First Snow
Oleh : Refa Ans
Oleh : Refa Ans
Sora menatap origami berbentuk cranes di
tangannya. Kertas itu tidak lagi terlihat baru. Ah, rasanya sudah lama sekali
ia menerima origami itu darinya. Ini
pula satu-satunya benda kenangan dari pemuda yang dulu amat ia cintai itu, meski tanpa pernah
mengungkapkannya. Ia selalu merasa bahwa
semua akan berubah ketika menyatakan itu seperti sebelumnya, ia
takut hal seperti itu kembali lagi terjadi.
Origami itu selalu terasa istimewa. Sebanyak
apapun yang ia buat, bahkan dengan kertas yang jauh lebih bagus, origami itu
selalu terasa lebih istimewa. Dirinya bahkan tidak pernah terpikir untuk
membongkarnya meski telah sekian lama menyimpan itu dan tidak pernah bertemu
dengannya lagi. Ia selalu menyimpan itu baik-baik, itulah kenang-kenangan
terakhir darinya sebelum menghilang tanpa kabar.
Sora menerawang ke langit gelap
di balik jendela kamarnya. Dingin di luar sana seakan dapat ia rasakan.
Kenangan saat menunggu pemuda itu di taman kembali terputar di benak. Kali itu,
pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu. Saat pemuda itu mengatakan ia
menitipkan hatinya.
Tangan Sora pelan-pelan bergerak membuka origami itu ketika teringat perkataan pemuda itu. Tentang hati.
Menitipkannya. Seharusnya ia sadar dari
dulu. Lipatan demi lipatan
dilepaskannya. Hingga akhirnya tinggal bentuk dasar diamond. Bersamaan dengan itu segala kenangan dengannya kembali
berputar.
Di mana ia selalu memberi kenangan saat salju pertama. Bukan hanya itu, bahkan
hampir di sepanjang masa SMA.
Saat terbuka sepenuhnya, airmata Sora
mengalir deras karena matanya menumbuk
beberapa baris tulisan itu. Dan lagi-lagi, kali itu adalah salju pertama yang
turun. Dari jendela Sora bisa menangkap butiran salju yang turun.
***
“Salju pertama!” jerit Sora dengan wajah
berhias senyuman ketika mendapati butiran salju hinggap di telapak tangannya.
Banyak orang mengatakan jika kita mengucapkan harapan pada saat salju pertama
turun ke bumi maka harapan itu akan terkabul. Sora percaya itu. Ia selalu
menganggap ketika salju pertama turun dewa juga ikut turun menyambut salju di
bawah dan mendengarkan semua harapan manusia saat itu. Entahlah hanya
pikirannya saja atau memang sesuatu yang nyata, atau bahkan dipercaya banyak
orang. Sora tidak peduli.
Gadis berambut cokelat itu kemudian menautkan kedua tangannya dan mengucapkan harapan. Dirinya
tidak berharap macam-macam, hanya permintaan seorang gadis yang membutuhkan
teman karena hampir selalu kesepian. Yah, tampaknya tidak perlu disebutkan apa
keinginannya.
“Berharap pada salju
pertama, eh?”
Seketika Sora langsung membuka matanya dan menoleh saat mendengar sebuah suara bass di dekat
telinganya. Seorang pemuda yang menurut
perkiraan seumur dengannya itu kini tengah memandang ke langit yang sudah
gelap. Gadis itu menatap wajahnya sejenak. Bukan
wajah asing, batinnya.
“Ah, hai[1],”
jawabnya sopan sambil memberikan seulas senyum. “Banyak orang, kan, yang
percaya kalau salju pertama bisa mengabulkan harapan. Omong-omong, kamu siapa?
Aku seperti tidak asing.” Siapa tahu memang benar, kan, Sora pernah melihat
pemuda itu. Entah di sekolah atau tetangganya. Lagipula orang asing tidak
mungkin tiba-tiba menyapanya seperti tadi.
“Wah, rupanya kau belum tahu diriku, ya.
Padahal aku mengenalmu, Aoki Sora dari kelas 1-A.”
Sora hanya tersenyum ketika mendengar
pengakuan pemuda itu. Yah, dirinya terbilang cukup sulit dalam mengingat nama
seseorang. Apalagi ia memang tidak begitu banyak mengenal teman sekolahnya
kecuali teman-teman sekelas dan teman klub melukis. Ah, itu pun tidak
seluruhnya berhasil ia ingat dengan tepat nama dan wajahnya.
“Atashi
wa Akita Ken desu. Aku dari kelas 1-B, tetanggamu.” Pemuda itu kemudian
ber-ojigi[2]
setelah menyebutkan namanya. “Yoroshiku.”
“Yoroshiku.”
Sora kembali tersenyum setelah ikut ber-ojigi juga.
“Jadi, kamu percaya kekuatan
salju pertama?” Ken mulai mengajak Sora melanjutkan berjalan. Kalimat demi kalimat kemudian saling
bertukar dari mulut keduanya. Di bawah salju yang melenggang turun dari langit
keduanya berjalan bersama menuju rumah masing-masing.
Ia tidak pernah tahu bahwa sejak saat
itu Ken akan menjadi temannya. Ah, inikah kekuatan salju pertama?
***
Tak bisa dibantah, rasa nyaman
lama-kelamaan pasti akan melahirkan perasaan lain di dada. Di dalam dadamu akan
ada perasaan yang begitu asing. Jantungmu akan berdegup lebih cepat, aliran
darahmu bertambah deras, dan perasaanmu akan senang tak terkira ketika tahu ‘dia’ ada di dekatmu.
Itu pula yang Sora rasakan. Pelan-pelan
tapi pasti, ia jatuh pada pesona Ken. Ken bukan sosok yang selalu dipuja para
gadis. Dia hanya pemuda biasa-biasa saja, tapi hanya ia yang mampu membuat Sora
jatuh cinta setengah mati—dengan cara selalu bisa membuat gadis itu merasa nyaman berada di
dekatnya.
Sayang, Sora terlalu takut untuk mengakui perasaannya itu, kembali jatuh cinta. Ia takut ketika pada akhirnya sudah jatuh terlalu
dalam sepeti dulu, tetapi ternyata orang yang ia suka jauh memilih gadis lain.
Karena itu ia kehilangan seorang teman, satu-satunya orang yang paling ia
percaya.
Itulah mengapa Sora selalu membohongi tentang perasaannya ada Ken. Segala alasan
ia buat atas perasaan aneh—baca: jatuh cinta—itu. Ketika malam hari tiba-tiba wajah Ken berkelindan di kepala, ia hanya
menganggap ingin bercerita kepada Ken. Bahkan ketika detak jantungnya tak wajar
saat Ken menggandeng tangannya untuk menyeberang jalan, Sora hanya menganggap
itu kaget karena Ken yang tak jarang menarik tangannya tiba-tiba.
Begitu pula dengan saat ini, jantungnya
terasa berdetak begitu cepat karena Ken menggandeng tangannya.
"Kamu kedinginan?" Sejenak Ken
menghentikan langkahnya. "Kalau memang kedinginan, bilang saja. Ah, udara
memang begitu dingin. Seharusnya kita tadi tidak usah mengerjakan tugas di
sekolah dulu. Bagaimana bisa, sih, aku lupa kalau ini sudah di awal musim
dingin?"
Sora hanya tersenyum. Seperti biasa, Ken
memang begitu. Ia terlalu sering menyalahkan diri sendiri walaupun terkadang
itu bukan salahnya.
"Sudah, tak apa. Lebih baik kita
secepatnya pulang," kata Sora bermaksud mengajak pemuda itu kembali
berjalan.Ia tidak ingin terus-terusan merasakan perasaannya yang tak karuan
itu.
"Baiklah, ayo." Tanpa diduga,
Ken langsung memasukkan tangan mereka yang bertautan tadi ke dalam saku
mantelnya.
Sora langsung tersentak kaget, tapi di
tengah kekagetannya itu, ia merasakan kini hangat bukan hanya menyelimuti
tangannya yang digenggam Ken dalam saku mantel. Badannya juga. Hatinya. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk menolak itu. Ia merasa begitu nyaman.
Bukankah Ken memang selalu begitu?
Lagi-lagi Sora mulai membela diri
menampik kenyataan. Ia masih bersi-keras tidak mau mengakui perasaannya.
"Ken, doushite?"
"Eh?"
Tanpa Sora sadar akhirnya pertanyaan di
ujung lidah yang tadi tak bisa terlepas kini meloncat keluar. Kenyang tadi
fokus pada jalanan langsung menoleh ke arah Sora. Kedua alisnya terangkat,
sorot matanya menyiratkan keheranan. Degup jantung Sora pun semakin tidak keruan.
Kami-sama, aku tidak ingin jatuh
cinta kepadanya, aku tidak ingin terluka lagi,
dalam hati Sora memohon.
"Mengapa kamu begitu perduli
padaku?" Sora meluncurkan
pertanyaan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Dalam hatinya ia
merasa begitu cemas menanti jawaban dari mulut Ken. Sadar atau tidak, kini
sebenarnya dalam hati Sora berharap bahwa Ken akan mengatakan itu karena ia
mencintainya. Baiklah, anggap saja Sora hanya berangan-angan. Karena ia ‘tidak-jatuh-cinta-kepadanya’.
Ken kemudian menghentikan langkahnya. Ia
menoleh ke arah Sora. Matanya mengunci mata Sora. "Karena aku ingin terus
melindungimu, menjaga agar senyumanmu tidak hilang dari sana."
Terasa sebuah hantaman di ulu hati Sora
ketika mendengar itu. Ia tidak lagi bisa mengelak. Perkataan itu membuatnya
merasa semakin hangat dan rasa senang seakan Ken memang mengucapkan apa yang
diharapkannya.Sora
dapat merasakan kini mukanya begitu hangat.
Saat itu juga, Sora luluh dengan
kenyataan. Ia kalah, tamengnya telah hancur berkeping-keping. Sebongkah kepercayaan
membuat gadis itu yakin, bahwa Ken adalah sosok lain yang berhak ia cintai.
Sekarang, Sora mengakuinya. Sora
mencintai Ken. Bersamaan itu, salju pertama tahun ini turun.Salju pertama,
selalu saja tentang Ken.
***
Apakah salju pertama selalu tentang
keinginan?
Sora termenung di beranda rumahnya sore
ini. Tanpa pernah terasa, tiba-tiba saja ini sudah awal musim dingin lagi.
Sudah selama itu dirinya diam-diam jatuh cinta pada Ken. Tak seorang pun ia biarkan tahu. Ah, mengapa sampai saat ini
ia belum juga mempunyai keberanian,
Gadis berambut cokelat sepunggung itu
menghela napas berat. Hawa dingin yang bersentuhan dengan kulit tak
dihiraukannya. Ia kembali terdiam, membiarkan sosok Ken memenuhi benaknya.
Pikirannya melayang-layang ke kenangan mereka dua tahun terakhir ini.
Drrrt..., drrrt....
Tiba-tiba ada notifikasi pesan masuk ke
ponselnya. Tanpa berpikir panjang,ia langsung menghidupkan ponsel. Nama Ken
tertera di sana. Dengan gerakan kilat, Sora membuka pesan itu.
Sora-chan, bisa kita bertemu? Tunggu aku di taman, ya. Pukul 7 malam ini.
Sora langsung mengamati teks itu
berkali-kali. Heran. Ken tidak biasanya mengirim pesan kecuali terlalu penting. Ken mengaku
ponsel memusingkannya. Hah, Sora tidak tahu mengapa. Padahal kebanyakan anak
muda seusia mereka begitu tergila-gila dengan benda itu.
Ada apa ini?
Ya, kutunggu di sana.
Tak banyak tanya, Sora hanya menyetujui
itu. Tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi saat itu. Sebuah pertemuan yang rahasianya akan
terbuka di masa depan.
***
Tak terasa sudah hampir dua jam Sora
menunggudi kursi taman bawah pohon sakura yang kini kering tak berdaun dan Ken
belum juga datang. Padahal udara begitu dingin. Sampai setiap kali ia
menghembuskan napas keluar asap putih. Kegelisahan kini menyelimutinya.
Bagaimana
bisa Ken belum juga datang? Sekali lagi Sora melihat ke pergelangan
tangan kirinya. Jam sembilan lebih semenit. Air mata kemudian menggenang di
pelupuk matanya. Keyakinannya bahwa Ken akan datang mulai ludar. Belum lagi
dengan rasa dingin yang terus berusaha dilawan oleh mantelnya, meski tak jarang
menelisik masuk dari lubang-lubang kecil.
Berkali-kali
Sora menahan diri untuk tidak menangis. Harus ia akui, ia kecewa dengan Ken. Pelupuknya tidak lagi kuat membendung airmata.
Cairan bening itu lalu meluncur turun. Tangis Sora pecah saat itu juga. Berkali-kali
tangannya berusaha mengusap air mata. Namun sebanyak apapun ia mencoba, air
mata itu tak juga habis. Terus saja jatuh bagaikan hujan saat tsuyu datang.
"Nakanai
de, Sora-chan[3]."
Sebuah
pelukan hangat dari belakangkemudian melingkari leher Sora. Air matanya justru
turun semakin deras ketika mendapati kini dirinya dipeluk oleh sosok yang ia
tunggu.
"Aku
di sini, maafkan aku sudah membuatmu menunggu, Sora-chan." Ken mengeratkan
pelukannya pada Sora. Perlahan di dalam dadanya seperti ada sesuatu yang remuk.
Hatinya patah. Bukan karena melihatnya menangis, tapi jika menyadari waktu.
Sora
masih saja belum bisa menghentikan linangan airmatanya. Firasatnya kali itu
merasa tidak enak saat mendengar nada bicara Ken barusan. Ia pun tidak berani menatap mata hitam Ken.
Hanya dibiarkan Ken memeluknya begitu erat.
"Arigatou.
Maafkan aku membuatmu menungguku." Ken berbisik pelan ke telinga Sora.
"Walaupun sebenarnya tidak ada yang harus kukatakan, aku hanya ingin
bertemu denganmu."
Dapat
Sora rasakan kini ada air mata yang menetes di lehernya. "Kamu...,
menangis, Ken?"tanya Sora dengan suara bergetar. Bagaimana bisa Ken yang
ia tahu begitu tegar kini menangis?
"Aku hanya bahagia bisa mengenalmu…."
Tak
ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Sora. Hanya air matanya yang terus
mengalir. Dirinya tidak bisa berusaha kuat jika
seseorang yang selama ini selalu menguatkannya justru menangis sepeti itu
"Ada
apa sebenarnya, Ken?"Sora berbalik. Matanya dan Ken
kini bertatapan. Sora bisa melihat mata itu begitu sendu sarat dengan
kesedihan.
"Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin bertemu denganmu saja.
Jangan menangis, tersenyumlah, Sora-chan. Aku selalu merasa hangat ketika melihatnya,
senyummu bagai langit musim semi yang cerah." Ken mengusap aliran airmata di pipi Sora. Seulas senyum kini terulas di
wajahnya, meski linangan airmata dari sana belum terusap bersih.
Sora
tersenyum kemudian diikuti dengan Ken. Mereka memaksakan diri walaupun
sebenarnya hati mereka remuk seremuk-remuknya malam itu.
"Satu
lagi, aku ingin memberikan origami ini untukmu." Ken lalu mengeluarkan origami cranes yang belum sempurna itu dari saku
mantelnya. Disempurnakannya origami itu sebelum diberikan kepada
Sora."Tolong simpan ini. Ini adalah hatiku."
Lagi
dan lagi, mata Sora menangkap salju pertama turun. Pertanda apa pada salju kali
ini?
***
Sora tidak menyangka apa yang kini tertulis di sana. Beberapa kalimat
yang tidak pernah ia duga. Beberapa keanehan yang tidak terlalu ia perdulikan
kini seperti terjelaskan sejelas-jelasnya. Bagai seekor rusa yang dikuliti,
Sora baru mengetahui siapa Ken. Dan ia tidak bisa menerima itu.
Keanehan seperti Ken yang gagap teknologi, bisa menceritakan kejadian
belasan tahun lalu seakan melihatnya sendiri, dan dari gaya berpakaiannya.
Mengapa harus begini?
Daisuki
dayo[4], Sora-chan. Maafkan aku terlambat
mengungkapkannya. Tetapi percayalah begini lebih baik daripada aku
meninggalkanmu dan perasaanku tanpa sepatah kata pun perpisahan. Andai saja aku bisa menghabiskan waktu
lebih lama di masa ini tanpa harus kembali ke masa lalu.
“Kami-sama, tolong jelaskan
apa maksud semua drama ini….”
Sora menenggelamkan kepala ke lipatan tangannya di meja. Tangisnya
keluar, seluruh rasa sakit yang hatinya simpan ia keluarkan. Tanpa terkecuali.
No comments:
Post a Comment