'juga') yang diulang dua kali dalam waktu dekat yang membuat agak tidak nyaman waktu membaca. Selebihnya, sih, aku suka idenya. Asa beda sama kebanyakan cerpen :P
ReplyDelete