UNTUK
SEBUAH RINDU
Tak....tik....tak....
Jarinya
terus saja mengetuk-ketuk meja. Kegusaran selalu menjadi hal paling dibencinya.
Beberapa orang tengah sibuk hilir mudik dihadapannya. Dan, itu semakin
membuatnya tak suka.
“Apakah
kalian bisa berhenti!” bentaknya, sembari memijat kening yang kian pening.
“Eemm,
maaf Pak,”ucap salah seorang di depannya.
Yuga
Pranoto menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar setiap kegusaran dan sakit
kepalanya berkurang. Di kibaskan tangannya, meminta orang-orang di ruangan itu
keluar. Dia sungguh ingin sendiri.
“Bapak
memanggil saya?” sapa seorang pria muda berusia tak lebih tua darinya dengan
seragam OB.
“Aahh,
Juki, saya mau minta bantuan kamu,” katanya, setengah memaksakan sedikit senyum
yang sungguh hambar.
Juki
terlihat risih saat ia harus duduk di atas kursi bosnya. Lebih-lebih, jas yang
dia kenakan terlihat sedikit kebesaran. Ingin rasanya ia melepas pakaian mewah
itu. Tapi, cepat-cepat ia menepis keengganannya itu. “Ini tugas, Juk. Tugas!”
katanya dalam hati.
****
Seorang
pria, berpakaian OB duduk termenung di bawah pohon matoa. Tangannya yang kotor
serta tubuh yang bau. Seolah menerangkan jika pria itu baru saja berkutat
dengan sesuatu yang tak jauh dari tempatnya beristirahat. Dan itu adalah
SAMPAH!
“Tidak
ketemu juga?” tanya seorang perempuan muda yang tiba-tiba membuatnya gelagapan.
Perempuan
muda itu menenteng ember kecil berisi air dan beberapa gelas berukuran sedang.
Sedangkan di punggungnya, sebuah tenggok[1]
penuh botol-botol cairan berwarna putih pucat, kuning dan hitam serta
hijau.
“Eemm,
belum,” jawab Yuga salah tingkah.
Perempuan
di hadapannya menurunkan barang bawaannya, duduk didekatnya. Yuga menatapnya
lekat-lekat. Bukan berarti dia tidak pernah bertemu dengan perempuan yang lebih
cantik dari perempuan disebelahnya. Melainkan, karena ia merasa nyaman saat
bersamanya.
Nira.
Perempuan itu bernama Nira. Perempuan ayu yang berprofesi sebagai tukang jamu
keliling. Awal peretemuan Yuga dengan Nina buka karena ketidak sengajaan. Ardi,
sahabat Yuga, mengenalkannya pada perempuan itu. Saat Yuga bertandang ke kost
Ardi, saat itulah ia dikenalkan dengan Nira. Kost meraka termasuk kost bagi
kaum perantau. Tak banyak yang mampu dikatakan Yuga, saat berkenalan dengan
Nira. Perempuan asli Solo itu mengadu nasib ke Jakarta bermodalkan satu hal
“Keahlian membuat jamu”. Dengan laba yang tak seberapa, kost yang bagi Yuga tak
lebih luas dari kamar mandinya. Nira mamapu membuat seorang Yuga mengaguminya.
“Kalo
ndak ketemu, ya sudah, ndak apa-apa,” ujar Nira pasrah.
“Pasti
ketemu,kok,” sanggah Yuga menyakinkan.
“Tapi,
kalo aku boleh tahu, memangnya seberapa penting sendal selop itu buat kamu?”
tanya Yuga hati-hati. Takut menyinggung, barangkali begitu.
Nira
tertunduk. Kulitnya yang kuning langsat, bercahaya saat sinar matahari yang
garang menyeruak, menyelinap meneranginya dari balik dedaunan matoa.
“Ya,
penting. Tapi, kalo tetap ndak ketemu, aku sudah ihklas, kok, Mas,” jawab Nira
dengan senyuman yang khas.
Yuga
menelan ludah. Tak ingin. Sungguh tak ingin ia mendapatkan senyuman dari
perempuan ayu itu. Tapi, senyuman yang menyakitkan baginya. Bagaimana tidak?
Jika dibalik senyuman itu, sepasang mata di atasnya meredam kesedihan.
Sedikit
ragu-ragu, Yuga mencari-cari sesuatu di balik semak-semak. Tangannya menyentuh
kantong plastik. Lamat-lamat, ia kembali menatap Nira. Menyentuh tangan mulus
yang setiap hari meracik dan menjajakan jamu.
“Ini....”
ucapnya tersenyum jail.
Nira
menyerngitkan dahi. Matanya menatap kantong plastik. Dengan hati-hati, di
bukanya kantong plastik itu. Wajahnya seketika berubah cerah. Senyum yang khas
itu kembali mengembang. Yang jelas, tidak dengan mata kesedihan. Melainkan
kebahagiaan.
“Lho,
kata mas tadi ndak ketemu? Mas Yuga ini jail tenan[2]
ternyata,” ujarnya tak menyangka.
Sedangkan
Yuga hanya mampu meringis salah tingkah sembari menggaruk kepalanya meski tak
gatal.
“Aku
ngak tega liat kamu sedih. Maaf, ya. Tapi, apa sendal selop itu begitu
penting?” Yuga kembali bertanya.
Nira
memandang lekat-lekat sendal selop berukuran 42 berwarna coklat itu. Ia
tersenyum, mendekat sendal selop itu penuh arti.
****
Yuga
mengetuk-ketukkan jari di atas meja. Itulah kebiasaannya jika sedang gusar. Di
hadapannya, Juki berdiri bak patung. Ia baru saja menyuguhkan secangkir kopi
hitan untuk Yuga. Kalo boleh ditilik dari riwayat kerja dan kedekatannya dengan
Yuga, bisa dikatakan jika Juki adalah salah satu orang kepercayaan Yuga.
Meskipun pangkatnya hanya sebatas OB.
“
Mas Yuga baru kesal sama orang, ya?” tanyanya setengah menebak-nebak.
Juki
menghela napas saat pertanyaannya tak direspon. Perlu diketahui juga, di
hadapan orang lain atau saat tidak berdua dengan Yuga, panggilan Bapak ke Yuga
berubah menjadi Mas. Kata Yuga, biar lebih akrab.
“Juk,
kamu pernah patah hati?” Yuga tiba-tiba saja bertanya hal yang aneh menurut
Juki.
“Woo,
ya pernah, Mas. Malah sering. Terakhir kali, sama Mbak Mitha,” cerocos Juki
antusias saat menyebut nama Mitha yang tak lain adalah sekertaris Yuga.
Yuga
mendengus. Memijat keningnya. Kemudian melambaikan tangannya, menyuruh Juki
keluar dari ruangannya. Dalam hatinya, ia merutuk. Bertapa beruntungnya Juki.
Setidaknya begitu.
Otaknya
tiba-tiba saja bagai layar tancap. Memutar ulang adegan seminggu yang lalu,
saat ia bertemu dengan Nira. Masih begitu jelas bagaimana perempuan itu
tersenyum, tatapan serta candanya. Tapi, sesering ingatan itu muncul, sebanyak
itu pula sakit yang di dera harinya.
“Apakah
ini hanya sebatas kerinduan? Kerinduan yang terlarang!” keluhnya setengah
mengumpat.
****
Seminggu sebelumnya....
Yuga
menelan ludah mendengar penjelasan Nira. Hatinya sontak terasa ngilu. Kepalanya
berdenyut-denyut melebihi denyut jantungnya yang bagai genderang. Napasnya
tersengal, sesak dan menyakitkan.
Nira
masih memandang selop coklat ditangannya. Wajah ayunya terlihat seolah tak
bersalah dengan penjelasan yang baru saja ia lontarkan pada Yuga. Aneh memang,
tapi itulah Nira.
Usai
menemui Nira dan memberikan selop coklat yang pernah ia pinjam gara-gara
sepatunya hilang sewaktu di kost Ardi, Yuga merasa ada yang begitu kosong tapi
juga berlubang di dadanya. Matanya tak kunjung terpejam meski ia saat ini
berada di atas tempat tidur dengan AC menyala.
Telinganya
bergurindam. Berulang-ulang. Seolah-olah, penjelasan Nira adalah nyanyian nina
bobok yang menyeramkan.
“Tuhan,
biarlah ini menjadi sebatas luka. Luka yang disebabkan untuk sebuah rindu.
Rindu yang ternyata terlarang. Untukku, bahkan untuknya,” akunya dengan berat
hati.
Bagaimana
tidak? Jika penjelasan Nira-lah yang menyebabkan semua itu. Penjelasan akan
sebuah pengakuan dari seberapa-penting-sebuah-sendal-selop-berwarna-coklat itu.
Lagi-lagi,
telinganya mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang membuat ia harus menyumpal
lubang telinga dengan kata-kata lain. Kata-kata yang akan mengobati kegusaran
dan kegelisahannya. Kata-kata itu....
“Sendal selop ini
sangat penting buat aku. Karena sendal selop inilah jati diriku, Mas. Aku ndak
mau membohongi Mas Yuga yang sudah baik sama aku. Karena aku tahu, Mas Yuga itu
orang baik. Tapi, aku cuma minta, setelah ini jangan jauhi aku. Selop ini
sebenarnya bukan milik Bapakku, tapi milikku. Ya, benar, aku sebenarnya seorang
pria. Aku trasn-gender. Aku seorang waria. Dan aku bangga karena aku mengkuinya
dari lubuk hatiku yang paling dalam. Karena itu, aku akan terus menyimpan selop
ini, agar aku selalu ingat siapa aku, darimana aku dan seberapa besar rinduku
pada diriku yang dulu. Meskipun, sesungguhnya inilah aku.”
****