- Back to Home »
- Fiksi , Kaha Anwar , REVIEW BUKU »
- Satu BH dan Lelaki Keseribu di Ranjangku
Posted by : Unknown
Feb 15, 2015
Yang
paling berat bagi Niken ialah masa depannya yang tak akan bisa diisinya dengan
persuami-istrian. Sebab siapa mau jadi suami atau istrinya secara total.
Kemudian masyarakat umum yang tak punya kesediaan untuk mengakui eksistensinya.
Tetapi, serba sedikit, perlahan-lahan Niken berhasil mengatasi hal itu. (BH,
hal. 190)
Niken,
dalam cerpennya Emha Ainun Nadjib (selanjutnya disebut Emha), tidak jelas
posisinya: pelacur atau sekadar perempuan yang haus lelaki. Namun, pembaca akan
segera mengerti bahwa posisi Niken mirip dengan wanita perindu lelaki, bukan
pelacur. Sebab, melihat latar belakangnya, Niken merupakan mantan hakim. Ia
sarjana yang cukup cerdas. Tetapi, ia berhenti dari pekerjaannya karena “agak”
bertentangan dengan nurani. Kemudian, ia di rumah saja, meneruskan usaha dagang
orangtuanya.
Agak
aneh jika Niken itu pelacur, sebab pekerjaan itu umumnya, maaf, biasa
dilatarbelakangi masalah ekonomi. Tetapi, Niken adalah perempuan berada,
sehingga kenakalannya tak lain karena kesepian.
Ya,
kesepian di tengah hiruk pikuk material yang menggerogotinya. Gaya hidupnya tak
ubah model manusia metropolis: haus pada hiburan. Cap perempuan nakal
menyebabkan Niken terus bergelut dalam lubang yang dalam, gelap.
Sedangkan,
masyarakat hanya bisa mencibir dan asyik melihatnya: “Memang sepantasnya begitu
akibat yang harus ditanggung perempuan nakal!”
Namun,
Emha tidak ikut-ikutan mindstream yang tengah berlangsung. Dengan cekatan, Emha
menghadirkan tokoh “aku” sebagai teman diskusi Niken. “Aku” adalah selayaknya
teman yang memandang dari semua dimensi kekurangan dan kelebihannya manusia.
meski tokoh ia juga menanggung kesimpulan dari teman dan masyarakat bahwa ia
pacar Niken. Selanjutnya, mereka tentu saja merendahkannya.
Tokoh
“aku” dicap layaknya gigolo yang menerima upah. Tetapi, yang dicari Niken tidak
hanya berkutat masalah “ranjang”. Niken tidak bergaul sekadar demi seks. Tokoh
“aku” bukan pacar Niken, meski Niken pernah mengungkapkan perasaannya. Tokoh
“aku” berterus terang tentang perihal keadaaannya. Ia mengajak Niken bercinta
sesuai tempatnya: “Kau mencinta itu dan bersedia menerima apa yang mampu
kuberikan, sementara aku pun mencintai penderitaanmu.”
Hal
yang sulit dilakukan, tetapi selayaknya dilakukan jika cinta itu memang tulus
diberikan kepada orang yang dicintai. Tokoh “aku” sendiri menerima Niken juga
dalam batas yang ia mampu. Tokoh “aku” bisa mengawininya dengan pikiran-pikiran
yang menguatkannya. Tetapi, untuk berjalan, nonton, atau kemana-mana
bersamanya, terus terang memang masih ada cukup keberatan dalam perasan di
benak “aku”. Hal yang lumrah, dan terjadi pada siapa pun.
Inilah
kejujuran seorang Emha; kejujuran memandang realitas pada diri manusia. Siapa
yang siap lahir-batin menerima orang-orang yang dicap nakal oleh masyarakat?
Saya kira jarang sekali.
Tetapi,
titik tekan yang hendak disampaikan Emha bukan masalah kawin itu sendiri,
melainkan teman yang saling mengisi, teman yang mau diajak bertukar pikiran,
menumpahkan unek-unek sebagai manusia yang hidup di tengah alam yang
bergejolak. Sebab, orang akan menjauhi manusia nakal secara total, baik lahir
dan batinnya, tanpa melihat sisi jiwanya yang kerap menangis.
Ternyata benar, pelacur tak selamanya
menikmati kepelacurannya. Bahkan, sang pelacur itu menjerit sedih dalam
keremangan dunianya. Terlihat terhibur dengan berbagai macam laki-laki, namun
apa arti hiburan bagi sang pelacur?
“Dan
besok, kukira aku akan berpesta diam-dia dalam diriku, buat lelakiku yang
keseribu. Tak tahu bagaimana, ini semua tak ada yang baik bagiku, tetapi ada
hal yang menarik. apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap
hari adalah hiburan yang berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan
berubah menjadi kebosanan, kejenuhan dan rasa perih lahir batin....” (BH, hal.
4)
Kehidupan
pelacur tak pernah untung, yang untung hanyalah germonya. “Germo bosku, lelaki
yang paling beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya-raya dan berkuasa penuh
atas sawah-sawahya yang menyediakan sawah-sawah itu untuk disingkal, disingkal,
disingkal, kapan saja ia mau. Sungguh tragis! Bagaikan sapi perah yang tak
pernah menikmati kelezatan susunya, “susu berbalas rumput teki!”.
Lantas
jika ditanya, kenapa memilih jalan kelam? Apakah melacur itu pilihan atau
pelampiasan, balas dendam keadaan? Soal yang pelik. Di tulisannya ini, Emha
menuliskan “Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki
yang mencampakkanku ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan
yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam
hidup ini, maka lelaki kedua hanya saluran menuju lelaki ketiga, keempat,
kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus....” Bahkan, yang
mengenaskan: “…. Di sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual oleh
suaminya, serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di
kota ini.”
Membaca
kumpulan cerpen “BH”-nya Emha bagaikan diajak menelusuri dunia yang tak asing
bagi kita, tetapi seakan tersisih dan cepat-cepat kita menutup mata dengan jari
yang terbuka: mau tapi malu. Emha mengajak pembaca memahami dimensi lain dengan
sudut lain. dunia yang selalu dicap neraka, tetapi kita jarang mendengar
teriakan manusianya.
Bagi
saya, buku ini, unik seunik penulisnya. Inilah “jalan sunyi” Emha dalam membaca
realitas kehidupan yang dikemas dalam cerita pendek.
***
Judul : BH
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Tebal : x + 246 halaman; 14 cm x 21 cm
ISBN : 979-709-168-6
Saya belum pernah membaca buku ini, namun tinjauannya mengingatkan pada novel Perempuan di Titik Nol, karya Nawal El Sadawi, seorang psikiater berkebangsaan Mesir. Dalam novel itu, Firdaus, sang tokoh perempuan, juga adalah seorang cendekia. Bukan karena gelar, bukan karena ia bersekolah tinggi, melainkan karena pemahaman akan hidup yang dialaminya dalam kubangan laki-laki. Pekerjaan Firdaus juga sama seperti Niken, ia pun memasukinya karena pamannya, kemudian karena suaminya, kemudian karena 'penyelamat'-nya. Menarik, memang, untuk melihat perempuan di posisi tersebut dalam kacamata yang berbeda.
ReplyDeleteAda bentuk PDF-nya gak, Mbak?
DeleteAku punya yang versi buku, Mas Anwar. Yang ebook coba tak carikan, kalau ada nanti kukabari yah.
Deleteresensi novel ya??
ReplyDeleteBukan, Mbak Pipt. Ini Sekadar komentar atas kumcernya Cak Nun...:D
DeleteAku nggak banyak punya buku-nya Mbah Nun :(
ReplyDelete