“Banguuunn! Banguuunn! Kita udah sampe nih!”
Teriakan Arman membangunkanku yang tertidur lelap di atas tumpukan
tas carrier. Sambil
menahan kantuk, aku dan kawan-kawan lainnya bersiap merapikan carrier masing-masing. Satu persatu carrier diturunkan dari mobil pick up yang sudah membawa rombonganku
melintasi jalanan dari Jogja menuju tempatku saat ini, Desa Bambangan, desa
yang terletak di kaki Gunung Slamet.
“Dingin…” sahut Nila sambil menahan tubuhnya yang gemetar
diterjang udara dingin.
“Ya iyalah dingin, ini kan masih subuh, Nil. Untung mobil pick up nya dikasih atap terpal semalam, kalo
enggak pasti dingin banget nih semalaman di mobil terbuka gini,” sahutku sambil
menurunkan carrier ukuran jumbo milikku dari mobil.
Dengan kapasitas 80 liter, carrier-ku
ini lebih sering disebut kulkas oleh kawan-kawanku yang lain.
Setelah selesai menurunkan semua barang dari atas mobil, kami
bergegas menuju basecamp pendakian yang sebenarnya merupakan
rumah dari salah satu warga. Sengaja kami berangkat tengah malam agar bisa tiba
subuh di basecamp, karena
biasanya saat akhir pekan akan banyak pendaki yang ingin menjajakan kakinya di
gunung tertinggi di Jawa Tengah ini.
Gak terasa, udah tiga tahun dari pendakian terakhirku di sini,
suasananya masih sama
“Heh! Ngelamun aja
lo.” Nila membuyarkan lamunanku
“Hehe, lagi
menikmati udara pagi aja nih, seger banget,” balasku.
Nila adalah
satu-satunya wanita dalam rombonganku. Dia adalah adik dari sahabatku, Arman.
Rombongan pendakian kali ini terdiri dari enam orang. Aku, Arman, Nila, Vito,
Gerry, dan Sony sebenarnya berasal dari Jakarta. Kami semua bertemu di kampus
yang sama, salah satu universitas swasta di Jogja. Untuk mengisi long weekend, Arman mengajak
kami untuk melakukan pendakian. Awalnya aku sempat ragu, pengalaman terakhirku
di Gunung Slamet ini sangat tidak menyenangkan. Tapi Arman berhasil membujukku
untuk ikut.
Sambil berkemas
ulang, kami memesan nasi rames di warung depan basecamp. Di depan sudah mulai
berdatangan rombongan pendaki lain yang baru turun dari mobil sewaannya. Aku
mengeluarkan sandal gunung kesayanganku dan menyelipkan sandal jepit yang
kupakai dari rumah semalam.
***
“Selamat ulang tahun, Ryo,” bisik Viona saat aku memejamkan mata
di hadapannya.
“Sekarang buka
mata kamu, Yo, aku punya kejutan buat kamu,” bisiknya lagi.
Perlahan aku
membuka mata. Di hadapanku, Viona menyerahkan sebuah kantong jaring berwarna
hitam kepadaku.
“Waahh, makasih
banyak, sayang. Kok kamu tau sih aku lagi pengen beli sandal gunung?” tanyaku
sambil melemparkan pelukan untuk Viona.
“Aku tau kamu lagi
seneng banget naik gunung, makanya aku ngasih kado sandal gunung ini buat
kamu.”
“Hehe, makasih ya,
aku sayang kamu,” bisikku pelan di telinga Viona.
***
Tepat pukul enam kami memulai pendakian, diawali dengan berdoa
bersama yang dipimpin oleh Arman. Perjalanan dimulai dengan melintasi sungai
yang sudah mengering tak jauh dari gerbang masuk pendakian. Di depannya,
hamparan kebun sayur warga sudah menanti untuk memanjakan mata. Dari kejauhan
terdengar kicauan burung yang menjadi musik pengiring dalam perjalanan. Jalur
pendakian Gunung Slamet via Bambangan ini terdiri dari sembilan pos pendakian,
jarak yang terjauh adalah dari gerbang pendakian menuju pos satu sampai dengan
pos empat. Masing-masing pos dapat ditempuh dalam waktu satu setengah sampai
dua jam perjalanan. Selebihnya, dari pos empat sampai puncak tidak terlalu
jauh, sekitar lima belas sampai tiga puluh menit untuk masing masing posnya.
Kami berencana untuk bermalam di pos tujuh, dengan estimasi perjalanan ditambah
waktu istirahat, kami akan tiba di sana pukul empat sore agar dapat menikmati
keindahan semburat jingga di atas awan.
Matahari tepat
berada di atas kepala saat aku dan rombongan tiba di pos tiga. Papan nama
bertuliskan ‘Pos Cemara’ di salah satu pohon menjadi tanda di pos ini. Kami
berencana untuk beristirahat agak lama di pos ini. Aku mengeluarkan kompor portable dan nesting1 TNI dari dalam carrier,
sementara kawan yang lain menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak.
“Nil, ini
sayurannya tolong dibersihin dulu dong,” sahut Vito sambil menyerahkan
sekantong sayuran dari carrier-nya.
“Oke, ini aku bawa
sosis juga nih, mau digabung di sayur sop atau mau di goreng aja?”
“Digoreng aja deh,
kayaknya lebih enak,” balas Sony dan Gerry hampir bersamaan.
***
“Akhirnya
kenyang juga.” Gerry mengelus perutnya lalu merebahkan tubuh di bawah pohon.
“Eh, jangan tidur, kita gak boleh
lama-lama di sini, nanti kesorean loh,” dengus Arman
“Iya, iya, bentar doang kok, itu yang
lain juga keliatannya capek,” balas Gerry yang tak lama kemudian tertidur
pulas.
“Dasar tukang tidur! Hhaha,” pekik
Nila sambil melepaskan tawa dari bibirnya.
Kami baru melanjutkan perjalanan
pukul setengah dua siang setelah membangunkan Vito, Gerry dan Sony yang
terlelap. Aku memasukan peralatan masakku ke dalam carrier. Perjalanan dari pos
tiga ini sudah mulai menanjak. Dominasi hutan hujan tropis yang rapat
melindungi kami dari sengatan sinar matahari.
“Yuk, lanjut jalan!” sahut Arman
penuh semangat.
***
“Lihat!
Itu pos enam!”
“Ahh, akhirnyaaa,” seru kami hampir
berbarengan
Sedikit terburu-buru, Nila berlari
memasuki pos enam. Belum sempat ia merebahkan tubuhnya pada batang pohon
tumbang di tengah lahan kosong di pos enam, tiba-tiba ia meringis kesakitan.
“Aduh! Kakiku…,” jerit Nila menahan
sakit.
“Kakinya kenapa, Nil?” Sony yang
biasa membawa kotak P3K berlari menghampiri Nila diikuti kawan-kawan yang lain.
“Aduh, tiba-tiba kram nih,” jawab
Nila.
“Sepertinya itu gara-gara lo
tiba-tiba langsung lari tadi, Nil. Makanya pelan-pelan aja dong,” ucap Sony
sambil memijit kaki Nila.
“Iya, iya, terlalu semangat sih
pengen istirahat,” balas Nila.
Akhirnya kami memutuskan untuk
beristirahat sejenak di pos enam. Sambil rebah di batang puhon tumbang, aku
mengeluarkan beberapa camilan untuk dimakan bersama. Di kejauhan terlihat awan
mendung yang mulai menggantung di bibir langit. Dingin mulai merambat di
sekujur tubuh.
“Lihat! Itu elang jawa!” pekik Vito
menunjuk seekor burung yang sedang terbang rendah di sekitar pepohonan.
“Waah, iya, itu elang jawa, kita
beruntung banget, jarang-jarang loh bisa ngeliat langsung elang jawa di sini,”
jawab Arman masih sambil mengagumi burung berwarna hitam pekat itu.
“Eh, udah kesorean nih, lanjut jalan
yuk. Kaki kamu udah gak sakit kan, Nil?” ucap Arman sambil berdiri dan
merapihkan carrier-nya.
“Iya, udah gak sakit lagi kok, Kak.
Yuk jalan, semoga gak hujan ya”
“AAMIINN,” teriak kami bersamaan.
***
“Man, itu pos tujuh udah keliatan, gue sama Vito duluan ya, biar
bisa langsung masang tenda,” sahutku sambil mendahului rombongan.
“Siaaap, sekalian
masak yah, jadi pas gue sampe sana tinggal makan, hahaha,” canda Arman.
Dengan sedikit
berlari aku dan Vito menuju ke tanah lapang di pos tujuh. Tanjakan dengan
kemiringan hampir tujuh puluh derajat menuju pos tujuh cukup menguras tenaga.
Aku terus berusaha naik sambil menahan beban carrier di pundak dibantu Vito yang jalan
di depanku.
Sesampainya di pos
tujuh, aku langsung mengeluarkan tenda dari dalam carrier. Vito membantu
mendirikan tenda besar dengan kapasitas enam orang itu di samping bangunan shelter dari kayu beratapkan seng yang ada di
tengah lahan pos tujuh. Tak lupa juga aku membuat saluran air di sekitar tenda
agar air tidak masuk ke dalam tenda saat hujan turun.
Dingin semakin
erat memeluk tubuh. Aku mengeluarkan jaket hangat dan langsung memakainya. Tak
lama kemudian kawan-kawan yang lain pun tiba di pos tujuh.
“Yo, keluarin sleeping bag lo, cepetan!
Si Nila kedinginan,” ucap Arman sambil menuntun Nila masuk ke dalam
tenda.
Aku bergegas
mengambil sleeping bag dari dalam carrier dan menyerahkannya pada Arman.
“Kenapa si Nila,
Man?” tanyaku dengan nada khawatir sambil menyerahkan sleeping bag ke Arman.
“Dari tadi pas
pisah sama lo dan Vito dia udah diem aja, menggigil, katanya dia kedinginan
banget, padahal jaketnya udah cukup tebal loh,” jawab Arman sambil menyelimuti
Nila.
“Aku gak apa-apa
kok, Kak,” sahut Nila dengan tubuh yang masih gemetar kedinginan.
Deg!
Pikiranku
tiba-tiba melayang ke masa lalu. Masa yang membuatku akhirnya memutuskan untuk
tidak melakukan kegiatan pendakian lagi.
***
“Ayo Vi, semangat! sebentar lagi sampai di pos tujuh, tuh atap shelter-nya udah keliatan,”
seruku menyemangati Viona yang tampak sangat kelelahan.
“Tunggu bentar,
Yo, aku kedinginan,” balas Viona.
“Makanya mesti
tetap gerak, Vi, biar tetap hangat. Langit sudah mulai gelap nih, kalau kamu
istirahat di sini nanti malah makin dingin loh,” kataku terus menyemangati agar
tetap bergerak.
Dingin memang
sudah mulai menyelimuti sejak di pos lima tadi. Apalagi ditambah dengan badan
kami yang sedikit basah karena gerimis membuat dingin semakin menusuk. Kami
harus segera tiba di pos tujuh dan mendirikan tenda agar bisa segera mengganti
pakaian yang basah.
Setelah susah
payah melewati tanjakan, akhirnya kami tiba juga di tempat tujuan kami. Aku
langsung mendirikan tenda yang hanya cukup untuk kami berdua. Sudah ada
beberapa rombongan pendaki lain yang mendirikan tenda di sini, untungnya aku
hanya membawa tenda kecil yang tak banyak memakan tempat untuk mendirikannya.
Viona semakin
menggigil, aku menyuruhnya masuk tenda dan mengganti pakaiannya yang basah.
Sambil menunggu di luar tenda, aku memasak air untuk membuat minuman hangat dan
merebus mie instan untuk kami berdua. Karena udara dingin yang semakin menusuk,
akhirnya kami makan di dalam tenda. Setelah membereskan perlengkapan masak, aku
masuk ke dalam tenda dan menyuapi Viona yang terus saja sembunyi di balik sleeping bag tebalnya, berharap dingin tak mampu
menyusup memeluknya.
Malam semakin
larut, rombongan pendaki lain pun berlindung di dalam tendanya masing masing.
Di luar hanya terdengar desir angin yang menyapa lembut rerumputan. Viona
mulai terlelap di balik sleeping
bag-nya, aku memeluk erat tubuhnya agar tetap hangat. Tak lama kemudian
kami berdua pun tertidur.
Bulan mulai tinggi
saat tiba-tiba viona membangunkanku.
“Yo, bangun, gerah
banget, Yo,” Bisik Viona sambil mengguncang tubuhku.
“Gerah apanya,Vi?
Ini dingin banget, yuk mendingan kita tidur lagi, baru jam dua belas malam loh
ini,” balasku sambil melirik ke arah jam tanganku.
Paginya, aku
sangat shock melihat kondisi Viona. Tubuhnya sangat
dingin. Kulitnya sudah terlihat pucat, cenderung membiru. Dia tetap saja
terlelap meskipun sudah kuguncang tubuhnya untuk membangunkan. Aku panik lalu
berlari ke luar tenda mencari pertolongan dari pendaki lain.
“Toloong! Tolong!
Tolong teman saya,” pekikku sambil berlari menghampiri sekelompok pendaki yang
sedang menyiapkan sarapan.
“Ada apa, Mas?”
Tanya salah satu pendaki.
“Tolong teman saya
kedinginan, badannya pucat, dari tadi dia gak bangun-bangun,” jawabku panik.
Sambil setengah
berlari kami bergegas menuju tendaku yang berada tak jauh dari sekelompok
pendaki itu. Salah satu pendaki mulai memeriksa kondisi Viona. Dia hanya diam
membatu. Tak bergerak.
“Maaf, Mas, temannya sudah gak bisa ditolong, ia meninggal karena
hipotermia2. Saya akan
coba memanggil bantuan tim resque di bawah untuk membantu evakuasi,”
ucap si pendaki kepadaku yang mematung di samping Viona.
“Jangan tinggalin
aku, Vi! Jangan pergi! Maaf aku gak bisa jaga kamu.” Isak tangisku pecah
memandang Viona yang terbujur kaku tak bernyawa.
“Bodoh! Harusnya
aku gak ngajak kamu ke sini, harusnya kita bisa bersenang-senang di tempat
lain, maaf, Vi.”
***
“Cepat suruh Nila untuk mengganti pakaiannya, baju basah akan
membuat dia kedinginan,” sahutku sambil mengisyaratkan pada kawan yang lain
untuk keluar dari tenda.
“Tolong kumpulin
semua botol minum yang kalian bawa!” Perintahku pada kawan yang lain.
Aku mulai
memanaskan air dan memasukkannya ke dalam botol yang sudah terkumpul. Suasana
tiga tahun lalu seperti terulang kembali. Namun, kali ini aku tak mau kejadian
yang sama terulang pada Nila. Aku harus berusaha menolong dia.
“Sepertinya Nila
terkena gejala hipotermia,” bisikku pada kawan yang lain.
“Jangan sampai dia
tahu, biar dia gak panik,” tambahku.
Setelah Nila
selesai mengganti pakaiannya, aku dan Arman masuk ke dalam tenda membawakan air
hangat di dalam botol. Arman memberikan jaket hangatnya pada Nila, Aku mulai
menyelimuti Nila dengan sleeping
bag. Untuk menjaga suhu tubuhnya tetap hangat, botol-botol berisi air
hangat aku selipkan ke dalam sleeping
bag.
“Makasih yah, Kak.
Makasih juga, Yo, aku udah gak apa-apa kok,” ucap Nila dengan sedikit berbisik.
“Iyah, dek. Kakak
akan terus ngejaga di samping kamu kok,” sahut Arman sambil memeluk tubuh
adiknya yang masih gemetar kedinginan.
Aku memberi
isyarat pada arman agar terus mengajak Nila bicara untuk menjaganya tetap
sadar. Sebab, kalau sampai ia tertidur, ia bisa dengan cepat kehilangan panas
tubuhnya.
Saat suhu tubuh
Nila sudah dirasa normal, Arman memperbolehkannya istirahat. Aku mulai
memanaskan air lagi untuk mengganti air di dalam sleeping bag Nila yang mulai dingin. Setelah
mengganti air di dalam botol, aku menyerahkannya lagi pada Arman untuk
diselipkan kembali di sleeping
bag. Tak lama kemudian Nila
mulai tertidur pulas. Aku dan kawan-kawan lain pun akhirnya bisa tenang.
***
Aku terbangun pukul empat pagi lalu memegang kepala Nila untuk
memastikan ia baik-baik saja. Lega rasanya saat tahu suhu tubuhnya sudah
normal, meskipun Nila masih sedikit menggigil karena dingin yang terus menusuk
kulit. Aku merapatkan jaket hangatku dan melangkah keluar tenda. Dengan memakai
sandal gunung kesayanganku, aku duduk di dekat sisa-sisa api unggun pendaki
lain semalam. Angin dingin menyapa wajahku perlahan. Semburat jingga mulai
mengintip di cakrawala. Aku hanyut dalam lamunanku sambil menatap sepasang
sandal gunung yang aku kenakan. Sandal gunung yang menjadi pemberian terakhir
Viona. Sandal gunung yang selama ini kusimpan dalam gudang karena dengan
melihatnya hanya akan memunculkan kenangan pahit tentang Viona.
Maafin aku, Vi,
aku gak bisa jaga kamu…
***
Matahari semakin tinggi. Sehabis sarapan, aku dan Arman akhirnya
memutuskan untuk menyudahi pendakian hanya sampai di pos tujuh ini. Kami
bergegas merapihkan barang-barang kami dan bersiap untuk turun.
“Kak, aku gak enak
kalau kita gak jadi ke puncak Cuma gara-gara aku. Aku udah sehat kok, Kak,”
Kata Nila mencoba meyakinkan Arman.
“Kita gak apa-apa
kok, Dek. Lagian tujuan utamanya kan bukan puncak, tujuan utama setiap
pendakian adalah supaya kita bisa pulang ke rumah masing-masing dengan selamat.
Itu yang terpenting,” jawab Arman.
“Iya, Nil, bener
kata kakak lo. Lagian kan lo harus cepet di rawat lebih lanjut di bawah nanti.
Jangan maksain, bahaya tau,” tambahku.
Akhirnya kami
semua turun. Ada perasaan lega di hatiku. Lega karena aku bisa menyelamatkan
Nila sebelum terlambat. Lega karena aku tak mengulang kesalahanku untuk kedua
kalinya.
Maafin aku,
Viona…
Sunrise di balik rerumputan pos 7 Gunung Slamet (sumber: Doc. Pribadi) |
Tangerang, 24 Februari 2015
*Cerpen ini merupakan salah satu hasil Arisan Cerpen dengan tema 'Sandal'
-----------------
1.Nesting, rantang dari besi berbentuk kotak yang dipakai sebagai wadah untuk masak (ada juga bentuk persegi panjang dan bulat).
2.Hipotermia, ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan panas tubuh atau menyesuaikan suhu tubuh dengan udara dingin.
Asik nih baca cerita Om Jok, :D Jadi pengen mendaki gunung beneran. Tapi kalo amatir dan jarang olah raga gimana yah? >.<
ReplyDeleteBtw, itu kondisi akhir Nila jangan dikasi tau dulu padahal mah... biar aja kita pada nebak, si Nila nanti nasibnya sama kayak viona atau nggak... hehe...
Ayooo..nulis lagi..
hahahaa.. asik kok naik gunung beneran.
Deleteasal persiapannya matang sih insya Allah aman aman aja..
Yang sering kecelakaan di gunung kan gara-gara terlalu ngeremehin, jadinya naik tanpa persiapan yang matang..
makasihh masukannyaaa, nanti aku coba perbaiki :D
Komennya cuma atu.. Typonya pak joko.. Hihihi...
ReplyDeleteAyo bikin diary travelernya Jok, sayang ih bisa nulis dan sering jalan2 tapi gak jadi buku. Semangaaaat!!
ReplyDeletebaru sempet baca cerpen om Joko... Mo komen apa ya... seru cerita travellingnya, om Jok...
ReplyDeleteTapi klimaksnya salah tempat memang seperti komen tante sis... dan perasaan si Ryo juga kurang digali *menurutku*. Padahal seru tuh kalau pembaca bisa ngerasain gimana sih ketakutan Ryo sama kondisi Nila yang sama seperti Viona.
Luput sekali di 'di goreng' hayoooo! =)) Lalu ada satu kata 'menjajakan' yang menurutku lebih baik diganti dengan 'menjejakkak' atau 'menjajaki' sekalian, karena 'menjajakan', kan, artinya menjual. Aneh aja orang-orang berlomba-lomba ke puncak gunung buat jualan kaki. Satu lagi yang agak mengganggu adalah pengaturan align yang tidak dibuat rata kanan-kiri.
ReplyDeleteCeritanya sendiri keren, jenis cerita yang hanya bisa dibuat oleh orang-orang yang beneran pernah naik gunung. Tapi di situ juga menurutku tidak ada salah menambahkan kenapa seseorang bisa terkena hipotermia di pendakian untuk pembaca awam, sedikit aja tak masalah karena kalau tanpa penjelasan pembaca (atau seenggaknya aku) tidak terlalu penasaran dengan akhir cerita karena terlalu sibuk memikirkan penjelasannya.
Wuih, ini cerita nyata lu jok?
ReplyDelete