Posted by : Refa Annisa Apr 5, 2015

Kaca yang Berdebu
Oleh : Anis Stiyani
“Dia memuntahkan darah pada kemejaku, pagi tadi.”
Sewajarnya, dalam keadaan seperti ini aku akan melihat banyak guratan ekspresi dalam wajahmu. Tapi, selama itu adalah kau, ekspresi adalah satu-satunya barang langka yang akan kutemukan, bagaikan mencari stomata daun dengan menggunakan mata telanjang, mustahil terlihat.
“Aku bahkan tidak sadar, dia benar-benar begitu bodoh. Aku masih melihat senyum konyolnya tadi pagi,” setengah melantur, kau mengaduk kopi pertamamu hari ini. Kopi yang seharusnya disiapkan oleh dia-mu, seseorang yang selalu kau ceritakan padaku tanpa kenal lelah.
“Kau tahu? Banyak hal yang sudah ditakdirkan terjadi, dan beginilah takdirku.”
Benarkah? Kau tidak ingin menangis?
Satu hal yang selalu kusuka darimu adalah, kau akan mengelus punggungku naik-turun, secara teratur, membuatku nyaman berada dalam dekapanmu. Kugeliatkan badan, menyusupkan tubuh lebih dalam pada dekapanmu, yang selalu terasa hangat. Oke, anggap aku genit. Tapi, siapa yang akan peduli?
Kurasakan tangan-tangan panjangmu menangkup wajahku. “Kau mau susu? Aku yakin kau pasti mau, ayo!”

***
“Syailendra... Syailendra... bangun,” suara lembut terdengar sayup-sayup di telingaku. Aku terlalu malas untuk bangun. Menggeliatkan tubuh, kutepuk-tepuk wajahmu. Bangun...
“Andra... Syailendra, tidak mau melihatnya untuk terakhir kali?” kudengar bisik halus itu lagi, tapi kau masih betah dengan posisimu, tak terganggu sedikitpun.
“Hei, bangun...” kali ini, wanita yang biasa kau panggil ibu itu, menepuk bahumu sedikit keras. Sementara aku berjalan anggun menuju kursi malas milikmu, tempat favorit kita  menghabiskan coklat panas saat malam-malam.
Duduk tegak, dalam penglihatanku, kau seperti bocah umur dua tahun yang terjebak dalam tubuh laki-laki dewasa duapuluh tujuh setengah tahun. Kau menggeliat di atas kasurmu. Berguling ke kanan, berguling ke kiri, lalu membuka mata.
“Ibu, di sini? Ada apa?” kau bertanya dengan raut bingung, seolah-olah kau baru sadar kalau rasa air laut benar-benar asin.
“Kita ke rumah Sasti sekarang, ya?” kau mengangguk tanpa memberikan komentar lebih, beranjak masuk kamar mandi.
“Dia akan baik-baik saja, ‘kan, Mell? Sasti perlu melepaskan rasa sakitnya. Iya, ‘kan?”
Ibumu mengelus puncak kepalaku sebelum beranjak pergi. Mungkin Ibu juga butuh menenangkan diri. Kehilangan menantu yang baru beberapa menit didapatnya, tepat di depan mata. Bahkan saat doa-doa untuk pernikahan kalian masih basah, menyatu bersama udara.
Setelah hening mengisi penuh setiap sudut-sudut kamar ini, Kau keluar dari kamar mandi. Dengan rambut basah, kulit lembab dan... aku melewatkan satu bagian basah yang tak kau sadari keberadaannya, matamu. Mata basah, memerah.
“Hei, kita lanjutkan acara tidur kita setelah ini, oke? Aku akan segera kembali,” kau berujar begitu santai sambil lalu. Menyambar kemeja hitam yang tepat berada di sebelah kemeja putih, bekas kau pakai saat akad nikah tadi pagi.
Hitam dan putih yang begitu kontras. Persis seperti keadaan dirimu yang begitu ironis hari ini. Aku tahu, bahkan disetiap belaianmu pada puncak kepalaku hari ini, kau menyimpan seribu getir yang sedang coba tekan dalam-dalam. Sekarang, senja menjelang. Ini hari yang cukup berat untukmu, ‘kan?
***
Aku sedang berguling di sofa, menikmati iklan-iklan yang berkelebat lewat—terlalu cepat untuk mata pemalasku—di Televisi. Tiba-tiba saja, kau datang, ikut bergabung bersamaku, dengan secangkir penuh minuman yang memperlihatkan asap yang meliuk dalam aliran laminer, seperti konsep fluida pada umumnya. Dari baunya yang harum dan menyengat, aku yakin itu kopi, atau setidaknya, begitu Ibu mengatakan jenis minuman itu setiap pagi saat memberikan kepada ayahmu.
“Harusnya akan ada istri yang memanjakanmu saat malam tiba begini.” Ibumu yang sejak tadi berkutat dengan sinetron tiba-tiba saja menggersah sendu.
“Sasti perlu tempat untuk pulang. Tempat dimana dia tidak perlu merasakan sakit lagi. Ibu tau itu, ‘kan?” ujarmu terlampau tenang.
Seingatku, terakhir kali kita bertemu, lingkaran hitam di bawah matamu belum setebal ini. Rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitaran wajahmu juga belum terlihat kacau. Seingatku, terakhir kali kita bertemu, kau berada dalam tampilan pengantin laki-laki paling bahagia sepanjang masa.
“Berapa lama kau tidak tidur? Wajahmu kacau sekali...”
Kau terlihat berpikir, mungkin saja kau sedang menghitung kapan terakhir kali kau pergi tidur? Atau mungkin kau sedang mengingat-ingat kapan terakhir kali kau pergi ke kamar mandi? Bau tubuhmu sudah serupa dengan kopi dan asap rokok. Dengan kemeja kusut dan lengan terlipat asal sampai batas siku, dirimu layak mendapatkan predikit laki-laki paling mengenaskan sepanjang masa yang bersanding dengan kisah tragis di hari pernikahannya.
“Aku cepat lelah belakangan ini. Sebagian besar waktuku habis di atas tempat tidur. Jadi, aku perlu kopi. Pekerjaanku tidak akan selesai dengan sendirinya, Bu...”
Aku meringis mendengar jawabanmu. Ibu bertanya apa, kau menjawab apa?
“Sepertinya, kopi ini pun akan sia-sia,”
“Tidurlah, jika itu membuatmu merasa lebih baik,” Ibu mengalah, merasa sia-sia jika harus berbicara dengan dirimu yang memperlihatkan sisi datar dan baik-baik saja.
Apa benar, kau baik-baik saja?
“Ayo tidur, Mell!”
***
Kadang aku berpikir, bagaimana manusia bisa diciptakan dengan wajah datar tanpa ekspresi sepertimu? Kadang, aku bertanya, apakah Tuhan lupa menempatkan beberapa syaraf di daerah-daerah tertentu, yang dapat menarik sudut-sudut wajahmu, menghasilkan ekspresi. Lalu aku mulai sadar. Mungkin, harus ada satu dari seribu orang di dunia ini yang sejenis dengan dirimu, dengan begitu anomali akan selalu tampak mencolok dan menonjol untuk sekedar dilewatkan.
“Dia terlalu bodoh, memilih waktu yang tidak tepat. Kau lihat, tuksedo yang sudah dia pesan enam bulan lalu jadi sampah seperti ini? dia benar-benar pengacau yang ulung!” Kau masih sibuk hilir-mudik di dalam kamar. Masih melirik ke arahku sesekali, lalu hilang di balik pintu kamar mandi.
Yah, wanita tersayangmu memang selalu jadi pengacau yang ulung. Mengacaukan rencanamu, mengacaukan hatimu, lalu mengacaukan hidupmu sebagai penyempurnanya. Hari ini, tepat empat puluh hari setelah pernikahanmu berlangsung. Hari ini, tepat pula empat puluh hari istrimu yang baru saja kau ikat dengan hatimu, terikat oleh benang kematian.
 “Andra... kau dimana?” suara mendayu seorang wanita terdengar dari balik pintu kamarmu. Sementara suara gaduh dari balik kamar mandi menandakan kau sedang tidak baik-baik saja.
“Ouch!!!” suara erangan tertahan serta bunyi pintu kamar mandi yang di banting kasar membuatku menggeliatkan badan malas. Ini sudah biasa terjadi.
“Aku akan memakai baju dulu, Arana. Tunggu sebentar,” teriakmu di balik pintu lemari. Menekuri kuku jariku yang mulai memanjang terasa lebih menyenangkan daripada melihat kulit punggung pucatmu, yang bersaing ketat dengan warna pucat bulan malam ini.
Sedikit menyanyi sepertinya dapat melepaskan penatku. Baru saja aku mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan suara, pintu kamarmu menjeblak paksa dan muncul sosok perempuan yang belakangan akrab terlihat beredar disekitarmu. Mungkin dia berpikir, dirinya adalah satelit yang akan selalu menjaga keseimbangan dengan berada di sekitarmu. Harusnya dia sadar, kau dan dia tak lebih dari ekor komet dengan matahari.
“Hai, Melly... apa kabar?” ujarnya ramah, terdengar seperti dipaksakan. Kuabaikan dia dan lebih memilih memandangmu yang sedang menuju ke arah sofa tempatku duduk malas.
“Kau tampaknya sedang sibuk, ya?”
“Hanya sedang memilah barang-barang,” ujarmu cuek sambil menyapukan pandangan pada kotak karton berisi kenanganmu bersama Sasti.
“Kemajuan yang bagus,” timpal wanita di hadapanmu, matanya ikut-ikutan menyapu seisi ruanganmu. Berhenti padaku sejenak, lantas fokus padamu lagi sepenuhnya.
Biar kuberitahu, sepertinya dia menaruh hati padamu.
 “Dari sekian banyak keinginanku di dunia, ada satu yang tak akan pernah terwujud, seberapa keraspun aku mencoba mewujudkannya.” Kau memulai sesi berceritamu dengan wanita ini. Atau yang ibumu bilang padaku saat kau pergi ke kantor kemarin, ini terapi untuk kesembuhanmu.
“Melly, kau tahu Aleksitimia? Aku sangat sedih,  Andra mengidapnya,” cerita ibumu beberapa hari yang lalu. Mata senjanya muram, basah, berurai air kepedihan. Ibumu pikir kau sakit? Kurasa kau hanya perlu jujur pada hatimu sendiri, bukan perkara sakit.
“Mau kopi? Kebetulan aku belum minum kopi hari ini,” ujarmu lantas menggiring wanita yang masih tersenyum lebar padamu itu keluar kamar. Yah, kamar ini hanya milik kita berdua, dan akan selalu seperti itu.
“Kau yakin tidak mau ikut ke dapur, Mell?” nada datar yang biasa kudengar itu menjajikan sejuta kenikmatan. Tentu saja aku mau ikut! Dengan malas-malasan aku mengikuti di belakangmu.
***
 “Aku tak perlu menentukan bagaimana aku harus memilih di antara dua pilihan. Pilihan hanya akan membuat kepala pusing.”
Kau mengaduk-aduk cangkir kopimu sebentar. Satu... dua... tiga... sepuluh. Setiap harinya akan selalu sama, sepuluh kali. Dengan dua sendok kecil gula, setengah sendok krim, dan tiga sendok penuh bubuk kopi hitam. Perpaduan yang cukup mengerikan untuk ukuran sebuah cangkir kopi yang dapat habis dalam sekali tegukan. Tanganmu menyusuri pinggiran cangkir putih yang masih mengepulkan asap.
“Kau tidak harus selalu memilih saat sudah tau apa yang ingin dilakukan. Termasuk membebaskan perasaanmu, atau berpura-pura tegar.”
Gerakan tanganmu yang sibuk memutar-mutar pingggiran cangkir berhenti begitu saja, disusul deru napas yang keras, senada frustasi.
“Kadang manusia hanya terlalu terbawa perasaan. Setiap yang bernapas pasti akan mati, begitu juga Sasti. Apa lantas aku harus meprotes kepada Tuhan agar tidak mengambil dia secepat itu?” napas pendek-pendekmu memberitahukanku satu hal, kau marah dan tidak terima. tapi kau masih setia mengelak.
Kau meneguk kopimu lagi yang masih sangat panas. Dalam keadaan normal, seharusnya itu akan membuat lidahmu melepuh. Tapi kau tetap diam, seakan-akan kau meminum kopi pada suhu normal. “Dia sudah terlalu lama menderita.”
“Pekerjaanmu jadi berantakan akhir-akhir ini, pun kehidupan sosialmu. Menurutmu, kenapa?” Perempuan yang duduk di depanmu ini seperti mengabaikan keluhanmu, dan balik bertanya dengan nada menantang.
“Aku hanya kurang enak badan. Aku butuh tidur lebih banyak...”
“Kau bilang pada ibumu kau menghabiskan banyak waktumu untuk tidur. Lalu, berapa banyak waktu lagi yang kau butuhkan untuk tidur?”
“Mungkin selamanya,” ujarmu acuh. Bahumu mengendik, tapi aku tahu, tidak dengan hatimu. Jauh di dalam hatimu, pun kau ingin memberontak dari semua jalan yang dipilihkan takdir untukmu.
Lama setelahnya terasa sunyi, senyap. Jam di dinding dapur terasa bergerak lambat, lebih lambat dari pada gerakan siput yang tak menemukan makanan selama seminggu. Kau dan wanita yang sedang menekuri isi cangkirnya itu terdiam, sementara gemuruh guntur di langit malam menjadi musik pengiring kalian.
“Dia memuntahkan darahnya, tepat di depan mataku,” ujarmu tiba-tiba. Tatapanmu menerawang, melayang jauh dari tubuhmu. “Dia masih bisa tersenyum saat itu...” kulihat setitik air mata yang menggantung di pelupuk matamu, meluruh secara tegas. Lama-lama titik-titik itu menjadi banyak, membentuk badai yang meluluh lantahkan pertahananmu.
“Lalu kenapa sekarang kau menangis?” pancing wanita yang masih setia memperhatikan semua perubahan ekspresimu.
“Entahlah. Dia bilang, aku akan baik-baik saja...”
“Kau tahu, hati manusia itu, ibarat kaca yang berdebu. Jika terlalu keras membersihkannya, ia akan retak dan akhirnya pecah. Pun, jika terlalu lembut membersihkannya, ia akan berakhir pada keruh dan noda.”
“Jadi... apa maksudmu?” Kau mengerutkan kening, hingga dua alis tebalmu saling bertaut satu sama lain.
“Berhentilah menggunakan logika, pakai hatimu sesekali, agar kau lebih manusiawi...”
“Dan kau dapat menjamin aku akan lebih bahagia?”
“Kebahagiaan itu letaknya di hati. Kau sendiri yang dapat menentukan, apakah kau ingin bahagia atau berpura-pura untuk bahagia,”
Aku berjalan mendekat ke arahmu setelah menghabiskan minuman bagianku. Beranjak naik kepangkuanmu, yang kau sambut dengan hangat. Kupandang lekat mata legammu. Mata serupa malam, pekat, tak lagi memunculkan binar di sana.
“Meongg....” Kutelusupkan kepala di sela-sela tubuh sebelum melingkarkan ekor cantikku yang baru saja dikeramasi tadi pagi di salon. Berharap, dengan adanya diriku benar-benar akan membuatmu baik-baik saja.
Kau pasti baik-baik saja.
END

{ 2 comments... read them below or Comment }

  1. Nyari nangis di bagian akhir pas ngomongin ttg kaca yg berdebu...

    Mengangguk setuju waktu diajak pakai hati sekali2... Krn memang logika adalah perangkat yg terakhir berevolusi, konon terlalu lamban dibanding hati dan intuisi...

    *eh, kok jd serius gni ya komennya XD

    Keep writing, Nis! :D

    ReplyDelete

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -