- Back to Home »
- Cerpen , Pipit Dwie Putri »
- Perjalanan
Hidup serba berkecukupan dan memiliki segalanya tidak pernah membuatku bersikap sombong dengan orang-orang di sekitarku. Meskipun kedua orang tuaku sibuk dengan pekerjaan mereka, namun tidak pernah sekali pun membiarkan aku hidup hanya diasuh oleh pembantu. Aku juga tidak pernah menuntut mereka menemaniku sepanjang waktu meskipun dalam hati besar sekali keinginanku untuk mengatakannya. Bunda termasuk sosok wanita tangguh yang bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarganya. Dia selalu pulang lebih awal daripada jam kerja Ayah. Setiap kali ada masalah yang tidak bisa aku pecahkan sendiri, Bunda selalu membantuku. Ayah juga seorang laki-laki yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Di samping memiliki perusahaan garment, dia juga membuka usaha choco cafe yang sekarang ini aku kelola bersama adik kandungku, Ferry. Semenjak kecil, aku dan adikku dididik untuk menjadi tangguh dan bertanggung jawab. Itulah yang aku pegang hingga saat ini. Kami berdua memiliki banyak kesamaan dalam hal kesukaan dan hobi. Salah satunya adalah mendaki gunung. Bunda mengajarkan kepada kami tentang pentingnya menjaga alam di sekitar kita. Dia juga mengajarkan kalau kita harus melestarikan alam dan karena itulah kami senang dengan kegiatan pendakian gunung. Berawal dari hobi itulah, aku mengikuti kegiatan Pecinta Alam di sekolahku.
Hari ini adalah pengumuman kelulusan di sekolahku. Setelah ini, aku bisa lebih mengeksplor hobiku yang selama beberapa bulan ini terbengkalai karena persiapan ujian kelulusan. Paling tidak sampai saat penerimaan mahasiswa baru di kampus yang aku inginkan. Aku mulai mempersiapkan kegiatan pendakian yang selama ini sudah direncanakan sebelumnya. Ya, mendaki gunung Kawah Ijen yang menurut orang-orang memiliki pesona alam yang menakjubkan dengan adanya fenomena blue fire −api berwarna biru yang muncul di sela-sela bebatuan di lokasi penambang belerang− yang terdapat pada bibir Kawah Ijen.
Perjalanan yang aku dan Ferry lalui cukup panjang. Kami harus menaiki kereta api dari Bandung menuju Surabaya, kemudian menggunakan bis untuk mencapai kota Bondowoso. Kurang lebih 12 jam yang telah ditempuh dari Stasiun Bandung hingga Stasiun Gubeng Surabaya. Cukup melelahkan memang, tetapi itu sebanding dengan keindahan alam yang akan kami dapatkan di puncak gunung Kawah Ijen. Menurut info yang aku dapatkan, untuk mencapai Kawah ijen ada dua jalur pendakian, yaitu melalui Kecamatan Sempol, Bondowoso, ataupun melalui Kecamatan Licin, Banyuwangi. Aku menentukan untuk melewati Kota Bondowoso. Meskipun perjalanan yang akan kami lalui lebih panjang jaraknya namun kami akan disuguhi keindahan kebun kopi dan air terjun Banyupahit sebelum mencapai Kawah Ijen.
Kulirik jam tangan pemberian ayah, waktu sudah menunjukan pukul 21.30, satu jam lagi bis akan memasuki Kota Bondowoso. Sambil menunggu, aku membuka foto-foto Kawah ijen yang kudapatkan dari browsing di google. Keindahan alam yang kulihat di foto cukup membuatku penasaran, bagaimana jika aku melihatnya secara langsung? Mungkin aku langsung terpana dan tak berkedip menatap kawah itu. Aku tiba di Kota Bondowoso pada pukul 22.30. Perjalanan panjang membuatku merasakan lapar. Tetapi rasa itu bisa ku tahan, karena mobil jemputan yang akan membawaku ke Kecamatan Sempol sudah menunggu. Di atas mobil, aku mencari makanan ringan untuk sedikit mengganjal perutku.
Ternyata jarak yang harus dilalui masih panjang. Perjalanan menuju Kecamatan Sempol ditambah ke Pos Paltuding masih ditempuh selama 2,5 jam lagi. Jika kita sampai di pos tepat waktu, masih ada waktu ½ jam untuk beristirahat dan mencari makan. Kendaraan yang kami tumpangi tiba sesuai rencana di Pos Paltidung pada pukul 1 tepat. Ku langkahkan kaki keluar dari mobil. Hawa dingin mulai menyelimuti tubuhku. Suhu di tempat ini yang mungkin mencapai -5O --entahlah aku tak tahu pasti-- yang menyebabkan aku menggigil. Kami mulai membangun tenda di sekitar pos meskipun banyak penginapan yang disediakan di sana. Aku memasuki tenda dengan membawa makanan yang telah ku beli di rumah makan yang masih buka hingga pagi.
Pada pukul 01.30, kami mulai mempersiapkan fisik untuk memulai pendakian. Saat-saat seperti inilah yang kami nantikan. Perjalanan panjang yang memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan santai. Rute yang kami lalui cukup menantang, meskipun pada awalnya kami hanya melewati lintasan yang datar. Kemudian kurang lebih setelah 100 meter dilalui, jalan mulai menanjak dengan kemiringan bervariasi antara 250-350. Satu kilometer sudah dilewati, jalan yang dilalui semakin menanjak. Aku semakin susah untuk mengatur nafas. Jam tanganku berbunyi, ternyata sekarang sudah 1,5 jam kami berjalan. Sebentar lagi aku akan tiba di puncak. Semakin tak sabar rasanya untuk segera melihat keindahan alam di atas. Adikku menambah kecepatan berjalannya. Aku mulai kewalahan mengikuti kecepatannya dari belakang. Nafasku mulai tersenggal karena tidak mampu menyaingi langkah kaki panjangnya.
Kami tiba di puncak tepat pukul 2.30, waktu yang tepat untuk melihat fenomena blue fire di bawah sinar rembulan. Beruntungnya sang bulan masih tetap setia menemani perjalananku. Aku memutuskan untuk melihat blue fire lebih dekat. Kami mulai turun menyusuri tebing kaldera di jalur yang dilalui penambang.
Kulangkahkan kaki dengan hati-hati di jalan yang terjal. Asap belerang yang tertiup angin mulai menembus hidungku. Aromanya terasa asam dan mulai membuat pedih di mata. Tetapi hal itu tidak membuatku mengurungkan niat untuk melihat keindahan lain yang ada di depanku.
Saat ini, di depanku terbentang kawah yang sangat luas, panjangnya mencapai 911 meter dengan lebar 600 meter. Kawah yang cukup luas dengan warna hijau tosca dan di sela-sela bebatuan tampak berwarna kebiruan di bawah sinar rembulan. Fajar akan segera tiba, aku tidak mau melewatkan matahari terbit dari puncak gunung. Kami berjalan ke arah timur dan tepat waktu untuk melihat sunrise dari tempatku berdiri. Semakin matahari menampakkan diri, semakin terlihat jelas keindahan Kawah Ijen dari puncaknya. Kawah Ijen terlihat sangat cantik, berwarna hijau toska, dikelilingi dinding kaldera berwarna coklat dan abu-abu membingkai indah pesona alam Kawah Ijen. Sisa erupsi menjadikan dinding kaldera seperti pahatan batu yang terlihat indah dari kejauhan. Di bawah Kawah Ijen terlihat kepulan asap putih dengan belerang berwarna kuning.
Aku sudah cukup puas melihat semua ini. Kelelahan selama perjalanan dan pendakian terbayar sudah. Kami bergegas menuruni lereng untuk segera beristirahat. Di perjalanan pulang terlihat bunga abadi, edellweis, tumbuh dengan subur di pinggir-pinggir lereng. Keindahan bunga itu tampak jelas di hiasi sinar matahari yang mulai menampakkan diri lebih jelas. Warna kuning dan putih dari edellweis semakin indah dihiasi pancaran sinar matahari keemasan. Setibanya di pos patildung, kami beristirahat sejenak sekedar melepas lelah sebelum kembali beraktivitas di rumah.
Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dari perkiraanku. Kami tiba di rumah sebelum tengah malam. Lelah mulai menjalari tubuhku. Kurebahkan badan di atas tempat tidurku dan aku mulai terlelap. Aku bermimpi melihat kembali segala keindahan dan pesona alam yang aku lihat di Kawah Ijen.
***
Ujian penerimaan mahasiswa baru semakin dekat. Tidak ada lagi alasan untuk bermain-main lagi. Yang akan aku hadapi bukanlah hal yang mudah. Jika ingin masuk ke fakultas pilihanku aku harus melewati berbagai ujian yang sulit. Tes tulis, wawancara dan juga tes kesehatan beserta psiko tesnya. Inilah yang harus aku lakukan, belajar lebih giat dari biasanya.
Aku lulus semua tes yang aku jalani. Hari ini adalah hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa Fakultas Keperawatan. Tidak pernah kusangka semua bisa berjalan sesuai dengan rencana. Banyak yang harus aku lakukan setelah ini. Meskipun sulit namun akan indah pada waktunya. Aku bertemu dengan seorang sahabat di kelasku yang pertama. Seorang gadis berperawakan tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan memiliki tahi lalat di hidung dan di bawah bibirnya. Namanya Danica, biasa kupanggil Chaca, dia hidup dengan ibu dan kedua adiknya. Ayahnya sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. Meskipun begitu, ayahnya meninggalkan banyak perusahaan yang akan dikelola adiknya kelak. Sama sepertiku, Chaca sudah biasa sekolah sambil membuka usaha sejak masih duduk di bangku SMA. Bedanya, dia membuka semacam distro yang semua barang-barangnya adalah desain dan pemikiran dia beserta adik-adiknya.
Berbekal pengalamanku sebelumnya, aku mendaftarkan diri menjadi anggota UKM Pecinta Alam di kampusku. Pada saat kegiatan, aku melihat seorang kakak tingkat yang menurutku sangat baik. Warna kulitnya sedikit cokelat dengan tinggi badan sekitar 175 centimeter. Wajahnya cukup tampan, dan lesung pipinya membuat senyum yang menghiasi bibirnya membuatnya terlihat semakin cute. Tepukan Chaca di lenganku membuyarkan lamunanku. Kegiatan di luar ruangan akan segera dimulai. Kami akan memulai pengenalan alam di sekitar kampus. Melihat tumbuhan mana yang boleh dan tidak boleh dimakan saat survival. Ternyata pengetahuanku semakin bertambah dengan ikutnya aku menjadi anggota pecinta alam. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, waktunya untuk mengakhiri kegiatan dan segera pulang ke rumah.
Aku menyusuri lorong kampus dan pandanganku teralihkan pada papan pengumuman. Ada lembar pengumuman yang membuat aku bersemangat. Sudah lama aku tidak mengasah kemampuan teaterku sejak saat itu. Aku mengajak Chaca untuk ikut mendaftar besok. Tapi kekecewaan yang aku dapatkan. Dia tidak menginginkan kegiatan lain lagi selain pecinta alam. Dia takut akan mempengaruhi kuliahnya dan bisnisnya. Keesokan harinya kuberanikan untuk memasuki ruang UKM Teater seorang diri. Cukup terkejut melihat seseorang yang sedang duduk di depan meja pendaftaran. Dia duduk dengan manis melayani mahasiswa baru yang meminta formulir pendaftaran keanggotaan. Hal ini akan semakin menarik, pikirku dalam hati. Aku semakin menaruh hati padanya. Belakangan ku ketaui namanya adalah Bintang, nama yang indah sesuai dengan wajahnya. Aku tambah bersemangat dengan segala kegiatanku di kampus selain kuliah.