Posted by : Refa Annisa Feb 17, 2015

Ada garis diametral yang memisah yang menyingkurkan keduanya. Desa adalah perawan yang belum teraba tangan-tangan jahil. Ia simbol kepolosan, kesederhanaan dan kemandirian. Namun, desa, juga terkadang gambaran keterbelakangan, kekalahan manusianya menaklukan roda zaman. Akibatnya, ia tersudutkan dengan kata-kata “kamu ndeso”.
Lain halnya dengan kota. Ia adalah tempat berkumpulnya manusia “berpendidikan”. Bertemunya manusia yang suka bereksperimen dalam segala hal: budaya, politik, kesenian, kesehatan bahkan seks. Kota menjadi laboratorium mini yang semua dimasukan dalam botolnya kemudian digojak. Di kota, kita menemukan, riuh di luar tetapi sepi di dalam. Kota itu hingar bingar bersama, tetapi sunyi dalam relung rumah tangga. Kota, dalam kacamata desa, merupakan tempat yang menyeramkan: sekali masuk engkau terjerat dan berubah karenanya. Kota itu penuh monster yang menjelma liluput yang memikat.
Itulah tangkapan saya ketika seorang teman menyodorkan draf novelnya. Dalam draf yang masih “mlampo” itu, ia  ingin melakonkan kisah seorang gadis desa yang “ngangsu kaweruh” di kota. Sebagai manusia yang sejak kecil hingga remaja berkutat dengan kehidupan desa, dengan segala atribut normanya, merasa canggung menghadapi “riuh-rendah”nya kota. Si gadis harus setia dengan norma “desa”, tetapi juga terus tergenjet dengan alunan-alunan rayuan kota yang begitu memikat.
Sang gadis yang lagi ranum dadanya harus berperang dengan suara batin yang mendapat perapian dari nasihat orangtua, “Jangan pacaran selama kuliah!” Saya kira ini peringatan yang wajar dan sangat umum. Pacaran dalam pandangan orangtua menjadi biang keladi “bubrah”nya para pencari ilmu. Selain itu, ada semacam ketakutan melihat gaya pacaran anak sekarang yang mengaburkan kejelasan: antara sudah menikah dan masih pacaran seakan sama. Apalagi di kota yang notabene sifat saling “asah asuh” sudah memudar. Ditambah dengan jauh jangkuan pengawasan orangtua, tentunya ini menambah kekuatiran tersendiri.
Apakah orangtua tidak belajar mempercayai sang anak? Bisa saja. Meskipun, “anakmu bukanlah anakmu” sebagaimana syairnya Kahlil Ghibran, tetapi setiap “anak polah bopo kepradah”. Orangtua tetap saja tidak bisa lepas tangan, cul setir, membiarkan anaknya menyusuri dunia yang akan dijamah. Walaupun, bisa saja,  secara intelektual sang anak lebih unggul dibanding orangtuanya. Akan tetapi, orangtua sudah lebih lama merasakan asinnya samudera kehidupan dengan segenap iming-imingnya. Setinggi title, gelar akademik, tetapi selama sang anak masih menyandang “anak”, ia selalu di bawah pengawasan orangtua. Sebagai anak, apakah kita legowo?
Berangkat dari desa dengan bekal nasihat, memegang panji kepercayaan dan rasa ingin membahagiakan orang tua seakan ajian ampuh menaklukan beringasnya kota. Perlu diingat, kota mempunyai “ajian jala sutra” yang mampu melempuhkan “aji-ajian” yang belum matang, apalagi aji-ajian tersebut dulu diperoleh karena “terpaksa”. Dengan mudahnya ia akan mlempem dengan ajian jala sutranya kota. Jala sutra begitu lembut menyerang, tidak frontal dan tidak kelihatan perkasa. Ia menyusup, perlahan mempengaruhi syaraf-syaraf, membiarkan Anda bertarung sendiri dengan aji-ajian yang Anda miliki. Setelah terkecoh, jala sutra mak bles melumpuhkan daya pertahanan itu. Lemas, tak berkutik dengan digdayanya kota.
Begitu pula yang dialami sang perempuan: satu, dua atau bahkan empat semester ia masih bisa bertahan dengan hiruk pikuknya kota, tak tergoda dengan keglamouran kota. Panji-panji masih dipegang kuat. Ibarat antivirus, ia masih baru dan ces pleng menanggapi virus-virus yang berdatangan. Akan tetapi, “rasa kesepian” tak mampu ia tahan. Apalagi, ketika masih di desa, rasa kekeluargaan, regejekan sambil petan adalah sarana mengungkapkan unek-unek. Sekarang, di kota, yang ramai tetapi sepi di kedalamannya, ia tak kuat. Kanan-kiri, temannya punya pasangan yang dilahatnya begitu mesra, menjadi tumpuan curhat. “Alamak, alangkah nikmatnya,” pikir sang gadis.
Mula-mula, ia canggung mendulit “pacaran”. Ia hanya ingin “ndulit sak kuku ireng”nya, tak lebih. Sebab, ia masih memegang “wanti-wanti” orangtua. Lama-lama, ia menambah dosis “ndulit”nya, yang semula sepucuk kuku kini bisa satu sloki: hingga mabuk kepayang. Wanti-wanti mati. Orangtua hanya lamunan nun jauh di pojok jagat yang terasing, katrok.
“Bukankah hidupku adalah hidupku. Hidup adalah pilihan: salahkah jika aku memilih? Untuk apa aku lahir jika aku tak menggenggam kehidupanku sendiri? Milikku bukan sekadar wadag tetapi juga jiwa, cita-cita, perjalanannya. Inilah kebebasan!”
Ia menikmati kenikmatan kota yang baru sejengkal itu. Dalam menikmati “pilihan”nya, ia serahkan “mahkota kulit” kepada sang kekasih. La da lah, begegek ugeg-ugeg, waduh angger genduk sing ayu dewe, kowe wis keblinger!” kata  Semar. Tapi nasi telah basi, hendak diapakan lagi? Sesal. Berhenti di sini draft novel tersebut.

Desa: Perawan; Kota: Apalah Arti Perawan?
Desa. Air sungi gemercik mengalir di sela bebatuan. Sawah-sawah menghampar hijau atau mengemuning padinya. Kicaun burung sambil jumpalitan di pepohonan. Kabut pagi tipis membalut angkasanya. Manusianya sumeh tak henti jika berpasasan satu sama lain, meski belum kenal. Pagi-pagi, laki-lakinya membawa cangkul di pundaknya. Perempuannya membawa snek (tenggok) di pinggangnya, melangkah dengan senyum menatap masa depan di hamparan sawahnya. Jika senja menyapa, mereka berkumpul ditemani dengan lampu teplok atau jika tepat purnama mereka ndeder ing pelataran sambil menikmati kopi dan berbagai rebusan polo pendemnya. Anak-anak bermain petak umpet di bawah siraman purnama atau sekadar mendengar dongeng dari orangtuanya.
Gambaran yang begitu elok, tak ada gejolak politik yang dirembuk, tak ada diskusi liberalisme, demokrasi, golongan sesat dan tidak sesat, up date barang-barang mewah, riuh rendahnya kehidupan selebritis. Yang ada tinggal semacam klangenan, dunia sendiri. Apakah ini bentuk kebebalan dengan dunia luar, sikap apatis terhadap perkembangan zaman? Ataukah, mereka memang tak ingin merembuk hal-hal yang tak ada sangkut pautnya dengan kehidupannya, meski pengaruh itu ada?
Desa memang unik. Ia bagaikan sesosok makhluk yang menggenggam diam, tak dicuatkan ke permukaan. Loro lopo berani ditanggung, meski dalam keheningan diam-diam desa bisa ngentut yang baunya bisa memosak-masikan ketentraman bernegara. Manusia yang menghuni tentu paham betul arti demokrasi, bahkan mereka sudah menjalaninya sebelum kata demokrasi merambah Indonesia. mereka mempunyai mekanisme memilih “tetua” desa dengan cara mufakat, dan ini sistem yang afdhol daripada sekadar memilih gambar yang tak dikenal. Mereka bukannya tak mengenal kehidupan di luar, tetapi dunia luar ia tempatkan sebagai kabut tipis yang menutupi gunung kesejatian kehidupan di luar.
Kota. Jalan-jalannya mirip sungai desa: kendaraan yang terus mengalir tanpa henti. Apabila pagi-pagi, kita bisa menemukan orang yang “lari pagi”, senam untuk menjaga kebugaran. Matahari setinggi tombak, orang-orang dandan rapi dengan dasi bergelantungan di leher, membelah dada: memesona. Menggambarkan keanggunan dan kecendikian pikirnya. Makannya teratur dengan munculnya istilah-istilah keren breakfast, lunk, dinner kadang juga ditambah party. Sungguh asyik. Jika malam jelang melajang: lampu-lampu kota menyorot tajam seakan mengawasi penghuninya, mengalahkan sayunya ranum rembulan. Kafe-kafe hidup, tempat hiburan berbinar. Setiap orang mempunyai tempat yang sesuai dengan kebutuhannya.
Di tempat-tempat itu segalanya bisa terjadi dan dibahas: tentang penting dan bahayanya liberalisme, demokrasi yang la raiba fih, tentang harga kebutuhan pokok yang naik, kehidupan selebritis A yang tersandung kasus atau yang lagi naik daun. Semua dibahas dengan jeli, rapi dan apik. Sebab setiap orang menggenggam ilmunya, berpredikat professional. Segalanya harus gamblang, kehidupan harus diselami: hidup yang tak dimengerti adalah hidup yang tak layak dihidupi.
 Kota tak pernah sepi, meski malam mulai melarut dalam pagi. Manusianya seakan-akan lahir terus menerus: yang satu tidur, yang lainnya bangun. Kota tak pernah sepi, meski kelihatan sepi sebenarnya ia tak pernah sepi. Ada saja klesik-klesik dalam ruang pribadi, di hotel, di kafe yang temaram lampunya. Kota dalam keadaan waspada. Jika ada yang kecolangan, entah dalam bentuk apa, itu hanya kelalaian atau sekadar mempersilakan “maling” mengambil sedikit madunya kota.
Itulah kehidupan kota yang boleh jadi dalam pandangan manusia desa agak sedikit menakutkan, agak sedikit samar identitasnya. Tetapi, kota benar-benar bukan monster, bukan samar, hanya saja begitu banyak manusia yang menghidupinya—dengan segela kepandaian, keinginan, hasrat hidup layak—maka kota sulit didefinisikan “jenis kelamin”nya dengan utuh.
Hubungan desa dengan kota bak bola lampu dengan anai-anai: selalu memikat. Ia simbiosis yang bukan mutualisme, parasatisme, maupun komensialisme: ia punya nama sendiri yang berubah-ubah. Kota selalu menjadi madu manusia desa untuk mendatanginya, meski sedikit takut. Kota bagaikan lampunya desa yang mengundang untuk datang, karena mencorongkan sinar terang kemajuan meski mampu membakar. Mungkin yang perlu dipersiapkan desa adalah bagaimana caranya melindungi diri agar jangan sampai terbakar setelah menyentuh bola lampu kota yang “panas” itu.
Desa dengan gemercik sungainya, kabut tipis yang menutupi cakrawalan paginya, yang sumeh manusia-manusianya, mungkin saja hari ini kita menemukan dalam keadaan yang berbeda. Desa telah menyerupai anak bajangnya kota, sebab pemerintah memperhatikan desa dengan rencana “mbangun deso”. mungkin pemerintah menganggap desa selama ini bayi yang tertidur pulas dan itu berarti harus segera dibangunkan.
Kota, dengan kendaraan di jalan-jalannya bagaikan alur sungai di desa, dengan keriuhan malamnya tanpa henti, mungkin saja, hari ini, Anda menemukan kota berusaha menjadi desa karena terlalu penat menanggung kehidupan, desakan keinginan yang tanpa henti sehingga sadar “tubuh” punya mekanisme metabolisme yang tidak bisa terus-terusan digenjot.
Tetapi, bisa saja hari ini dan besok, kita tak akan lagi menemukan desa dan kota. Sebab, desa telah berubah menjadi kota dan kota bertiwikrama menjadi hiperkota. Jika kita kangen dengan itu semua: hanya bisa menulis keelokan di lembaran kertas kemudian larut di dalamnya. Tanpa sadar, kita tidur di atasnya dan meneteskan liur membanjiri “gambaran” desa dan kota yang tak rampung kita tulis.

Khoirul Anwar
Penikmat kopi dan kretek

{ 2 comments... read them below or Comment }

Cerpen Pilihan Kloter Kedua

Popular Post

Followers

Definition List

Powered by Blogger.

- Copyright © 2013 Kampus Fiksi 11 - Oreshura - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -