Feb 26, 2015

Untuk Sebuah Rindu

UNTUK SEBUAH RINDU

Tak....tik....tak....
Jarinya terus saja mengetuk-ketuk meja. Kegusaran selalu menjadi hal paling dibencinya. Beberapa orang tengah sibuk hilir mudik dihadapannya. Dan, itu semakin membuatnya tak suka.
“Apakah kalian bisa berhenti!” bentaknya, sembari memijat kening yang kian pening.
“Eemm, maaf Pak,”ucap salah seorang di depannya.
Yuga Pranoto menarik napas dalam-dalam. Berusaha agar setiap kegusaran dan sakit kepalanya berkurang. Di kibaskan tangannya, meminta orang-orang di ruangan itu keluar. Dia sungguh ingin sendiri.
“Bapak memanggil saya?” sapa seorang pria muda berusia tak lebih tua darinya dengan seragam OB.
“Aahh, Juki, saya mau minta bantuan kamu,” katanya, setengah memaksakan sedikit senyum yang sungguh hambar.
Juki terlihat risih saat ia harus duduk di atas kursi bosnya. Lebih-lebih, jas yang dia kenakan terlihat sedikit kebesaran. Ingin rasanya ia melepas pakaian mewah itu. Tapi, cepat-cepat ia menepis keengganannya itu. “Ini tugas, Juk. Tugas!” katanya dalam hati.
****
Seorang pria, berpakaian OB duduk termenung di bawah pohon matoa. Tangannya yang kotor serta tubuh yang bau. Seolah menerangkan jika pria itu baru saja berkutat dengan sesuatu yang tak jauh dari tempatnya beristirahat. Dan itu adalah SAMPAH!
“Tidak ketemu juga?” tanya seorang perempuan muda yang tiba-tiba membuatnya gelagapan.
Perempuan muda itu menenteng ember kecil berisi air dan beberapa gelas berukuran sedang. Sedangkan di punggungnya, sebuah tenggok[1] penuh botol-botol cairan berwarna putih pucat, kuning dan hitam serta hijau.
“Eemm, belum,” jawab Yuga salah tingkah.
Perempuan di hadapannya menurunkan barang bawaannya, duduk didekatnya. Yuga menatapnya lekat-lekat. Bukan berarti dia tidak pernah bertemu dengan perempuan yang lebih cantik dari perempuan disebelahnya. Melainkan, karena ia merasa nyaman saat bersamanya.
Nira. Perempuan itu bernama Nira. Perempuan ayu yang berprofesi sebagai tukang jamu keliling. Awal peretemuan Yuga dengan Nina buka karena ketidak sengajaan. Ardi, sahabat Yuga, mengenalkannya pada perempuan itu. Saat Yuga bertandang ke kost Ardi, saat itulah ia dikenalkan dengan Nira. Kost meraka termasuk kost bagi kaum perantau. Tak banyak yang mampu dikatakan Yuga, saat berkenalan dengan Nira. Perempuan asli Solo itu mengadu nasib ke Jakarta bermodalkan satu hal “Keahlian membuat jamu”. Dengan laba yang tak seberapa, kost yang bagi Yuga tak lebih luas dari kamar mandinya. Nira mamapu membuat seorang Yuga mengaguminya.
“Kalo ndak ketemu, ya sudah, ndak apa-apa,” ujar Nira pasrah.
“Pasti ketemu,kok,” sanggah Yuga menyakinkan.
“Tapi, kalo aku boleh tahu, memangnya seberapa penting sendal selop itu buat kamu?” tanya Yuga hati-hati. Takut menyinggung, barangkali begitu.
Nira tertunduk. Kulitnya yang kuning langsat, bercahaya saat sinar matahari yang garang menyeruak, menyelinap meneranginya dari balik dedaunan matoa.
“Ya, penting. Tapi, kalo tetap ndak ketemu, aku sudah ihklas, kok, Mas,” jawab Nira dengan senyuman yang khas.
Yuga menelan ludah. Tak ingin. Sungguh tak ingin ia mendapatkan senyuman dari perempuan ayu itu. Tapi, senyuman yang menyakitkan baginya. Bagaimana tidak? Jika dibalik senyuman itu, sepasang mata di atasnya meredam kesedihan.
Sedikit ragu-ragu, Yuga mencari-cari sesuatu di balik semak-semak. Tangannya menyentuh kantong plastik. Lamat-lamat, ia kembali menatap Nira. Menyentuh tangan mulus yang setiap hari meracik dan menjajakan jamu.
“Ini....” ucapnya tersenyum jail.
Nira menyerngitkan dahi. Matanya menatap kantong plastik. Dengan hati-hati, di bukanya kantong plastik itu. Wajahnya seketika berubah cerah. Senyum yang khas itu kembali mengembang. Yang jelas, tidak dengan mata kesedihan. Melainkan kebahagiaan.
“Lho, kata mas tadi ndak ketemu? Mas Yuga ini jail tenan[2] ternyata,” ujarnya tak menyangka.
Sedangkan Yuga hanya mampu meringis salah tingkah sembari menggaruk kepalanya meski tak gatal.
“Aku ngak tega liat kamu sedih. Maaf, ya. Tapi, apa sendal selop itu begitu penting?” Yuga kembali bertanya.
Nira memandang lekat-lekat sendal selop berukuran 42 berwarna coklat itu. Ia tersenyum, mendekat sendal selop itu penuh arti.
****
Yuga mengetuk-ketukkan jari di atas meja. Itulah kebiasaannya jika sedang gusar. Di hadapannya, Juki berdiri bak patung. Ia baru saja menyuguhkan secangkir kopi hitan untuk Yuga. Kalo boleh ditilik dari riwayat kerja dan kedekatannya dengan Yuga, bisa dikatakan jika Juki adalah salah satu orang kepercayaan Yuga. Meskipun pangkatnya hanya sebatas OB.
“ Mas Yuga baru kesal sama orang, ya?” tanyanya setengah menebak-nebak.
Juki menghela napas saat pertanyaannya tak direspon. Perlu diketahui juga, di hadapan orang lain atau saat tidak berdua dengan Yuga, panggilan Bapak ke Yuga berubah menjadi Mas. Kata Yuga, biar lebih akrab.
“Juk, kamu pernah patah hati?” Yuga tiba-tiba saja bertanya hal yang aneh menurut Juki.
“Woo, ya pernah, Mas. Malah sering. Terakhir kali, sama Mbak Mitha,” cerocos Juki antusias saat menyebut nama Mitha yang tak lain adalah sekertaris Yuga.
Yuga mendengus. Memijat keningnya. Kemudian melambaikan tangannya, menyuruh Juki keluar dari ruangannya. Dalam hatinya, ia merutuk. Bertapa beruntungnya Juki. Setidaknya begitu.
Otaknya tiba-tiba saja bagai layar tancap. Memutar ulang adegan seminggu yang lalu, saat ia bertemu dengan Nira. Masih begitu jelas bagaimana perempuan itu tersenyum, tatapan serta candanya. Tapi, sesering ingatan itu muncul, sebanyak itu pula sakit yang di dera harinya.
“Apakah ini hanya sebatas kerinduan? Kerinduan yang terlarang!” keluhnya setengah mengumpat.
****
Seminggu sebelumnya....
Yuga menelan ludah mendengar penjelasan Nira. Hatinya sontak terasa ngilu. Kepalanya berdenyut-denyut melebihi denyut jantungnya yang bagai genderang. Napasnya tersengal, sesak dan menyakitkan.
Nira masih memandang selop coklat ditangannya. Wajah ayunya terlihat seolah tak bersalah dengan penjelasan yang baru saja ia lontarkan pada Yuga. Aneh memang, tapi itulah Nira.
Usai menemui Nira dan memberikan selop coklat yang pernah ia pinjam gara-gara sepatunya hilang sewaktu di kost Ardi, Yuga merasa ada yang begitu kosong tapi juga berlubang di dadanya. Matanya tak kunjung terpejam meski ia saat ini berada di atas tempat tidur dengan AC menyala.
Telinganya bergurindam. Berulang-ulang. Seolah-olah, penjelasan Nira adalah nyanyian nina bobok yang menyeramkan.
“Tuhan, biarlah ini menjadi sebatas luka. Luka yang disebabkan untuk sebuah rindu. Rindu yang ternyata terlarang. Untukku, bahkan untuknya,” akunya dengan berat hati.
Bagaimana tidak? Jika penjelasan Nira-lah yang menyebabkan semua itu. Penjelasan akan sebuah pengakuan dari seberapa-penting-sebuah-sendal-selop-berwarna-coklat itu.
Lagi-lagi, telinganya mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang membuat ia harus menyumpal lubang telinga dengan kata-kata lain. Kata-kata yang akan mengobati kegusaran dan kegelisahannya. Kata-kata itu....
“Sendal selop ini sangat penting buat aku. Karena sendal selop inilah jati diriku, Mas. Aku ndak mau membohongi Mas Yuga yang sudah baik sama aku. Karena aku tahu, Mas Yuga itu orang baik. Tapi, aku cuma minta, setelah ini jangan jauhi aku. Selop ini sebenarnya bukan milik Bapakku, tapi milikku. Ya, benar, aku sebenarnya seorang pria. Aku trasn-gender. Aku seorang waria. Dan aku bangga karena aku mengkuinya dari lubuk hatiku yang paling dalam. Karena itu, aku akan terus menyimpan selop ini, agar aku selalu ingat siapa aku, darimana aku dan seberapa besar rinduku pada diriku yang dulu. Meskipun, sesungguhnya inilah aku.”
****



[1] Bakul/keranjang yang terbuat dari anyaman bambu
[2] Benar-benar/sungguh-sungguh.

7 comments:

  1. Komen dari aku nih yaa..
    Masih typo,

    Trs penggunaan di- sbg preposisi dan di- sebagai imbuhan masih ada yg ketuker..
    Dihadapannya,
    didekatnya,
    disebelahnya,
    itu harusnya di tulis dipisah karna menunjukkan tempat
    Jadi di hadapannya, di sebelahnya, dll

    Di kibaskan, ini harusnya disambung karna di- di situ sebagai imbuhan

    ReplyDelete
  2. Oiya, trs komen yg sama kayak yg di komenin buat cerpen aku kemaren,
    Perkataan yg dalam hati mending di tulis miring aja, jgn di kasih kutip kayak dialog biasa.

    Trs ada lg klo dua kata digabung, dikasih awalan sama akhiran itu nulisnya digabung,
    Kata "tidak sengaja" dikasih awalan ke-, akhiran -an
    Ditulisnya jadi ketidaksengajaan..
    Sama kayak tanggung jawab di kasih per-an, jadi pertanggungjawaban..

    Itu dari aku yah, maap kalo salah..
    CMIIW :D

    ReplyDelete
  3. Nggak salaaaah... Setuju ama Joko.. Xixixixi

    Makasiiii mbak dhanik udh nyediain bahan bacaan asik...

    Komentarnya:
    1. Ending nendang
    2 Kalimat lentur
    3. Yuga kenapa naksir mbak jamu? :( kenapa nggak naksir aku aja? #eh :p
    Maksudku.. Kisah bos atau pimpinan perusahaan naksir mbak jamu agak FTV.. Tp gapapa si.. Hehe..

    ReplyDelete
  4. Aku mau ramein ah. Comment aku sama kayak yg di grup tadi. Bahasanya puitis. Aku suka. Soal diksi sama metafora udah jago deh Mbak Dhaniknya. Cuma yang agak ganjel adalah pertanyaan kenapa Yuga harus jd OB? Kalau untuk menyamakan kelas dengan Nira, gak ada penjelasan juga tentang itu dalam cerita. Jd mungkin kalau itu dihilangkan pun gak masalah...atau kalau mau ditulispun enaknya dikasih keterangan soal kenapa dia harus nyamar jd OB. Udah segitu aja, mbak dhanik...yg lain udah ditulis sm Om Joko dan TanSis...Makasi ya tulisannya udah bikin aku terkaget2 pas baca ending...

    ReplyDelete
  5. Endingnya sangat tidak terduga! Keren! Kalau boleh menambahkan, selain 'di' sebagai kata depan dan preposisi masih ada juga beberapa penggunaan tanda baca dan spasi yang kurang tepat, selebihnya keren-keren aja menurutku, digali lebih dalam lagi malah lebih baik :D

    ReplyDelete
  6. Endingnya sangat tidak terduga! Keren! Kalau boleh menambahkan, selain 'di' sebagai kata depan dan preposisi masih ada juga beberapa penggunaan tanda baca dan spasi yang kurang tepat, selebihnya keren-keren aja menurutku, digali lebih dalam lagi malah lebih baik :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, ini ending yang bagus! Tapi, maaf mba dhan, proses menuju ending-nya kurang bisa aku nikmati, mungkin karena masih banyak typo. Oh iya, entahlah apa cuma aku yang merasa kalau kalimat satu sama kalimat lainnya terkadang gak sinkron, gak nyambung, bahkan dalam satu kalimat pun terasa ada unsur yang gak pas penggabungannya.

      Delete