- Back to Home »
- Cerpen , Deasy Serviana »
- Hanya Sekadar...
Posted by : 梅
Mar 15, 2015
HANYA SEKADAR...
“Tumbuhlah dengan baik anak-anakku,” ujarnya pelan. Ia
tersenyum menatap penuh kasih pada genangan air di dalam wadah berbentuk
silikon panjang di hadapannya.
Tubuhnya yang semakin hari semakin melemah membuatnya
khawatir. Apakah ia bisa melihat anak-anaknya tumbuh dewasa?
***
“Jadi kita harus ekstra
hati-hati. Jangan sampai penyebaran virus ini semakin merajalela. Siapapun yang
terkena dilarang, sekali lagi dilarang untuk berkeliaran!” Salah satu dari
kerumunan itu berbicara dengan nada lantang. Ia berada di tengah-tengah
kerumunan seakan dialah pemimpin mereka. Memang, jika dilihat dari reaksi yang
lain, ia memang paling dihormati di sana.
Kerumunan itu berdenging.
Berbicara satu sama lain membahas apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini pada
lingkungan hidup mereka.
“Kabar buruk! Kabar
buruk!” Sesosok berbelang putih hitam melayang melewati rintangan demi
rintangan, memasuki ruang gelap di bawah kotak berbentuk persegi panjang.
Teriakannya menggema seiring
kemunculan di tempat itu dan menambah kekeruhan dalam situasi pagi itu.
“Ada apa?”
“Kabar buruk! Akan ada penyemprotan
besok,” jawab pengacau pagi itu sambil terengah. Ia berusaha mengatur napas
setelah sekuat tenaga mencapai tempat ini.
“Ada apa tiba-tiba seperti
ini?”
“Jupri dan beberapa anak
manusia di sekitar sini terkena virus itu. Para manusia itu mau melakukan
pembasmian secara serempak.”
Kerumunan itu semakin
bising. Beberapa terdengar cemas, termasuk ia. Perlahan ia bergerak mundur
meninggalkan kerumunan.
“Siapa yang terjangkit dan mengigit manusia-manusia itu?” Obrolan itu masih berlanjut samar ketika ia
beranjak pergi.
Tiga jantungnya saat ini
sudah berdebar sangat kencang. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Gerakan itu
tidak boleh terjadi atau anak-anaknya akan berada dalam bahaya. Masih butuh
tiga hari lagi untuk mereka bisa terbang bebas. Ayah mereka telah pergi. Apakah
kini ia harus kehilangan mereka juga? Ia tidak bisa membiarkan mereka tewas
begitu saja.
***
Semua bermula dari saat
itu. Satu kejadian yang merubah segalanya. Memporakporandakan kehidupan mereka.
Semua karena satu hal. Tak ada yang bisa lolos dari peristiwa itu. Ia sangat
membenci mengapa ia harus terlahir seperti ini. Ia membenci nasib yang
membawanya. Kalau saja saat itu nenek buyutnya tidak mengigit manusia yang
terjangkit virus itu, mungkin saat ini mereka semua, generasi ini tidak akan
terancam.
***
“Apa yang kita harus
lakukan?”
“Kita harus mencegah ini
terjadi!”
“Benar! Anak-anakku sedang
tumbuh. Satu hari lagi mereka akan jadi dewasa.”
Kerumunan terus
menyuarakan kekhawatiran mereka sore itu. Mereka tidak lagi bergantian
menyuarakannya melainkan bertimpa dengan suara lain. Situasi tersebut sangat
kacau. Membuat siapapun yang mendengar akan sakit kepala.
“BERHENTI!!!” seru sang
ketua. Ia sudah tak tahan lagi.
Sekejap keheningan
terjadi. Hanya suara dengingan sayap yang terdengar, namun itu hanya sejenak.
Detik berikutnya keributan kembali terjadi.
“Semua ini terjadi karena
satu yang tidak menaati aturan kita. Mengapa kita semua yang harus kena
dampaknya?!” seruan tidak bisa menerima ketidakadilan yang terjadi semakin
keras.
Tidak ada satupun yang
bisa menerima nasib ini, namun tidak ada yang mengambil tindakan. Mereka
hanyalah bisa bersuara keras ketika masalah terjadi. Hanya bisa protes tanpa
tindakan nyata.
“Bagaimana kalau kita
adakan demonstrasi?”
“Benar! Kita harus
menyuarakan ketidakadilan ini.”
“Seperti yang dilakukan
manusia-manusia itu di dalam benda berbentuk kotak tipis itu?”
Mendengar rencana-rencana
yang tidak masuk akal itu tiba-tiba suara terkekeh serak terdengar.
“Siapa di sana?” seru
salah satu dari kerumunan itu.
Suara langkah kaki cepat
bersinggungan dengan serat-serat kayu terdengar pelan. “Kalian itu aneh.
Memangnya manusia-manusia itu akan bisa dengar suara kalian?”
Sesosok berkaki enam
muncul dari dalam sisi yang lebih gelap.
“Benar juga. Kita kan juga
tidak bisa menulis, bagaimana bisa membuat coretan-coretan merah seperti
manusia itu buat di atas kain putih panjang.”
“Pak Laba-laba, kalau begitu anda punya saran apa?”
Sosok itu terdiam lama.
“Tidak ada,” jawab sosok tua itu. Gumaman penuh emosi
sontak terdengar ketika jawaban itu diucapkan. “Terima nasib saja lah, toh kita
ini cuma makhluk kecil yang nggak berarti dibanding makhluk-makhluk besar itu.”
Ya, memang dibandingkan mereka yang seakan berkuasa atas
dunia, kelompok kecil di bawah kolong benda besar ini hanyalah seonggok nyawa
yang tak berarti. Sebutir debu yang mengancam kekuasaan mereka jika dibiarkan
menumpuk begitu saja.
Kerumunan itu larut dalam suara diam. Apakah mereka
sungguh tidak berdaya menghadapi semua ini?
***
“Kelompok pengintai sudah
mulai berjatuhan!” Pasukan satu terbang cepat menghindari asap, melewati
sisi-sisi yang tak terjamah oleh cahaya.
“Pasukan gardu depan juga
sudah terkena racun.”
“Bagaimana dengan
anak-anak?!”
“Kelompok kelahiran sedang
berusaha mengungsikan mereka!”
Hari itu semua terasa
sangat kacau dan memilukan. Jerit tangis terbaur dengan suara mesin yang terus
menyemprotkan kabut putih yang mematikan. Semua berusaha menyelamatkan yang
terkasih untuk mereka.
Mereka tahu siklus hidup mereka tidak lama, namun apakah
mereka sungguh tak pantas hidup? Mereka juga adalah korban dari virus itu.
Bukan keinginan mereka terlahir seperti ini.
***
Tidak... tidak... Jangan di
sana! Ia terbang cepat ketika melihat sosok raksasa untuk mereka membawa
bungkusan yang sangat mereka kenali sebagai pembunuh masa depan.
“Aedes, kita sudah tidak
bisa menyelamatkan yang lain lagi. Kamu jangan ke sana. Manusia itu akan
membunuhmu juga!” Salah satu
dari kelompok kelahiran menahannya untuk kembali ke tempat itu.
“Aku harus kembali.
Anak-anakku belum satupun terselamatkan.” Ia memberontak dari cengkraman
saudaranya.
“Kamu tidak boleh kembali
ke sana. Ini perintah ketua. Situasi sudah gawat. Kita tidak bisa mengorbankan
lebih banyak lagi yang jatuh.”
“Mudah bagimu untuk bilang
seperti itu! Bukan anak-anakmu yang masih di sana! Lepaskan aku! Kalau kamu
tidak ingin membantu, biarkan aku sendiri! Aku yang akan menyelamatkan
anak-anakku sendiri!” Dengan itu ia mendorong keras saudaranya.
“AEDES!”
Aedes terbang dengan
manuver yang lihai untuk segera sampai di tempat itu, sebelum manusia itu
membunuh anak-anaknya. Ia mencoba segala cara untuk menghentikan makhluk
raksasa itu menaburkan butiran mematikan itu. Ia mencoba mengigit untuk
menghentikannya, namun apa daya, virus ini melemahkan kemampuan proboscisnya untuk memberikan dampak
pada kulit manusia itu.
Pak Laba-laba memang
benar. Mereka hanya sekadar makhluk kecil. Mereka tak akan bisa memberikan
perlawanan yang berarti menghadapi raksasa penguasa dunia ini.
“Apa sih ini nyamuk?
Ngeselin banget.”
Tamparan keras menghantamnya,
mengakhiri siklus hidupnya. Ia melayang perlahan menuju tempat kematiannya.
Setetes air mata yang
sesungguhnya tak pernah ada, mengalir menuruni ratusan mata yang dimilikinya. Tuhan
sungguh tidak adil, untuk apa ia menciptakan ratusan mata untuknya? Apakah
hanya untuk menatap serpihan bubuk jahanam itu menghentikan hidup anak-anaknya.
Dunia sungguh tidak adil! Hidup sungguh tidak adil untuk makhluk kecil
seperti mereka.
梅
let's dream and make it real
Tangerang, 15 Maret 2015
sudut pandang yang diambil beda banget dari perkiraan =)) Feel-nya di bagian akhir dapet banget. Kalo beberapa typo diperbaiki pasti bakal lebih keren lagi deh ini.
ReplyDeleteTypo dimana, jar?
DeleteMerubah dan demonterasi, Des, misalnya...
DeleteAku sukaa...iya bener kata Ajar. Sudut pandangnya beda banget. Aku baru tahu nyamuk jantungnya tiga dan matanya banyak *bolos pas pelajaran biologi* hahaha..btw ada satu kalimat agak ganjel kalau aku. Masalah rasa kalimat aja ya.."....ketika melihat sosok raksasa untuk mereka membawa bungkusan..."
ReplyDeleteUdah itu aja. Keep writing, Des..
Hehehehe.. itu jg aq baru tahu pas baca fakta nyamuk. XD
DeleteJanggal ya? Ntar kubaca ulang dhe. XD
Deeeeeees, baca kedua kali tetap aja aku pengen nangis. Jangan-jangan kamu ini nyamuk di kehidupan sebelumnya, ya? #eh Kok bisa menggambarkan perasaan nyamuk sampe aku terhanyut... XD
ReplyDeleteMasa, pas baca bagian "Ayah mereka telah pergi. Apakah kini ia harus kehilangan mereka juga?" Aku mencelos rasanya. XD Pokoknya bagus menurut aku mah.
Trus yang demonterasi kayak kata Ajar, aku kira itu bukan typo tapi plesetan. XD lucu lho demon-terasi itu.. aku kebayangnya Iblis yang Bau Terasi... XD
Oiya, catatannya. Di dialog tag paling awal... "tawanya pelan." Kayaknya itu kalimat doa kan yang diucapkan si Aedes, "Tumbuhlah dengan baik anak-anakku," kok kyknya kurang pas kalau dialog tag-nya pakai tawa, yah? tp cm soal rasa kalimat aja...
terus sama kayak tan gi, "sosok raksasa untuk mereka", sosok raksasa aja kyknya gapapa, cukup menjelaskan kok. tp lg2 masalah rasa aja sih...
udah.. itu doang. keren. aku jg suka pas bagian tiga jantungnya berdebar sangat kencang, sama setetes air mata yang sesungguhnya tak pernah ada mengalir pada ratusan mata yang dimilikinya... hiii... keren... deskripsi mata facet bisa jadi melankoli begitu. :D
Hehehe mungkin tan... mungkin tan sis jg dulu pernah jadi nyamuk makanya merasakan jg. #eh
Deleteyg demonterasi... ehehehe benernya typo. Aq lupa ngetiknya gmn. #jangan2
iya yg bagian tawa jg benernya aq ngerasa agak janggal. Lupa kuganti.ntar kubaca ulang.
Makasih komen panjangnya tan sis... :)))
Keren, Des.
ReplyDelete