- Back to Home »
- AMORETTE (Rahasia Cinta Kecil di Ujung Stasiun)
Posted by : Ricky Douglas
Mar 28, 2015
Arisan Cerpen KF11
Tema : Udumbara
Sebuah kamar, Januari 2014
Anehnya...
aku mencintaimu seperti aku memang
ditakdirkan untuk itu.
Semuanya telah usai. Masa yang kupendam
terlalu lama. Ragu yang kusembunyikan terlalu dalam, namun ternyata dangkal.
Aku pernah melihat cukup lama pada satu titik kabur yang membingungkan. Dengan
meneguhkan hati ––atau berpura-pura meneguhkan hati–– lagi-lagi aku bermuslihat
dengan titik itu, makin jalang, dan akhirnya mendustai aturan yang mereka
anggap nilai tertinggi di dunia ini. Anggap saja, aku sedang bermain-main
dengan surga dan neraka.
Duduk. Sedikit tersenyum. Atau mungkin lebih
tepatnya meringis. Sudah satu jam aku menikmati wajahku sendiri yang terkurung
dalam cermin. Putih. Hidung mancung. Bibir mungil, merah merona. Dagu runcing.
Dan, lesung pipit. Benar-benar cantik, kan? Yah! Aku cantik! Kalian harus
mengakui kalau aku adalah mahluk yang cantik!
Berjalan ke sudut kamar lalu mengambil baju
tak berlengan yang terpasang di manekin.
Setelah itu, aku kembali menuju cermin besar di kamar dengan gaya bak seorang
model yang sedang catwalk. Namun, aku
sedikit kecewa saat menyadari kalau dadaku tak cukup besar untuk membuat air liur laki-laki tumpah ruah.
***
Stasiun Tawang, Semarang, Maret 2015.
Aku tidak ingat kapan benar-benar
memulainya, setahuku, tempat ini telah berhasil menyita waktu soreku setiap
hari. Aku ulangi, setiap hari!
Namaku Lazzuardi, entahlah apa yang
terlintas di benak orangtuaku hingga memberi nama yang berarti langit tersebut.
Mungkin, mereka menginginkan anaknya ini menjadi seluas langit, secerah
kumpulan awan putih yang menghiasinya, atau mungkin... hanya menjadi Lazzuardi berisikan
awan hitam. Mendung. Percuma, seberapa pun keras memikirkannya, semua itu hanya
menjadi praduga yang terus menguap hingga batas entah.
“Seperti biasa, kau selalu datang jauh lebih
dulu daripada aku. Dan, seperti biasa pula hari ini pun parfum yang kau pakai
sangat menusuk hidung. Baunya wangi. Oh iya, kelihatannya Dochi sangat mengerti
bagaimana cara membimbingmu, Retina,” sapaku, membuang keheningannya sore hari
ini saat ia duduk termenung pada kursi panjang di bawah pohon besar, di ujung
stasiun.
Bola mata Retina secara acak dan abstrak
mengarah padaku, walaupun tidak benar-benar tertumbuk pada kornea mata coklatku
ini. Kemudian, aku duduk di samping gadis berbusana putih dengan rambut panjang
sepinggangnya itu, lalu menggosokkan punggung tanganku ke bulu-bulu halus Dochi,
anjing peliharan Retina yang saat ini ada di pangkuannya.
“Jangan terlalu memanjakan Dochi dengan
membawakan ia makanan setiap hari. Nanti dia gendut loh, bagaimana kalau Dochi
jadi malas bergerak? Terus siapa yang membimbingku jalan menuju stasiun ini
kalau bukan dia? Kamu kan selalu terlambat, Zuar?” cecar Retina tanpa memberi
jeda buatku menyekat omongannya. Gigi putih dan lesung pipi itu selalu menjadi
favoritku ketika melihat wajahnya, selain mata.
“Dia kelihatan lapar, Na,” ucapku sambil
terus memberi Dochi makanan.
Aku masih saja terus menyuapkan snack buat Dochi dan membiarkan ucapan
gadis berbandana itu menguap begitu saja seiring dengan sudut bibir atasnya
yang dibuat lebih maju dan tipis. Bahkan, kali ini aku berhasil berpura-pura untuk
tidak segera mencubit pipinya yang sengaja ia gelembungkan ketika tidak setuju
dengan perkataan atau perbuatanku, walaupun hanya bertahan tiga detik.
“Berhentilah mencubit pipiku, Zuar! Andai
saja aku bisa melihat tangan jahilmu itu, pasti akan kubalas perbuatannya,”
tukas Retina, kemudian memalingkan wajah dariku.
Mataku melonggar dari tatapan yang sebelumnya
seakan ingin menerkam dan memasukkan rona lucu di pipinya ke dalam mulutku. Retina,
nama itu cukup singkat untuk seorang gadis yang aku yakin jika menceritakannya
dalam sebuah buku pun tidak akan cukup. Seperti yang kalian duga, ia buta. Sama
seperti pengeliatannya, sampai sekarang pun aku buta tentang gadis yang selalu
duduk pada kursi besi berwarna perak dengan ukiran bunga-bunga kecil di setiap
sudutnya itu. Aku dekat dengan Retina, sangat dekat! Tapi, aku belum menyentuh
di tempat yang tepat. Dan entah sejak kapan... aku mulai mencintainya!
Sandaran kursi yang cukup menampung tiga
orang itu kali ini menjadi sasaran tangan dan kepalaku untuk bersandar, sekadar
menyempitkan rasa lelah. Mataku beralih memandangi langit jingga yang tertutupi
daun pohon. Sebagian sinar redup itu berhasil lolos dari celah dedaunan dan
menyentuh sisi wajahku. Beberapakali terdengar bunyi laju kereta yang
meninggalkan stasiun.
“Pohonnya
semakin besar, ya?” gumamku berceloteh tak jelas, “jadi, hari ini kamu mau
menceritakan apa lagi tentang lelaki yang selalu kamu tunggu itu, Retina? Aku
penasaran dengan ending-nya, hehe,”
tukasku sambil menaik-turunkan alis yang justru lebih pantas disebut ulat bulu.
Hitam. Pekat.
“Jangan tanya ending-nya! Aku benci jika memikirkan akhir, Zuar. Dan, jangan coba-coba
kau tanya lagi tentang mawar yang selalu ada di sampingku! Sisi yang tidak boleh
kamu duduki dari kursi ini,” tukasnya cepat.
***
Stasiun Tawang, Semarang, Januari 2013.
Sengaja aku kembali melewati jalan ini hanya
untuk melihat keadaan gadis itu lagi. Hah, aku menghela napas berat ketika
melihatnya, ada sayatan kecil di hati yang tanpa sadar telah membesar dan kian
membuatku sakit saat berpapasan dengannya.
Kalian bisa memanggilku dengan sebutan Raka
Rahardika. Saat ini mobil yang kupacu memasuki kawasan kota lama dan akhirnya
melintasi sepanjang jalan Tawang. Gemuruh bunyi kereta yang meredam akibat batu
kerikil di sepanjang rel masih saja tertangkap gendang telinga dari dalam mobil
jazz silver kepunyaanku . Kini hujan turun dengan gegap gempita, membasahi
payung gadis itu lalu akhirnya ikut mengguyur rambut spike dan tubuh kurusku saat mulai turun dari mobil. Matahari kian
surut, tetapi gadis itu masih berselimut dalam keheningan payung hitam, berdiri
di ujung halaman stasiun dengan pandangan mata tak berwarna miliknya.
“Aku menyerah. Setelah sebulan sudah memperhatikanmu
berkerudung duka, kini giliranku yang memastikan bahwa duniamu masih sebenderang
neon, bukan lentera!” ujarku yang membuat ia terlihat mulai beralih dari dunia
imajiner-nya.
Bahu gadis berbandana itu kecil, sama
sepertiku. Rasanya sangat pas jika ia mendekam dalam pelukan dadaku. Aku
berdiri mematung di sampingnya, dengan tatapan yang bahkan ia tak akan pernah
tahu kalau titik-titik airmata sudah mulai jatuh lalu membasahi pipi berlesung
dan akhirnya bermuara di bibir tipisku, karena ia memang tak bisa melihat! Hujan
masih sama. Rintik kecil namun cukup deras. Lalu lalang kendaraan semakin sepi,
kerumunan manusia pun hampir tak terlihat lagi.
“Kau siapa? Jangan terlalu keras memegang
bahuku! Rasanya sedikit sakit,” ujar gadis dengan ujung rambut hitam lurusnya
yang sudah menyentuh pinggang itu. Aku mengendorkan genggaman, kepalanya tertunduk.
Sepertinya lekat sekali ia fungsikan telinga untuk mendengar suara anehku ini.
“Ehem...,” aku menggosok leher serampangan.
“Namaku Raka,” ucapku sekenanya, sambil menjulurkaan tangan kanan.
Hening. Ia tak membalas ucapan perkenalan
dariku. Sedari tadi angin nakal sekali menerbangkan ujung-ujung rambutnya. Aku
tahu persis, ketika jarum jam sudah merapat ke angka empat sore, ia mulai memaku
kakinya di ujung stasiun hingga pukul sembilam malam. Maklum, sudah satu bulan
ini aku mengamatinya tanpa pernah berani untuk memulai percakapan.
“Hey, gadis payung, aku membawakan sesuatu
untukmu, tunggu ya! Jangan ke mana-mana!”
Tanpa menunggu balasannya, aku berlari menuju
parkiran mobil lalu mengambil beberapa benda yang sudah kusimpan di bagasi,
“semoga dia suka,” ucapku ketika sudah mendapatkan benda-benda tersebut di
geanggaman.
Tak memakan banyak waktu untuk kembali
berdiri di dekat gadis yang saat ini kembali merenung. Nampaknya ia bersikeras
mengabaikanku!
“Nih buat kamu,” tegurku saat berdiri di
sampingnya, “Oh iya, kamu kan...,” perkataanku menggantung, karena menyadari
hampir saja berkata tidak sopan pada gadis itu.
“Buta. Iya, kan? Aku tidak bisa melihat apa yang
kamu bawa sekarang, bisa dijelaskan?” ujarnya sambil
memiringkan kepala ke arahku. Poninya ikut bergerak pelan.
Sengaja aku mengalihkan pandangan mengitari lahan
stasiun untuk menghilangkan rasa kikuk. Beberapa orang berkerumun mengantri
tiket, dan yang lainnya duduk tak beraturan di beberapa sudut. Sementara di
ujung stasiun ini, hanya ada aku, gadis itu, kursi kecil, dan sebatang pohon. Lahan ini sepertinya dibiarkan kosong
begitu saja, jarang sekali orang berlalu-lalang. Tempatnya sedikit tertutup.
Kini,
mataku kembali tertancap padanya. Dengan sedikit kikuk, aku pun mulai
memberitahu padanya tentang benda-benda yang kubawa. Lengan kiriku bergerak
maju dan akhirnya mendaratkan sebuah kursi ke tanah tempat gadis itu berpijak.
“Aku bawa kursi buat kamu, biar lebih nyaman
saat menunggu seseorang yang entah bagaimana sudah berhasil membuatku benci
padanya.” Kursi itu sekarang tepat berada di belakangnya. “Kamu duduk di sini
ya! Besok aku bawakan kursi yang lebih besar. Tenang saja, aku sudah izin sama
pihak stasiun kok, hehe.” Aku memegang bahunya dan terpaksa membimbing dia
duduk untuk melenyapkan keragu-raguannya.
Aneh, tubuh gadis itu sedikit gemetar saat
mendapat sentuhan dariku. Mata kosongnya terlihat semakin dalam seakan
memikirkan sesuatu.
“Nih, kamu pegang! Kalau yang satu ini
sedang tidur, soalnya dia masih kecil sih. Kamu jaga ya biar dia bisa jadi mata
keduamu, hehe.” Aku memegang lembut tangan gadis itu dan menyerahkan kado kedua
yang sedang kupegang padanya.
“Ha? Ini apa? Kok berbulu gini? ” tanyanya sedikit
kaget saat memegang pemberianku yang kini ada di pangkuannya.
“Itu anak anjing. Terserah kamu mau
namainnya siapa, hahaha.” Aku tertawa keras saat melihat mulut gadis itu
terbuka lebar, berbentuk bulat.
Aku membuka kantong plastik besar di
hadapanku. “Nah, hadiah satunya lagi adalah pohon. Sepertinya payung yang
selalu kamu pakai itu tidak cukup rindang sebagai tempat berteduh. Jadi, kalau
pohonnya udah besar kan bisa jadi tempat berlindung. Sebentar, aku tanam dulu ya
bibit pohon ini, kamu duduk aja sambil jagain anak anjingnya.” Dengan cekatan,
aku beralih ke tanah kosong di belakang gadis itu, dan menanam bibit pohon yang
telah kubawa. Rambut spike milikku
benar-benar telah hancur akibat derasnya rintik hujan.
“Namaku Retina. Dan... bagaimana kalau
anjing kecil ini kuberi nama Dochi?” ujar gadis itu angkat bicara ketika aku
sedang sibuk menggali tanah. Ia pun dengan sukarela menggeser posisi payungnya
hingga meneduhiku dari guyuran hujan.
Retina dan Dochi. Lucu juga.
“Nama yang bagus. Udah tahu namaku, kan? Aku
Raka Rahardika. Yap. Bibit pohonnya udah selesai aku tanam nih. Cepet besar ya
pohon.” Aku mencium sepucuk daun pohon itu, lalu mataku beralih ke anjing kecil
yang tengah terlelap di pangkuan Retina, “Kamu juga cepat besar ya,
Dochi.” Kami berdua pun mulai menebar
tawa satu sama lain. Benar-benar Indah.
***
Rs. Kariadi Semarang, Mei 2013
Gaun yang kukenakan berwarna putih. Bersih.
Mengkilap. Bagian atasnya hanya berhasil menyentuh pucuk dada dan berlabuh di
lipatan lengan, itu semua membuat leher jenjangku kedinginan karena tak
berselimut serat-serat yang entah bagaimana selalu menghantarkan ornamen bunga
mawar di permukaannya. Malam kembali membimbing gelap menuju pembaringanku.
Yah, hanya ada aku. Gaun putih. Sebuah bandana. Dan, setangkai mawar!
Sebenarnya, aku pun tidak mau tergolek di
pembaringan ini dengan rupa absurd.
Beberapa menit lagi! Ya! Aku yakin beberapa menit lagi alat persegi itu
menunjukkan garis lurus dan mengeluarkan bunyi menakutkan. Apa dia masih dengan
bodohnya menungguku di sana? Di ujung stasiun itu?
***
Stasiun Tawang, Semarang, Maret 2013.
“Kamu sudah datang ya, Raka? Kenapa tidak
duduk?” Retina menepuk pelan sisi kiri kursi bermotif bunga-bunga kecil yang
sekarang ia duduki. Sementara Dochi masih sibuk dengan makanan di bawah kursi
yang sengaja gadis itu bawa.
“Sudah dua bulan lebih kita kenal,” tuturku
sembari duduk di sisi kirinya, lalu melanjutkan bicara, “tapi, kenapa kamu selalu
tahu kalau aku sudah datang? Padahal aku kan tidak bersuara sama sekali dari
tadi?” tanyaku heran, sambil menggaruk tengkuk leher.
“Aku memang tidak bisa melihat, Ka. Tapi,
indera penciumanku masih bisa merasakan bau mawar yang selalu kamu bawa itu. Oh
iya, satu lagi, parfum kamu terlalu menyengat, makanya aku bisa tahu kamu sudah
datang atau belum,” ucap Retina dengan memamerkan gigi gingsul miliknya.
“Parfumku kebanyakan, ya?” jawabku kecut,
sambil mengendus-endus tubuhku sendiri. “Oh iya, hampir lupa, nih bunga mawar
buat kamu hari ini.” Aku meletakkan mawar itu di pangkuan Retina.
Entahlah, aku pun masih bingung kenapa
setiap hari membawakan gadis itu setangkai mawar merah. Mungkin, karena memang
aku yang mengagumi keindahan bunga, atau... mencari benda yang bisa
melambangkan perasaanku?!
“Raka, stock
mawar di kamarku sudah banyak berkat kamu. Bagaimana kalau kamu memberiku bunga
yang lain saja?” pinta Retina, walaupun matanya tidak bisa melihat, tapi aku
mampu menerka kalau sekarang rona binar muncul dari dalam sana. “Bunga yang...
tidak biasa,” lanjutnya.
“Emm...
kamu tahu udumbara?” tanyaku ragu, kemudian dibalas gelengan kecil oleh Retina.
Punggungku bersandar pada kursi lalu menghirup napas dalam. “Udumbara adalah bunga
yang melambangkan kebenaran. Tidak tumbuh di tempat biasa, seolah-olah ia
berasal dari dunia lain, mungkin surga. Datang membawa kedamain bagi umat
manusia,” jelasku.
“Tidak tumbuh di tempat yang biasa? Lalu,
apakah mungkin aku bisa mendapatkan bunga itu darimu?” sela Retina.
“Entahlah,
Retina. Bunganya sangat kecil, hampir tak kasat mata. Tidak seperti kebanyakan bunga lainnya,
udumbara bisa tumbuh dan mekar di logam, cermin, bahkan hidup di tanaman lain. Itu bunga legendaris, dan
menurut legenda pula kalau bunga udumbara hanya mekar satu kali dalam 3000
tahun. Banyak orang yang beranggapan kalau bunga ini hanya mitos. Tapi,
ternyata udumbara memang ada walaupun sulit sekali mencarinya.” Aku mengakhiri
cerita dan beralih pandang ke arah Retina. Namun, yang kudapat justru kesedihan
di pelupuk mata gadis berbandana itu.
“Bunga yang melambangkan kebenaran ya?” Ia
tertunduk lesu. “Raka, apa mungkin ia bisa tumbuh pada kulitku atau setidaknya
tumbuh di sekitarku saat nanti kematian menjemput gadis buta ini? Walaupun aku
tidak bisa melihat, tapi rasanya ingin sekali aku menyaksikan keindahan bunga
itu,” ungkapnya makin sedih.
“Kamu akan melihat bunga udumbara, Retina!
Aku janji!” tanpa pikir panjang, kalimat ini terlanjur keluar dari bibirku.
Bunga yang 3000 tahun sekali baru mekar, harus berapa kali aku hidup
lalu mati kemudian hidup lagi untuk bisa menemukan bunga ini? Pikirku kecut.
***
Stasiun Tawang, Semarang, Juni 2015.
“Dan sampai sekarang, Raka belum bisa
menepati janjinya untuk membuatku melihat bunga udumbara. Bahkan, laki-laki
bodoh itu pun pergi entah ke mana,” lirih Retina, ia menangis sedu-sedan.
Hebat. Aku berani memeluk erat tubuh Retina
untuk pertama kalinya setelah mengenal gadis ini selama setahun. Kemudian,
dahinya kukecup lembut. Dan entah sejak kapan, kini bibir kami sudah berpagut
satu sama lain. Aku bisa merasakan ranum bibir merah dan tipis itu. Mata retina
terpejam, dan aku pun akhirnya ikut memejamkan mata. Lambat laun, tangis gadis
berbandana ini redam dalam ciuman hangat kami. Cukup lama kami memainkan lidah
satu sama lain, sebelum akhirnya ia membuka mata, dan perlahan menjauhkan
wajahnya dariku. Pipinya bersemu merah. Namun, kemudian berganti pucat. Tak
berwarna.
“Zuar. Emm... aku ingin bertanya sesuatu,”
ucapnya kaku.
“Kamu mau nanya apa, Na?” tanyaku heran.
Sedikit gugup juga saat melihat raut serius di wajah Retina.
“Menurut kamu, cinta itu ada berapa jenis,
Zuar?” Ia tertunduk. Jarinya saling menekan satu sama lain.
“Jenis? Sejak kapan cinta itu berjenis?”
tanyaku sedikit bingung. Aku mengambil Dochi dan menaruhnya di pangkuanku.
“Bukannya manusia itu suka mengkotak-kotakkan
sesuatu? Termasuk cinta, kan?” Retina mendengakkan kepala.
Hening. Hari sudah mulai gelap.
“Coba aku balik dulu ya pertanyaannya.
Menurut kamu, cinta itu ada berapa jenis?” tanyaku perlahan.
“Banyak. Cinta secara universal memang satu jenis, yaitu rasa. Tapi, sedihnya, cinta itu
mengikuti kelogisan dan kenormalan yang padahal manusia sendiri penciptanya,
atau mungkin ada juga yang mengatasnamakan agama. Tidak semua manusia bisa beruntung
mendapatkan bentuk cinta yang dianggap normal, seperti ; cinta beda agama,
cinta beda usia, cinta pada saudara kandung, cinta terlarang sama orang tua,
cinta dan ketertarikan seksualitas terhadapan hewan, benda mati, ada juga cinta
sesama jenis, dan juga terlalu mencintai diri sendiri. Cinta itu banyak jenisnya,
kan?. Bagaimana menurutmu?” Retina menarik napas panjang. Seperti ada gemuruh
di dadanya.
“Aku tipe orang yang tidak suka
mengkotak-kotakkan sesuatu. Kesemua itu pada dasarnya kan sama saja. Cinta beda
agama, cinta beda usia, cinta sesama jenis, semua itu adalah cinta. Perasaan
cinta yang mereka punya sama, kan? Sama-sama merasa terobsesi ingin memiliki.
Kebanyakan orang berkata kalau ‘cinta tidak harus memiliki’ menurutku itu hanya
alasan orang-orang yang gagal berjuang buat cintanya.” Aku bertopang dagu.
Sedang berpikir kenapa Retina menanyakan hal ini padaku.
“Atau mungkin... dia sadar kalau cintanya
hanya menimbulkan sesuatu yang tidak baik jika keduanya bersatu. Sebab, di
zaman sekarang itu aneh, cinta bukan lagi zat tertinggi yang menimbulkan kebahagiaan.
Tapi, zat kebahagiaan tertinggi itu adalah pandangan orang lain. Bayangkan
seberapa banyak cinta yang gagal atau pun berhasil karena pandangan orang
lain?” kembali, mata gadis yang sudah satu tahun ini mengisi hatiku akhirnya
menangis pilu. Ia menggigit bibir bawahnya.
“Kamu kenapa, Retina?” Aku bergeser mendekat
ke arahnya.
“Sini tangan kamu, Zuar.” Retina mengulurkan
tangan kanannya untuk menunggu sambutan tanganku. Walaupun masih tidak paham
kenapa gadis ini bersikap aneh seperti sekarang, namun, aku menyambut uluran
tangan tersebut.
Tangan kanan kami menyatu. Jari-jari mungil
Retina bergerak maju membimbing lenganku menyentuh..., dadanya! Aku tercekat.
Hampir saja kedua bola mataku terlempar dari singgasana tempatnya. Gadis ini
membimbingku untuk menyentuh... dadanya?!
“Re-re-tina,” aku meneguk liur yang terasa
keluh.
Ternyata rasa terkejutku tidak hanya sebatas
ini. Ketika Retina mulai berbicara dengan nada yang kembali lirih.
“Ini palsu, Zuar.” Ia menggerakkan tangan
kirinya masuk ke dalam dua bongkahan dada lalu mengeluarkan gabus dari dalam
sana.
Remuk sudah sendi di semua tubuhku saat
Retina makin mempererat sentuhan lenganku di dadanya yang kini rata.
Benar-benar rata! Apa cintaku akan menguap begitu saja ketika mengetahui fakta
kalau Retina tidak memiliki dada yang selama ini ada di imajenasiku?!
“Se-se-sejak kapan, Na? Kamu sakit apa hingga...
bagian itumu harus diamputasi?” mataku memerah. Sedih.
“Bukan sakit. Aku begini karena... aku adalah
laki-laki, Zuar. ”
Aku
berani bersumpah kalau fakta ini adalah kabar terburuk yang pernah kudengar
seumur hidupku. Retina adalah laki-laki?
Sekuat tenaga aku berusaha agar air yang mulai menggenang di pelupuk mata tak
tumpah dan menunjukkan tanda kelemahan. Bahuku bergetar hebat. Gigi mulai
bergemetak satu sama lain. Rahangku mengencang.
“Kamu bohong kan, Na?! Lalu siapa Raka yang
selama ini kamu tunggu itu? Bukankah dia juga laki-laki?!” pitamku sedikit
meningkat.
“Maaf, Zuar. Aku tidak pernah menyangka
kalau kamu datang dan mulai mengubah skenario yang terlanjur kubuat. Aku adalah
Raka,” tangisnya makin pecah. Bahu kecil itu berguncang hebat. Sementara Dochi
mengigit-gigit kecil rok yang Retina pakai.
“Tidak! Jadi, selama ini aku mencintai
seorang... laki-laki?” aku menyerah. Airmata meluncur dengan bebas, mengalirkan
rasa perih yang tertampung amat menyiksa dan membuat ulu dada sakit. Rasa
sakitnya terus menyiksa dada bagian kiriku.
“Retina meninggal dua tahun yang lalu. Ia
menyembunyikan sakit yang dideritanya padaku hingga meninggal dalam rasa sepi
kesendirian. Terbaring di pembaringan seorang diri, tak ada satu pun yang
menemaninya. Ia meninggal bahkan sebelum aku sempat menunjukkan kalau bunga
udumbara memang benar-benar ada. Tapi biarlah, mataku sudah bersamanya, dia
akan menyaksikan keindahan udumbara di surga sana. Yah, aku memberikan indera
pengelihatanku padanya beberapa hari sebelum ia menyatu dengan tanah. Hari itu,
untuk pertama kalinya ia bisa melihat wajahku,” Retina––maksudku, Raka––
berhenti sejenak, ia berusaha meredam tangisnya, “Tapi hatiku berkata lain,
Zuar. Aku tidak rela akan kepergiannya dan kemudian diriku menjelma menjadi
sosok Retina. Sekarang aku buta, dan karena kebutaan inilah aku menyadari dan
bisa memahami kalau cinta itu bersemayam di hati dan jiwa, bukan fisik! Aku
tidak peduli kalau kita adalah laki-laki. Karena aku mencintaimu, Zuar”
Retina atau pun Raka, yang jelas sekarang
sosok rapuh itu berjalan menjauh meninggalkanku. Ia tertatih bersama Dochi di
sampingnya. Sementara aku? Hanya bisu! Kakiku membatu, rasanya ia terlalu kecil
untuk menampung beban di hati. Apakah cintaku hanya seperti ini? Bukankah aku
berkata kalau tidak suka mengkotak-kotakkan seusatu? Cinta adalah cinta!
Bagaimanapun bentuknya. Tapi, kenapa ini sulit sekali saat menyadari kalau dia
bukanlah wanita. Ternyata, aku hanyalah mencintai fisiknya saja, bukan sama
sekali raganya. Cinta kasih yang kutanam, kupupuk, dan kupelihara sendiri, kini
kandas hanya karena batas kenormalitasan. Siapa yang membuat garis
kenormalitasan itu?!
“Reti... emm, maksudku Raka. Tunggu!” pekikku
padanya yang berhasil menghentikan langkah laki-laki itu.
“Sebelumnya, kau berkaata kalau udumbara itu
bunga kecil yang hampir tak kasat mata, kan? Apa bunga itu berwarna putih?”
tanyaku sedikit heran saat melihat pohon yang biasanya menjadi tempatku dan dia
berteduh kini ditumbuhi sesuatu berwarna putih hampir disemua bagian batangnya.
“Bagaimana kau tahu, Zuar?” Raka berjalan
pelan ke arahku.
“Sekarang, bunga udumbara itu memenuhi semua
batang pohon ini, Raka.”
Laki-laki berbandana itu tersenyum. Aku
melihat bagian dadanya yang kini rata, selebihnya ia masih seperti Retina yang
kukenal!
“Kau melihat bunga udumbara-nya kan, Retina?
Bunga itu benar-benar ada.” Raka tersenyum dan airmata makin deras di pipinya.
“Tunggu. Bukankah permintaan dari Retina
yang asli adalah ia ingin melihat udumbara tumbuh di kulit atau hidup di
sekitar jasadnya, benar?” tanyaku ngeri.
“Kau benar! Jasad gadis itu terkubur di
bawah kursi tempat duduk kesayangan kita, Zuar.”
-END-
NB : Terimakasih buat Rofie Khaliffah dan TanGi yang udah jadi teman sharing.
BIODATA
Ricky
Douglas, seorang penulis muda kelahiran
14 Juli 1994 ini tinggal di Kabupaten Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, dan
sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Diponegoro Semarang. Profil
lebih lengkap dari seorang penggila dunia sastra ini dapat kalian lihat di
Facebook: Ricky Douglas, Twitter:
@RickyDouglasz, atau email : ricky_douglas@rocketmail.com
Terimakasih.
Keren! Twis-nya dapet! Pas baca rasanya kayak ke korea-korean, ya. :3
ReplyDeleteTerimakasih untuk Mas Agus yang sudah mampir ke blog ini dan berkenan membaca serta berkomentar :D
ReplyDeleteMirip Drama-drama Korea, ya? Entahlah, selama proses pembuatan tidak terpikir sama sekali tentang Korea haha.
Mampir mampir, liat calon artis belajar nulis
ReplyDeleteHaloo Mba artis. Thanks udah mampir hehe
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlurnya agak-agak lambat, Ricky, takutnya gak cukup kuat buat mengantarkan pembaca sampai ke twist yang besar di akhir.
ReplyDeleteAnyway, awan itu putih yaaaaaa, yang biru teh langit atuh =))
Makasih mas Ajar. Udah diperbaikin kok :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletehahhaa, bagus ni doug, Ehem, endingnya bikin gue senyum-senyum sendiri. Bayangin akhirnya lu ngakat cerita dengan tema gini. Buat over all ngalir, kayak sungai :D
ReplyDeleteGak tahu juga kenapa waktu itu kebayang ending yang gini, Ga. Buahahahaha
Delete