- Back to Home »
- Cerpen , Muhammad Awaluddin »
- Temephos di Dua Kota
Posted by : 梅
Mar 15, 2015
Temephos di Dua Kota
Oleh Awal Akar
Di
Jakarta; ratusan balita, anak kecil, pemuda-pemudi, orang tua dan lansia,
meringkuk lemas dalam kemah pengungsian. Gigil. Beberapa kritis. Beberapa telah
lelap dalam kantung jenazah yang tertumpuk di rahim ambulance yang kini meraungkan sirinenya menuju pemakaman.
Di
Bekasi; beberapa puluh manusia menggigil kedinginan dengan suhu tubuh mencapai
empat puluh derajat celcius, di atas ranjang apaknya. Beberapa puluh lainnya muntah
darah, beberapa puluh lagi mengeluh sakit perut yang teramat.
Seluruh
rumah sakit penuh. Antrian ranjang bahkan telah mengular hingga ke pelataran
rumah sakit di setiap sudut Jakarta dan Bekasi. Beberapa pasien yang kehadirannya
terlambat, bahkan harus merelakan dirinya tergelepar di lantai rumah sakit,
beralaskan tikar atau karpet seadanya.
Belum
ada kepastian yang bisa diberikan oleh siapa pun di negeri ini mengenai bencana
itu. Para korban sudah pasrah dengan segala kenyataan yang akan terjadi; entah kesehatan
yang sudi menjenguk, atau kematian yang akan datang membesuk. Di langit, matahari
masih mengintip dari balik arakan kumulonimbus[1]
yang belum henti meniriskan air mata.
***
“Diperkirakan,
intensitas hujan yang turun di sejumlah kota-kota besar seperti Jakarta,
Bekasi, dan sekitarnya masih akan sangat padat untuk bulan Januari hingga April
2015....” jelas berita yang tersiar dari sebuah tabung televisi yang bertengger
di salah satu sudut warteg di kawasan ruko yang berjejer di sekujur jalan Taman
Pluit Permai Barat, Jakarta Utara. Arakan awan gelap menggelayut berat di
telangkai langit, di luar warteg.
***
Di
sekitaran Monas; seorang gadis kecil bergandengan tangan dengan orang tuanya.
Mereka terhenti saat seorang wanita paruh baya berseragam cokelat kehijauan
menjelaskan kegunaan bubuk abate; untuk membasmi jentik nyamuk aedes aegypti, yang ditakutkan akan terus
meningkat dalam waktu dekat ini, karena intensitas hujan belum akan mengalami
penyusutan. Angin berkesiau ungu, melenguhi telangkai rumput di sekitaran
Monas. Langit masih disarati manekin awan gelap.
“Ini
apa, Pah?” tanya gadis kecil bermata sabit, berambut hitam panjang yang diikat
kucir kuda itu seraya mengacungkan sebungkus abate.
“Itu
racun untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, sayang,” sahut papahnya seraya menggendong
gadis itu, lalu menciuminya.
“Buang?”
tanya gadis kecil berkulit putih yang lembar bibirnya masih semerah ceri itu di
dalam dekapan papahnya. Usai melihat anggukan dari sang papah, si gadis kecil
segera melemparkan sebungkus abate yang ada di genggamannya. Abate tergeletak
di atas rumput hijau. Mereka sekeluarga lindap ke dalam kijang innova, lalu
melesat menuju rumahnya.
***
Di
Bekasi; seorang pemuda sedang mengangguk-anggukkan kepala sembari menyandarkan
punggungnya ke dinding, di sela dentum musik rock n roll yang begitu memengingkan cuping telinga, saat daun
pintu kontrakannya diketuk oleh seorang pegawai dinas kesehatan setempat.
Entah
berapa puluh kali lelaki tua berpakaian bebas itu mengetuk pintu kontrakan sang
pemuja rock n roll dengan sabarnya,
namun tak kunjung terbuka. Hingga di ufuk kesabarannya, lelaki tua dengan
telangkai wajah yang disemburati kerut-kisut itu pun sontak menggedor punggung pintu
berwarna biru itu keras-keras. Hampir mendobrak.
Tergeragap,
pemuda berambut hitam kusam itu pun segera membukakan pintu kontrakannya dengan
malas—setelah ia kecilkan volume suara musik dari speaker active berwarna perak, yang gagah berdiri di samping kanan
dan kiri TV-nya.
Beberapa
saat lelaki tua itu menjelaskan sesuatu, diikuti dengan anggukan kepala pemuda
berkulit gelap. Lelaki tua itu pun menyudahi penjelasannya sambil memberi dua
bungkus abate kepada pemuda bermata jengkol yang berdiri di balik liang pintu kontrakan
yang menganga. Lalu hinggap di pintu lain, di samping kontrakan pemuda yang
telah menutup lagi liang pintunya. Bungkus abate diletakkan di atas lemari.
Lalu cadasnya lecutan gitar Jimmy Hendrix mulai menggema lagi. Di langit, awan
gelap kian menggumpal padat. Senja telah tiba, namun tak secuil pun ia
menyuratkan warna jingga.
***
“Pemerintah
DKI Jakarta dan Kabupaten Bekasi sepakat untuk cepat-cepat mensosialisasikan
cara pencegahan menyebarnya jentik nyamuk demam berdarah sembari membagikan
gratis sejumlah bubuk abate kepada semua warganya. Diharap warga yang sudah
mendapatkan bubuk abate tersebut segera melakukan anjuran-anjuran dari pihak
dinas kesehatan setempat yang....” jelas berita yang menggema dari sebuah TV
LCD yang menjenak di punggung dinding, di salah satu jengkal Stasiun Jakarta
Kota, Jakarta Utara. Orang-orang masih sibuk berlalu-lalang di sekitaran
gerbong commuter line, lainnya sedang
khusyuk menjejalkan pandang ke arah layar ponsel pintarnya; ada yang terduduk,
ada yang dengan berdiri. Angin mendesau biru keunguan di sela lembutnya tirai
hujan yang tak henti menitik. Gerimis riwis-riwis.
***
“Hujannya
tak berhenti juga ya, Pah? Kalau banjir, berbagai macam penyakit akan menyebar
dengan mudahnya, bisa bahaya,” ujar seorang istri dengan memandangi kelamnya
langit dari balik bingkai kaca bening di sebuah rumah mewah, di kawasan Pondok
Indah, Jakarta.
“Tenang
saja, Mah. Daerah ini tak akan banjir,” jawab suaminya santai dari atas ranjang
empuk nan harum sembari membolak-balikkan lembar majalah otomotif yang ada di
genggamannya.
“Bukan
begitu, Pah. Maksud Mamah itu siklus penyebarannya. Nyamuk, kebersihan makanan,
juga perihal lainnya.”
“Kita
kan sudah menggunakan obat anti nyamuk kelas wahid, Mah. Sudahlah, tenang saja.”
“Iya,
Pah.” Sang istri bergegas meregangkan lembaran tirai berwarna emas di dekatnya.
Di luar, air kian berani menghunjamkan diri ke telangkai bumi.
***
Seekor
nyamuk hinggap di salah satu pasien yang saat ini sedang tertidur di atas
ranjang, di salah satu puskesmas di Jakarta. Raut wajah pasien pria itu di
kerumuni bintik-bintik merah, setelah tiga hari lalu pasien itu mengeluh
pusing, lalu menggigil dengan suhu tubuh yang mencapai angka empat puluh
derajat celcius. Belum kenyang menghisap darah, nyamuk berbintik putih itu segera
mengepakkan sayapnya, meninggalkan pasien yang masih terlelap di pagi hari. Seorang
suster masuk dengan membawa sebilah papan tipis berlampirkan lembaran kertas,
lengkap dengan pulpennya.
***
“Nyamuk!”
seru seorang gadis kecil yang sedang asyik menyusun balokan lego membentuk
sebuah istana seraya menepukkan tangan kanan ke lengan kirinya. Nyamuk selamat
dari bebatan maut sang gadis kecil, ia mengawang tinggi, lalu lindap di juntaian
tirai keemasan di salah satu rudut ruang keluarga, di hadapan jendela.
“Clara,
ayo kita mandi,” panggil mamahnya dengan melambai dari samping tangga menuju
lantai dua. Sontak gadis kecil itu bangkit dan berlari ke arah mamahnya yang
sudah membawa handuk, baju ganti dan bebek-bebekan karet berwarna kuning yang
akan berbunyi jika dipencet.
“Aku
digigit nyamuk, Mah. Tapi nyamuknya lari,” ungkap gadis bermata sabit, berambut
hitam panjang dengan lembar bibir serupa ceri itu seraya menunjukkan luka
gigitan nyamuk yang tidak begitu kentara di telangkai kulit lengannya yang
putih, kecuali setitik noktah merah.
Sontak
sang mamah teringat percakapannya semalam dengan sang suami, lalu beralih pada
pesan dari mendiang ayahnya yang telah tiada, “Dulu, Indonesia pernah mengalami
darurat demam berdarah. Penyakit itu meminta tumbal nyawa begitu banyak. Tak memilih
keluarga miskin atau keluarga kaya, semua sama rata; mengalami kehilangan
anggota keluarganya. Maka, saat musim penghujan tiba, biasakan dirimu untuk
selalu waspada akan keadaan lingkungan sekitar. Gunakan abate semaksimal
mungkin. Bersihkan area peristirahatan keluargamu dari genangan air, terlebih
air yang jernih. Karena dari tempat itu, akan muncul malaikat-malaikat maut
yang menjelma buas karena sikap acuh pemilik rumah. Ingatlah, Nak, sedia payung
sebelum hujan itu sama pentingnya dengan memesan sehat sebelum sakit. Menaburkan
serbuk abate ke bak mandi, membersihkan penampungan air, mengubur barang-barang
bekas, dan kegiatan-kegiatan lain yang kau anggap sepele itu memang tidak lantas
menjamin kesehatanmu berlangsung lebih lama, tapi sebelum demam berdarah
melahirkan sesal yang tiada tara, lebih bijak jika kau melakukannya.” Di luar, di
sudut belakang rumah mewah yang terselip di kawasan perumahan Pondok Indah itu,
di dalam sekotak beton tempat pembuangan sampah, kaleng-kaleng bekas sudah
terendam air hujan. Dari sana, seribu koloni aedes aegypti sedang menyiapkan diri untuk berpesta dalam waktu
lama.
***
Dua
orang pemuda berseragam putih kusam dengan secarik nama pabrik yang tersablon
di lembar dada, berjalan menuju kontrakannya masing-masing, sepulang mereka dari
bekerja shif tiga. Satu di antara mereka, sedari malam sudah mengeluh
kedinginan, nyeri sekujur badan, serta ngilu yang teramat di sekitar kelopak mata
yang butir bolanya telah disemburati akar-akar merah saga. Matahari alpa. Telangkai
langit masih kelabu dengan butir-butir air yang kian lesat menderu.
“Aku
tak kuat,” pekik pria berkulit gelap, berambut hitam kusam yang sangat
mencintai musik rock n roll, seraya
tubuhnya tumbang ke tanah yang terlalu basah untuk dijadikan ranjangnya.
Sontak
pria yang berjalan di sampingnya segera membantu pria itu bangkit. Lalu
perlahan, mereka berdua menuju kontrakan pria berkulit gelap yang suhu tubuhnya
kian panas itu.
“Segera
ganti baju, lalu istirahatlah,” suruh pemuda berkulit kuning gading yang sudah
menuntaskan tugasnya; mengantar pria berkulit gelap ke kontrakannya.
Seper
berapa detik dari nyala lampu di dalam kamar itu, nyamuk-nyamuk meyeruak dari
gantungan baju apak yang tergantung—menumpuk di belakang pintu dan
punggung-punggung dinding, ada pula yang beterbangan di tumpukan selimut
berbulu yang tergulung begitu saja di sudut kamar yang serupa peternakan nyamuk.
Teramat banyak!
Pria
berkulit kuning gading yang sirat matanya sebentuk bulir padi yang belum
berpisah dengan kulitnya itu hanya menggeleng seraya menghisap puntung rokok
marlboronya.
“Pantas
saja kau sakit, kontrakanmu saja seperti peternakan nyamuk. Kau pasti tak
menaburkan abate yang pernah dibagikan oleh dinas kesehatan ke dalam bak airmu
‘kan?” cerca pria bermata bulir padi itu lalu mengangakan daun pintu berwarna
biru, di sampingnya.
“Hmmmm....”
sahut pria berkulit gelap yang telah merobohkan tubuhnya ke telangkai kasur
busa bermerk inoac.
***
Di
penghujung bulan Januari, hujan kian beringas menjatuhi bumi. Tak pernah sehari
pun dalam bulan muda di tahun 2015 itu selamat dari guyuran hujan. Setiap hari
basah, setiap hari lembap. Matahari seolah memakan gaji buta dari kealpaannya
di atas tanah pertiwi.
Sekujur
Jakarta rata dengan genangan banjir di sana-sini. Bekasi tak berbeda, hanya
beberapa tempat yang selamat dari genangan air yang keruh, yang setiap
kedatangannya selalu mencecerkan sampah di mana-mana.
Pertengahan
bulan Februari, demam berdarah naik daun lagi. Title pembunuh nomor satu kembali menyemat di pundaknya—demam
berdarah.
“Di
camp pengungsian banjir di Pluit
Utara, korban jiwa kian menggunung....”
“Para
pengungsi di Grogol sangat mengharapkan pasokan air bersih dan obat-obatan
seperti oralit....”
“Di
seluruh Bekasi, korban banjir di camp pengungsian
kian bertambah seiring....”
“Pihak
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo makin kewalahan melayani membludaknya
pasien....”
“Pihak
Rumah Sakit Bhayangkara Polri yang dibuka untuk umum pun kini mengalami....”
Setiap
stasiun televisi menyiarkan dahsyatnya fenomena banjir; tentang penyakit demam
berdarah yang merenggut nyawa ratusan warga, tentang kepedihan manusia di camp pengungsian, juga tentang ba-bi-bu
yang begitu ba-bi-bu-ba-bi-bu lainnya.
“Akhir
yang menyedihkan tak pernah lepas dari awal yang menyepelekan, bukan?” ungkap Gubernur
DKI Jakarta dengan menunjukkan empat buah karung berisi bubuk abate yang
ditemukan oleh pihak dinas kebersihan di sekitaran Tugu Monumen Nasional. “Kita—pihak
pemerintah daerah—sudah berupaya mensosialisasikan kegunaan bubuk-bubuk itu
dengan ‘penyuluhan tatap muka’ dan membagikannya dengan gratis. Tapi apa mau
dikata, mereka malah membuangnya begitu saja. Dan terbukti, DBD mulai
menunjukkan lagi, tajinnya.”
***
Di
Jakarta; ratusan balita, anak kecil, pemuda-pemudi, orang tua dan lansia,
meringkuk lemas dalam kemah pengungsian. Gigil. Beberapa kritis. Beberapa telah
lelap dalam kantung jenazah yang tertumpuk di rahim ambulance yang kini meraungkan sirinenya menuju pemakaman.
Di
Bekasi; beberapa puluh manusia menggigil kedinginan dengan suhu tubuh mencapai
empat puluh derajat celcius, di atas ranjang apaknya. Beberapa puluh lainnya muntah
darah, beberapa puluh lagi mengeluh sakit perut yang teramat.
Seluruh
rumah sakit penuh. Antrian ranjang bahkan telah mengular hingga ke pelataran
rumah sakit di setiap sudut Jakarta dan Bekasi. Beberapa pasien yang
kehadirannya terlambat, bahkan harus merelakan dirinya tergelepar di lantai
rumah sakit, beralaskan tikar atau karpet seadanya.
Belum ada kepastian yang bisa diberikan oleh
siapa pun di negeri ini mengenai bencana itu. Para korban sudah pasrah dengan
segala kenyataan yang akan terjadi; entah kesehatan yang sudi menjenguk, atau
kematian yang akan datang membesuk. Di langit, matahari masih mengintip dari
balik arakan kumulonimbus[2]
yang belum henti meniriskan air mata.
“Keadaan
kian tak terkendali. Kemana pemerintah saat ini? Saat jumlah korban jiwa kian
menggunung, saat air mata kian menyamudera. Di Jakarta dan Bekasi, korban jiwa
makin....” bacar seorang wartawati yang menyiarkan langsung dari salah satu
tenda pengungsian di daerah Muara Baru, Jakarta Utara.
Umpama
hujan yang terus mengguyur sekujur tanah, maka dengan sendirinya batin
menghujat langit yang terus murung. Ya, serupa itu. Dari merebaknya kasus
kematian warga di ibu kota karena demam berdarah, maka pemerintah adalah
sasaran utama pertanyaan dilayangkan, tanpa pernah menilik ke belakang; apa
yang sudah dilakukan, dan apa yang telah diremehkan, bukan?
“Ya,
manusia memang seperti itu. Selalu mencari pihak yang dipersalahkan saat
sesuatu yang buruk menimpanya. Dan sialnya, kini aku yang dipersalahkan,” batin
seorang pria dengan terduduk di lantai, memegang erat kepala, di depan pintu
UGD di Rumah Sakit Pertamina, bersebelahan dengan barisan pasien demam berdarah
lain yang meringkuk gigil di atas lantai di sepanjang lorong yang berujung pada
sebuah tangga menuju lantai satu, beralaskan karpet hijau dari donatur, seusai
pria itu dihujat oleh istrinya yang kini tak henti menangis; karena putri
semata wayang mereka telah tiada, terjangkit penyakit demam berdarah. Raut
wajah gadis kecil berambut hitam panjang yang diikat kucir kuda dengan mata
sabit dan senyum indah yang merekah dari lembar bibir semerah butir ceri itu
pun sontak menyeruak, meremas sekujur hati pria yang sedang tertumbuk sesal
tiada tara. Di luar, langit berkeredap gelap. Sriti-sriti bertaburan di angkasa
berebut jengkal udara dengan lelawa yang berkejaran dengan kawanannya.
Di
Bekasi; seorang pria berkulit gelap dengan rambut hitam kusam sedang terbaring
lemas, dengan selang infus yang menelusup di salah satu pergelangan tangannya.
Pria itu belum sadarkan diri setelah dua hari ini dipindahkan ke dalam ruang
yang di kening pintunya tertempel tulisan ‘UGD’.
“Ini
pelajaran bagi kita; bahwa tak ada suatu apa pun yang remeh jika menyangkut
nyawa kita,” ungkap seorang pria paruh baya yang mengintip dari lembar kaca di
sisi pintu ruangan yang tertutup rapat itu, kepada seorang pemuda berkulit
kuning gading, yang beberapa hari ini menunggui pria yang terlelap di atas
ranjang itu. Di sebuah lorong rumah sakit yang kini lantainya pun disesaki oleh
pasien yang sakitnya serupa dengan sahabatnya.
***
“Permisi
Bapak-Ibu, saya dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, datang menemui Bapak-Ibu
untuk melakukan penyuluhan singkat tentang penggunaan benda ini,” jelas seorang
wanita paruh baya yang mengenakan seragam cokelat kehijauan di hadapan sepasang
suami-istri dan seorang anak gadisnya, di sekitaran Monas, seraya mengacungkan
sebungkus bubuk abate. “Ini adalah bubuk
abate. Berguna untuk membunuh jentik-jentik nyamuk dan berbagai macam insekta
yang hidup di dalam air, yang mungkin larvanya telah berkembang di bak mandi,
atau penampungan air lainnya di sekitar Anda. Diperkirakan, hujan masih akan
terus mengguyur. Jadi kami mohon, lakukan pengecekan berkala ke penampungan air
atau tempat-tempat yang dicurigai menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Yang kami
takutkan, demam berdarah akan marak terjadi sepanjang musim penghujan ini. Jadi
kami himbau kepada Bapak-Ibu untuk waspada dengan keadaan yang akan terjadi.
Ini hanya contoh, kalau Bapak-Ibu merasa kurang, silakan Bapak-Ibu membeli lagi
dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan Bapak-Ibu, di apotek-apotek
terdekat. Satu gram bubuk abate ini bisa untuk menetralisir sepuluh liter air.
Bubuk ini akan larut dengan cepat di air, dan air yang sudah ditaburi bubuk abate
ini pun tak akan membahayakan jiwa jika air yang sudah ditaburi bubuk ini
digunakan untuk kegiatan Anda sehari-hari. Cukup sekian penjelasan dari saya,
semoga Anda sekeluarga selalu sehat, permisi.” Kumulonimbus berarak lambat di telangkai langit yang padat dengan
taburan warna abu-abu.
Kutoarjo,
10 Maret 2015
Keren banget pilihan diksinya sangat kaya, tapi karena banyak kata yang masih asing di telinga jadi agak capek bacanya =)) suka banget pergeseran sudut pandangnya, mulus.
ReplyDeleteterima kasih kakak :)
Deletewkwkwk si ajar aq kira siapa :v :v :v
DeleteHmh... banyak kata yang sangat asing... tapi aku berasa lagi nonton siaran berita. Keren. Seperti DBD itu bencana besar banget. XD
ReplyDeleteSiaran berita? Waduh, berarti masih gagal nulis cerpen :3 terima kasih masukannya, saya akan banyak belajar lagi :) (Y)
DeleteBagus banget. Diksinya cantik-cantik tapi nggak berlebihan. Metaforanya pas. Paragraf awalnya jg bikin penasaran. Keren nih cerpennya buat kampanye DBD, pasti menggugah kesadaran orang untuk gak meremehkan abate hehehe..
ReplyDeleteBtw ada beberapa istilah yg kalau aku rasa-rasa gak pas penempatannya kayak bacar (karena biasanya konotasinya negatif), lindap (kabur, remang, tidak jelas), dan tajin (air beras), mungkin maksudnya taji ya Mas Awal? Soal lindap mungkin maksudnya sebagai metafora ya, Mas?
Selain itu sih udah oke banget..harus banyak belajar nih soal diksi dan metafora ke Mas Awal. Super keren...Keep writing..
Iya Mbak Yenita, maksudnya taji hehe, itu lolos dari finishing. Kalau tentang 'lindap' memang niat gitu. bacar kan berarti cerewet, memang negatif dan aku suka pakai kosa kata yang berbau-bau itu hahaha tapi belum seberani Pak Edi yang pakai diksi bajindul, dan lain-lain hehehe. Insya Allah tetep nulis, Mbak. Terima kasih banyak, Mbak Yenita.
Delete