May 31, 2015
SAYANG-SAYANG DITIMPA MALANG
May 17, 2015
First Snow
Oleh : Refa Ans
May 12, 2015
Jukebox Party!
Syukur tiada terkira kita akhirnya telah melewati satu putaran arisan dan masih bersemangat meneruskan ke putaran berikutnya. Semoga kita bisa terus menjaga semangat ini, semangat untuk terus mempertajam pena. Aamiin.
Kali ini, tema arisan kita adalah Jukebox Party! Kenapa Jukebox? Karena kita akan memutarkan lagu-lagu pilihan kita setiap minggunya. Lagu pilihan kita sendiri, yang kita sukai, atau malah yang kita benci karena mengingatkan pada kenangan buruk (matinya kucing kesayangan, misalnya #eh), intinya lagu-lagu yang memiliki arti khusus untuk kita, a song you can personally relate to.
Ibarat jukebox juga, sebelum diputar kita harus masukin koin dulu. Bedanya, di sini kita harus ngocok arisan dulu, nama siapakah yang keluar untuk memutarkan lagu berikutnya? :p Nah, kita juga tak akan tahu siapa yang akan membawakan lagu kita. Kita yang memilih lagunya, namun kocokan arisanlah yang memilih orang yang akan membawakannya.
Biar nggak bingung, langsung aja disimak aturan mainnya, yah. :D
1. Arisan ini adalah arisan cerita pendek, dengan panjang cerita bebas (asal jangan kurang dari 400 karakter dan lebih dari 2000 karakter, eh...itu nggak bebas dink ya? >.<)
2. Cerita pendek akan dirilis sebanyak dua buah setiap minggunya, yakni setiap hari Minggu di blog kita tercinta ini.
3. Dua cerita pendek tersebut ditulis oleh dua orang peserta arisan yang namanya keluar pada hari minggu sebelum cerita dirilis. Jadi, setiap cerita punya waktu seminggu untuk ditulis.
4. Rilis dua cerpen pertama akan dilakukan pada hari Minggu, tanggal 17 Mei 2015.
5. Dua orang penulis cerpen pertama telah dipilih satu minggu sebelumnya (10 Mei 2015)--dan sekarang mereka mungkin sedang tenggelam di dunia imajinasi. ;p
6. Khusus untuk dua cerpen pertama, penulis memilih sendiri lagu yang akan mereka jadikan inspirasi untuk menulis cerpen.
7. Untuk minggu-minggu berikutnya, kedua orang penulis yang karyanya dirilis hari Minggu itu harus memilih masing-masing satu lagu untuk dibawakan oleh penulis berikutnya.
- Jadi, misalnya pada tanggal 10 Mei nama yang keluar adalah Amat dan Cimot, maka mereka akan memilih satu lagu yang mereka suka untuk dijadikan cerpen yang rilis tanggal 17 Mei.
- Lalu, pada tanggal 17 Mei mereka akan memilih masing-masing satu lagu (jadi total ada dua, satu dari Amat lagu Balonku dan satu dari Cimot lagu Bengawan Solo, Misalnya) untuk dibawakan oleh penulis berikutnya.
- Penulis berikutnya akan dipilih lewat metode
- Misalkan, yang terpilih berikutnya adalah Belo dan Dodo, maka Belo dan Dodo menuliskan cerpen untuk tanggal 24 Mei dengan sumber inspirasi dari lagu yang dipilihkan Amat dan Cimot.
- Belo dan Dodo bebas menyepakati siapa yang akan menulis berdasarkan lagu Balonku dan siapa yang berdasarkan lagu Bengawan Solo.
- Pada tanggal 24 Mei, Belo dan Dodo akan rilis cerpen, sekaligus memilih satu lagu kesukaan mereka untuk dibawakan oleh penulis berikutnya yang diundi pada hari itu juga. Begitulah seterusnya.
8. Setelah satu putaran selesai, seperti biasa kita akan adakan polling dan penjurian. Akan dipilih dua orang pemenang, satu untuk kategori pilihan juri, dan satu untuk kategori polling pembaca.
Ada hadiahnya, nggak? Tentu saja! Untuk kali ini, pemenang kategori pilihan juri akan mendapatkan paket buku sebanyak tiga buku, dan pemenang polling akan mendapatkan satu buah buku. :D
Oke, segini dulu aja tentang aturan main arisan kita kali ini. Sampai jumpa! :)
May 10, 2015
Polling Cerpen Episode II
Cara mengikuti polling cukup dengan meluncur ke widget di bagian kanan blog ini, dan memilih salah satu cerpen di bawah ini yang disukai:
1. Panggil Saja Aku Laki-laki
2. Wasiat Lazarus
3. Deja Vu dalam Hujan
4. Kaca yang Berdebu
5. Mekarnya Bunga Youtan Poluo
6. Amorette
Demikian pengantar dari kami, selamat membaca dan terima kasih untuk partisipasinya! :)
Salam hangat,
#KF11
Semacam Pengantar
Alhamdulillah, akhirnya walau dengan jatuh bangun layaknya batita yang baru belajar berjalan, arisan cerpen KF 11 season pertama berhasil diselesaikan. Sebagai proyek pertama yang masih sarat euforia akan kenangan dua hari di Kampus Fiksi, ternyata komitmen anggota untuk terus menulis diuji juga di proyek ini. Tentu saja, ke depannya ujian itu akan semakin besar karena euforia itu sudah pasti berkurang. Tapi, kami percaya bahwa kami dipertemukan karena memiliki kecintaan yang sama pada dunia literasi, sehingga komunitas ini tentu tidak akan lelah untuk terus memanggil-manggil kami agar berkarya lebih banyak lagi.
Hari ini, polling cerpen arisan kembali dibuka untuk kedua kalinya. Arisan cerpen season 2 juga akan segera dimulai lagi. Mekanisme arisan cerpen season dua dan mekanisme poling akan dijelaskan di postingan berikutnya. Semoga ujian yang nantinya semakin besar itu, baik dari segi komitmen, kualitas tulisan, kesibukan masing-masing, dan lain-lain dapat teratasi dengan baik dan blog KF 11 sebagai prasasti yang mengukir pertemuan kita bulan Februari 2015 lalu, dapat terus hidup karena nafasnya berasal dari tulisan kita semua.
Keep writing and love you all, guys...
May 8, 2015
Cerpen - Tumbal Danau Perawan
Mereka tiba di depan rumah tepat pukul 7 malam. Suasana begitu sepi dan mencekam. Lolongan anjing di kejauhan menambah suasana menjadi menyeramkan. Bintang melangkah menuju pintu diikuti langkah kaki calon istrinya, Santi. Wajah Santi tampak cemas, terlihat tanda kerutan di keningnya pertanda dia sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang dipikirkannya, Bintang tak pernah tahu.
Tok... tok... tok...
Dia mengetuk pintu rumahnya sebanyak tiga kali. Dia tak mengerti mengapa orang tuanya menyuruh demikian sejak Bintang masih kecil. Mungkin untuk mengusir hantu barangkali.
Kreekk...
Bunyi engsel pintu yang sudah tua terdengar saat seorang wanita tua –ibu Bintang– membukakan pintu untuk mereka. Sesaat wanita itu sedikit termenung melihat sosok gadis di sebelah anaknya. Tetapi pada akhirnya, wanita itu mengajak mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah.
Bintang memasuki kamar lamanya sambil mengajak Santi masuk ke ruangan itu. Rencananya Santi lah yang akan tidur di kamarnya dan dia tidur bersama adiknya, Rean. Dia melihat tidak banyak perubahan di kamar tidurnya. Yang berubah hanyalah sprei yang sepertinya baru saja diganti oleh Bik Inah, pembantu setia keluarga ini. Foto bersama saudara kembarnya terpampang di atas meja di sebelah tempat tidur. Kembali Bintang mengingat kenangannya bersama almarhum.
“Ah, aku tidak boleh mengingatnya lagi. Dia sudah tenang di alam sana.” Kata Bintang dalam hatinya.
Setelah membersihkan badan dan merapikan bawaan mereka, Bintang mengajak Santi ke ruang tamu. Di sana keluarga besar Santoso sudah menunggu. Ibu, bapak, Rean, Manda dan juga Bik Inah. Mereka duduk bersama dan saling bertukar cerita selama kurang lebih satu jam. Keluarganya cukup memaklumi kelelahan mereka berdua, setelah perjalanan panjang yang dilalui. Akhirnya, tepat pukul 9 malam, mereka semua memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.
Di kamar, Bintang kembali mengingat percakapan mereka di ruang tamu.
“Aku harus segera bertindak. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bisa-bisa nyawa Santi juga melayang gara-gara ini.” Pikirnya dalam hati.
Keesokan paginya, Bintang menemui teman-teman lamanya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini. Santi sebenarnya ingin pergi bersamanya sambil melihat keadaan di kampung itu, namun Bintang melarang karena khawatir akan keselamatannya. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan sepasang mata menatap tajam ke arah rumah Bintang. Menatap Santi dengan nafsu membara.
***
“Mbah, sepertinya di kampung ini ada mangsa baru untuk persembahan.” Kata laki-laki itu kepada Mbah Gentong.
“Sopo, Le?”(1) Kata Mbah Gentong sambil terus mengunyah sirih merah.
“Kula mboten mangertos naminipun, Mbah. nanging kadosipun piyambakipun calon menantu keluarga Santoso.” (2) Tambah laki-laki itu.
“Yo wes. lakoke sabaene wae.“(3) Mbah Gentong memberikan perintah.
“Nggih, Mbah. Enggal kula tumindakake kengken Mbah. Kula pamit riyen. “(4)
“Yo wes. Ati-ati, Le. Firasat Mbah ora ping enak iki”(5) Kata Mbah Gentong sambil memberikan sebuah bungkusan yang isinya jampi-jampi.
“Inggih, Mbah” (6) Kata laki-laki itu sambil mengambil bungkusan dan segera meninggalkan rumah Mbah Gentong.
***
Hari beranjak malam. Matahari sudah terbenam di ufuk timur. Tampak sinar kemerahan mulai pudar seiring dengan pancaran sinar rembulan yang menggantikan tugas sang surya. Malam ini tak tampak seperti malam di mana Bintang datang kembali ke kampung ini. Malam ini sang bulan tertutup awan hitam. Suara burung hantu terdengar memilukan, seperti sebuah pertanda akan terjadi sesuatu pada malam ini. Yang Bintang takutkan hanyalah keselamatan Santi, kekasihnya. Bintang tidak ingin dia bernasib sama dengan perawan-perawan desa yang raib entah kemana. Dika mengatakan kepadanya kalau awalnya para gadis itu berjalan sendiri ke arah danau perawan, danau di ujung kampung yang tak pernah terjamah oleh orang-orang. Setelah itu, mereka semua menghilang tanpa jejak walaupun para warga kampung mencari hingga ke dalam hutan di samping danau.
***
Di kamar, Santi sedang mempersiapkan diri untuk menunaikan sholat isya’. Hatinya malam ini sedikit kacau. Entah mengapa perasaannya tidak begitu enak sejak makan malam tadi. Dia seperti merasakan ada sesuatu di rumah ini. Tapi, pikiran-pikiran buruk itu segera dia musnahkan. Dia berpikir kalau tidak enak mengatakan hal ini kepada calon keluarganya. Cukup dia saja yang merasakannya.
***
Di kamar sebelah, Bintang juga merasakan perasaan yang sama seperti yang Santi rasakan. Bintang ingin sekali menemani Santi malam ini hingga dia tertidur. Tapi, sepertinya Bintang tidak mau melanggar aturan keluarganya untuk tidak berada dalam satu kamar bersama orang yang bukan muhrim. Dalam hati Bintang terus berdoa untuk keselamatan Santi.
***
Waktu menunjukkan pukul 9 lewat 5.
“Sepuluh menit lagi akan aku lakukan ritual ini,” pikir laki-laki itu dalam hatinya.
Sesajen dan hio sudah dipersiapkan di seberang danau perawan. Tinggal menunggu waktu dan gadis itu −Santi− akan segera datang.
***
Santi terus menerus menguap, tanda dia semakin mengantuk. Santi mendekati pinggir tempat tidur dan segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak sampai lima menit, Santi sudah terlelap. Bintang juga sepertinya sedang dalam kelelahan yang luar biasa. Bintang tertidur lebih cepat dari biasanya. Dan Bintang bermimpi buruk. Di dalam mimpinya, dia melihat seorang laki-laki yang sedang menggeret paksa gadis berpakaian putih di depannya. Bintang seperti mengenal sosok gadis itu. Ah, itu adalah Santi, kekasihnya. Mau apa laki-laki itu kepada Santi? Mengapa Santi seperti menurut saja diperlakukan seperti itu oleh lelaki di sampingnya? Bintang harus segera membantunya. Jika tidak, Bintang tak akan pernah tahu apa akibatnya setelah ini.
Dia mulai mendekati laki-laki itu, dan melayangkan tinju kepadanya. Tetapi dia mampu mengelak dari tinju Bintang dan membalasnya dengan satu pukulan yang menyebabkan Bintang terjengkal ke belakang. Pertarungan sengit terus berlangsung. Dan tanpa sadar, Bintang mengingat ucapan Kiai Sepuh di pondokannya dulu.
Jika kamu mengalami pertarungan di dalam mimpi dan pertarungan itu tampak seperti nyata, ucapkanlah doa ini. Niscaya engkau akan segera memenangkan pertarungan dengan ijin Allah SWT.
Bintang mengucapkan doa-doa yang diajarkan Kiai Sepuh, dan apa yang terjadi setelah ini benar-benar jauh dari nalarnya. Lelaki di depannya berteriak histeris dan terus menghilang seperti asap.
***
Di tempat lelaki suruhan Mbah Gentong, Santi tampak tertidur pulas di samping lelaki yang telah kalah dari pertarungan. Dia tewas seketika di dalam pertarungan yang terjadi antara Bintang dan lelaki itu. Musnahlah sudah harapan Mbah Gentong untuk menggenapkan tumbalnya menjadi 50 gadis perawan.
~end~
(1) Siapa, Le?
(2) Saya tidak tahu namanya, Mbah. Tapi sepertinya dia calon menantu keluarga Santoso.
(3) Ya sudah, lakukan seperti biasa saja.
(4) Ya, Mbah. Segera saya lakukan perintah Mbah. Saya pamit dulu.
(5) Ya sudah. Ati-ati, Le. Firasat mbah tidak enak kali ini.
(6) Iya, Mbah.
Perjalanan
Hari ini adalah pengumuman kelulusan di sekolahku. Setelah ini, aku bisa lebih mengeksplor hobiku yang selama beberapa bulan ini terbengkalai karena persiapan ujian kelulusan. Paling tidak sampai saat penerimaan mahasiswa baru di kampus yang aku inginkan. Aku mulai mempersiapkan kegiatan pendakian yang selama ini sudah direncanakan sebelumnya. Ya, mendaki gunung Kawah Ijen yang menurut orang-orang memiliki pesona alam yang menakjubkan dengan adanya fenomena blue fire −api berwarna biru yang muncul di sela-sela bebatuan di lokasi penambang belerang− yang terdapat pada bibir Kawah Ijen.
Perjalanan yang aku dan Ferry lalui cukup panjang. Kami harus menaiki kereta api dari Bandung menuju Surabaya, kemudian menggunakan bis untuk mencapai kota Bondowoso. Kurang lebih 12 jam yang telah ditempuh dari Stasiun Bandung hingga Stasiun Gubeng Surabaya. Cukup melelahkan memang, tetapi itu sebanding dengan keindahan alam yang akan kami dapatkan di puncak gunung Kawah Ijen. Menurut info yang aku dapatkan, untuk mencapai Kawah ijen ada dua jalur pendakian, yaitu melalui Kecamatan Sempol, Bondowoso, ataupun melalui Kecamatan Licin, Banyuwangi. Aku menentukan untuk melewati Kota Bondowoso. Meskipun perjalanan yang akan kami lalui lebih panjang jaraknya namun kami akan disuguhi keindahan kebun kopi dan air terjun Banyupahit sebelum mencapai Kawah Ijen.
Kulirik jam tangan pemberian ayah, waktu sudah menunjukan pukul 21.30, satu jam lagi bis akan memasuki Kota Bondowoso. Sambil menunggu, aku membuka foto-foto Kawah ijen yang kudapatkan dari browsing di google. Keindahan alam yang kulihat di foto cukup membuatku penasaran, bagaimana jika aku melihatnya secara langsung? Mungkin aku langsung terpana dan tak berkedip menatap kawah itu. Aku tiba di Kota Bondowoso pada pukul 22.30. Perjalanan panjang membuatku merasakan lapar. Tetapi rasa itu bisa ku tahan, karena mobil jemputan yang akan membawaku ke Kecamatan Sempol sudah menunggu. Di atas mobil, aku mencari makanan ringan untuk sedikit mengganjal perutku.
Ternyata jarak yang harus dilalui masih panjang. Perjalanan menuju Kecamatan Sempol ditambah ke Pos Paltuding masih ditempuh selama 2,5 jam lagi. Jika kita sampai di pos tepat waktu, masih ada waktu ½ jam untuk beristirahat dan mencari makan. Kendaraan yang kami tumpangi tiba sesuai rencana di Pos Paltidung pada pukul 1 tepat. Ku langkahkan kaki keluar dari mobil. Hawa dingin mulai menyelimuti tubuhku. Suhu di tempat ini yang mungkin mencapai -5O --entahlah aku tak tahu pasti-- yang menyebabkan aku menggigil. Kami mulai membangun tenda di sekitar pos meskipun banyak penginapan yang disediakan di sana. Aku memasuki tenda dengan membawa makanan yang telah ku beli di rumah makan yang masih buka hingga pagi.
Pada pukul 01.30, kami mulai mempersiapkan fisik untuk memulai pendakian. Saat-saat seperti inilah yang kami nantikan. Perjalanan panjang yang memakan waktu kurang lebih 2 jam dengan berjalan santai. Rute yang kami lalui cukup menantang, meskipun pada awalnya kami hanya melewati lintasan yang datar. Kemudian kurang lebih setelah 100 meter dilalui, jalan mulai menanjak dengan kemiringan bervariasi antara 250-350. Satu kilometer sudah dilewati, jalan yang dilalui semakin menanjak. Aku semakin susah untuk mengatur nafas. Jam tanganku berbunyi, ternyata sekarang sudah 1,5 jam kami berjalan. Sebentar lagi aku akan tiba di puncak. Semakin tak sabar rasanya untuk segera melihat keindahan alam di atas. Adikku menambah kecepatan berjalannya. Aku mulai kewalahan mengikuti kecepatannya dari belakang. Nafasku mulai tersenggal karena tidak mampu menyaingi langkah kaki panjangnya.
Kami tiba di puncak tepat pukul 2.30, waktu yang tepat untuk melihat fenomena blue fire di bawah sinar rembulan. Beruntungnya sang bulan masih tetap setia menemani perjalananku. Aku memutuskan untuk melihat blue fire lebih dekat. Kami mulai turun menyusuri tebing kaldera di jalur yang dilalui penambang.
Kulangkahkan kaki dengan hati-hati di jalan yang terjal. Asap belerang yang tertiup angin mulai menembus hidungku. Aromanya terasa asam dan mulai membuat pedih di mata. Tetapi hal itu tidak membuatku mengurungkan niat untuk melihat keindahan lain yang ada di depanku.
Saat ini, di depanku terbentang kawah yang sangat luas, panjangnya mencapai 911 meter dengan lebar 600 meter. Kawah yang cukup luas dengan warna hijau tosca dan di sela-sela bebatuan tampak berwarna kebiruan di bawah sinar rembulan. Fajar akan segera tiba, aku tidak mau melewatkan matahari terbit dari puncak gunung. Kami berjalan ke arah timur dan tepat waktu untuk melihat sunrise dari tempatku berdiri. Semakin matahari menampakkan diri, semakin terlihat jelas keindahan Kawah Ijen dari puncaknya. Kawah Ijen terlihat sangat cantik, berwarna hijau toska, dikelilingi dinding kaldera berwarna coklat dan abu-abu membingkai indah pesona alam Kawah Ijen. Sisa erupsi menjadikan dinding kaldera seperti pahatan batu yang terlihat indah dari kejauhan. Di bawah Kawah Ijen terlihat kepulan asap putih dengan belerang berwarna kuning.
Aku sudah cukup puas melihat semua ini. Kelelahan selama perjalanan dan pendakian terbayar sudah. Kami bergegas menuruni lereng untuk segera beristirahat. Di perjalanan pulang terlihat bunga abadi, edellweis, tumbuh dengan subur di pinggir-pinggir lereng. Keindahan bunga itu tampak jelas di hiasi sinar matahari yang mulai menampakkan diri lebih jelas. Warna kuning dan putih dari edellweis semakin indah dihiasi pancaran sinar matahari keemasan. Setibanya di pos patildung, kami beristirahat sejenak sekedar melepas lelah sebelum kembali beraktivitas di rumah.
Perjalanan pulang memakan waktu lebih cepat dari perkiraanku. Kami tiba di rumah sebelum tengah malam. Lelah mulai menjalari tubuhku. Kurebahkan badan di atas tempat tidurku dan aku mulai terlelap. Aku bermimpi melihat kembali segala keindahan dan pesona alam yang aku lihat di Kawah Ijen.
***
Ujian penerimaan mahasiswa baru semakin dekat. Tidak ada lagi alasan untuk bermain-main lagi. Yang akan aku hadapi bukanlah hal yang mudah. Jika ingin masuk ke fakultas pilihanku aku harus melewati berbagai ujian yang sulit. Tes tulis, wawancara dan juga tes kesehatan beserta psiko tesnya. Inilah yang harus aku lakukan, belajar lebih giat dari biasanya.
Aku lulus semua tes yang aku jalani. Hari ini adalah hari pertamaku menjadi seorang mahasiswa Fakultas Keperawatan. Tidak pernah kusangka semua bisa berjalan sesuai dengan rencana. Banyak yang harus aku lakukan setelah ini. Meskipun sulit namun akan indah pada waktunya. Aku bertemu dengan seorang sahabat di kelasku yang pertama. Seorang gadis berperawakan tinggi semampai, berkulit kuning langsat dan memiliki tahi lalat di hidung dan di bawah bibirnya. Namanya Danica, biasa kupanggil Chaca, dia hidup dengan ibu dan kedua adiknya. Ayahnya sudah lama meninggal karena kecelakaan pesawat. Meskipun begitu, ayahnya meninggalkan banyak perusahaan yang akan dikelola adiknya kelak. Sama sepertiku, Chaca sudah biasa sekolah sambil membuka usaha sejak masih duduk di bangku SMA. Bedanya, dia membuka semacam distro yang semua barang-barangnya adalah desain dan pemikiran dia beserta adik-adiknya.
Berbekal pengalamanku sebelumnya, aku mendaftarkan diri menjadi anggota UKM Pecinta Alam di kampusku. Pada saat kegiatan, aku melihat seorang kakak tingkat yang menurutku sangat baik. Warna kulitnya sedikit cokelat dengan tinggi badan sekitar 175 centimeter. Wajahnya cukup tampan, dan lesung pipinya membuat senyum yang menghiasi bibirnya membuatnya terlihat semakin cute. Tepukan Chaca di lenganku membuyarkan lamunanku. Kegiatan di luar ruangan akan segera dimulai. Kami akan memulai pengenalan alam di sekitar kampus. Melihat tumbuhan mana yang boleh dan tidak boleh dimakan saat survival. Ternyata pengetahuanku semakin bertambah dengan ikutnya aku menjadi anggota pecinta alam. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, waktunya untuk mengakhiri kegiatan dan segera pulang ke rumah.
Aku menyusuri lorong kampus dan pandanganku teralihkan pada papan pengumuman. Ada lembar pengumuman yang membuat aku bersemangat. Sudah lama aku tidak mengasah kemampuan teaterku sejak saat itu. Aku mengajak Chaca untuk ikut mendaftar besok. Tapi kekecewaan yang aku dapatkan. Dia tidak menginginkan kegiatan lain lagi selain pecinta alam. Dia takut akan mempengaruhi kuliahnya dan bisnisnya. Keesokan harinya kuberanikan untuk memasuki ruang UKM Teater seorang diri. Cukup terkejut melihat seseorang yang sedang duduk di depan meja pendaftaran. Dia duduk dengan manis melayani mahasiswa baru yang meminta formulir pendaftaran keanggotaan. Hal ini akan semakin menarik, pikirku dalam hati. Aku semakin menaruh hati padanya. Belakangan ku ketaui namanya adalah Bintang, nama yang indah sesuai dengan wajahnya. Aku tambah bersemangat dengan segala kegiatanku di kampus selain kuliah.