Ada garis diametral yang memisah yang menyingkurkan
keduanya. Desa adalah perawan yang belum teraba tangan-tangan jahil. Ia simbol
kepolosan, kesederhanaan dan kemandirian. Namun, desa, juga terkadang gambaran
keterbelakangan, kekalahan manusianya menaklukan roda zaman. Akibatnya, ia
tersudutkan dengan kata-kata “kamu ndeso”.
Lain halnya dengan kota. Ia adalah tempat
berkumpulnya manusia “berpendidikan”. Bertemunya manusia yang suka
bereksperimen dalam segala hal: budaya, politik, kesenian, kesehatan bahkan
seks. Kota menjadi laboratorium mini yang semua dimasukan dalam botolnya
kemudian digojak. Di kota, kita menemukan, riuh di luar tetapi sepi di dalam.
Kota itu hingar bingar bersama, tetapi sunyi dalam relung rumah tangga. Kota,
dalam kacamata desa, merupakan tempat yang menyeramkan: sekali masuk engkau
terjerat dan berubah karenanya. Kota itu penuh monster yang menjelma liluput yang memikat.
Itulah tangkapan saya ketika seorang teman
menyodorkan draf novelnya. Dalam draf yang masih “mlampo” itu, ia ingin melakonkan
kisah seorang gadis desa yang “ngangsu
kaweruh” di kota. Sebagai manusia yang sejak kecil hingga remaja berkutat
dengan kehidupan desa, dengan segala atribut normanya, merasa canggung
menghadapi “riuh-rendah”nya kota. Si gadis harus setia dengan norma “desa”,
tetapi juga terus tergenjet dengan alunan-alunan rayuan kota yang begitu
memikat.
Sang gadis yang lagi ranum dadanya harus berperang
dengan suara batin yang mendapat perapian dari nasihat orangtua, “Jangan pacaran
selama kuliah!” Saya kira ini peringatan yang wajar dan sangat umum. Pacaran
dalam pandangan orangtua menjadi biang keladi “bubrah”nya para pencari ilmu. Selain itu, ada semacam ketakutan
melihat gaya pacaran anak sekarang yang mengaburkan kejelasan: antara sudah
menikah dan masih pacaran seakan sama. Apalagi di kota yang notabene sifat saling
“asah asuh” sudah memudar. Ditambah dengan jauh jangkuan pengawasan orangtua,
tentunya ini menambah kekuatiran tersendiri.
Apakah orangtua tidak belajar mempercayai sang anak?
Bisa saja. Meskipun, “anakmu bukanlah anakmu” sebagaimana syairnya Kahlil
Ghibran, tetapi setiap “anak polah bopo
kepradah”. Orangtua tetap saja tidak bisa lepas tangan, cul setir, membiarkan anaknya menyusuri
dunia yang akan dijamah. Walaupun, bisa saja, secara intelektual sang anak lebih unggul
dibanding orangtuanya. Akan tetapi, orangtua sudah lebih lama merasakan asinnya
samudera kehidupan dengan segenap iming-imingnya. Setinggi title, gelar
akademik, tetapi selama sang anak masih menyandang “anak”, ia selalu di bawah
pengawasan orangtua. Sebagai anak, apakah kita legowo?
Berangkat dari desa dengan bekal nasihat, memegang
panji kepercayaan dan rasa ingin membahagiakan orang tua seakan ajian ampuh
menaklukan beringasnya kota. Perlu diingat, kota mempunyai “ajian jala sutra”
yang mampu melempuhkan “aji-ajian” yang belum matang, apalagi aji-ajian
tersebut dulu diperoleh karena “terpaksa”. Dengan mudahnya ia akan mlempem dengan ajian jala sutranya kota.
Jala sutra begitu lembut menyerang, tidak frontal dan tidak kelihatan perkasa.
Ia menyusup, perlahan mempengaruhi syaraf-syaraf, membiarkan Anda bertarung
sendiri dengan aji-ajian yang Anda miliki. Setelah terkecoh, jala sutra mak bles melumpuhkan daya pertahanan
itu. Lemas, tak berkutik dengan digdayanya kota.
Begitu pula yang dialami sang perempuan: satu, dua
atau bahkan empat semester ia masih bisa bertahan dengan hiruk pikuknya kota,
tak tergoda dengan keglamouran kota. Panji-panji masih dipegang kuat. Ibarat antivirus,
ia masih baru dan ces pleng
menanggapi virus-virus yang berdatangan. Akan tetapi, “rasa kesepian” tak mampu
ia tahan. Apalagi, ketika masih di desa, rasa kekeluargaan, regejekan sambil petan adalah sarana mengungkapkan unek-unek. Sekarang, di kota, yang ramai tetapi sepi di kedalamannya,
ia tak kuat. Kanan-kiri, temannya punya pasangan yang dilahatnya begitu mesra,
menjadi tumpuan curhat. “Alamak, alangkah
nikmatnya,” pikir sang gadis.
Mula-mula, ia canggung mendulit “pacaran”. Ia hanya
ingin “ndulit sak kuku ireng”nya, tak
lebih. Sebab, ia masih memegang “wanti-wanti” orangtua. Lama-lama, ia menambah
dosis “ndulit”nya, yang semula sepucuk kuku kini bisa satu sloki: hingga mabuk
kepayang. Wanti-wanti mati. Orangtua hanya lamunan nun jauh di pojok jagat yang
terasing, katrok.
“Bukankah hidupku adalah hidupku. Hidup adalah
pilihan: salahkah jika aku memilih? Untuk apa aku lahir jika aku tak
menggenggam kehidupanku sendiri? Milikku bukan sekadar wadag tetapi juga jiwa,
cita-cita, perjalanannya. Inilah kebebasan!”
Ia menikmati kenikmatan kota yang baru sejengkal
itu. Dalam menikmati “pilihan”nya, ia serahkan “mahkota kulit” kepada sang
kekasih. La da lah, begegek ugeg-ugeg,
waduh angger genduk sing ayu dewe, kowe wis keblinger!” kata Semar. Tapi nasi telah basi, hendak diapakan
lagi? Sesal. Berhenti di sini draft novel tersebut.
Desa:
Perawan; Kota: Apalah Arti Perawan?
Desa. Air sungi gemercik mengalir di sela bebatuan.
Sawah-sawah menghampar hijau atau mengemuning padinya. Kicaun burung sambil
jumpalitan di pepohonan. Kabut pagi tipis membalut angkasanya. Manusianya sumeh tak henti jika berpasasan satu
sama lain, meski belum kenal. Pagi-pagi, laki-lakinya membawa cangkul di
pundaknya. Perempuannya membawa snek
(tenggok) di pinggangnya, melangkah dengan senyum menatap masa depan di
hamparan sawahnya. Jika senja menyapa, mereka berkumpul ditemani dengan lampu teplok atau jika tepat purnama mereka ndeder ing pelataran sambil menikmati
kopi dan berbagai rebusan polo pendemnya.
Anak-anak bermain petak umpet di bawah siraman purnama atau sekadar mendengar
dongeng dari orangtuanya.
Gambaran yang begitu elok, tak ada gejolak politik
yang dirembuk, tak ada diskusi liberalisme, demokrasi, golongan sesat dan tidak
sesat, up date barang-barang mewah,
riuh rendahnya kehidupan selebritis. Yang ada tinggal semacam klangenan, dunia sendiri. Apakah ini bentuk
kebebalan dengan dunia luar, sikap apatis terhadap perkembangan zaman? Ataukah,
mereka memang tak ingin merembuk hal-hal yang tak ada sangkut pautnya dengan
kehidupannya, meski pengaruh itu ada?
Desa memang unik. Ia bagaikan sesosok makhluk yang
menggenggam diam, tak dicuatkan ke permukaan. Loro lopo berani ditanggung, meski dalam keheningan diam-diam desa
bisa ngentut yang baunya bisa memosak-masikan
ketentraman bernegara. Manusia yang menghuni tentu paham betul arti demokrasi,
bahkan mereka sudah menjalaninya sebelum kata demokrasi merambah Indonesia.
mereka mempunyai mekanisme memilih “tetua” desa dengan cara mufakat, dan ini sistem
yang afdhol daripada sekadar memilih
gambar yang tak dikenal. Mereka bukannya tak mengenal kehidupan di luar, tetapi
dunia luar ia tempatkan sebagai kabut tipis yang menutupi gunung kesejatian
kehidupan di luar.
Kota. Jalan-jalannya mirip sungai desa: kendaraan
yang terus mengalir tanpa henti. Apabila pagi-pagi, kita bisa menemukan orang
yang “lari pagi”, senam untuk menjaga kebugaran. Matahari setinggi tombak,
orang-orang dandan rapi dengan dasi bergelantungan di leher, membelah dada:
memesona. Menggambarkan keanggunan dan kecendikian pikirnya. Makannya teratur
dengan munculnya istilah-istilah keren breakfast,
lunk, dinner kadang juga ditambah party.
Sungguh asyik. Jika malam jelang melajang: lampu-lampu kota menyorot tajam
seakan mengawasi penghuninya, mengalahkan sayunya ranum rembulan. Kafe-kafe
hidup, tempat hiburan berbinar. Setiap orang mempunyai tempat yang sesuai
dengan kebutuhannya.
Di tempat-tempat itu segalanya bisa terjadi dan
dibahas: tentang penting dan bahayanya liberalisme, demokrasi yang la raiba fih, tentang harga kebutuhan
pokok yang naik, kehidupan selebritis A yang tersandung kasus atau yang lagi
naik daun. Semua dibahas dengan jeli, rapi dan apik. Sebab setiap orang
menggenggam ilmunya, berpredikat professional. Segalanya harus gamblang,
kehidupan harus diselami: hidup yang tak dimengerti adalah hidup yang tak layak
dihidupi.
Kota tak
pernah sepi, meski malam mulai melarut dalam pagi. Manusianya seakan-akan lahir
terus menerus: yang satu tidur, yang lainnya bangun. Kota tak pernah sepi,
meski kelihatan sepi sebenarnya ia tak pernah sepi. Ada saja klesik-klesik dalam ruang pribadi, di
hotel, di kafe yang temaram lampunya. Kota dalam keadaan waspada. Jika ada yang
kecolangan, entah dalam bentuk apa, itu hanya kelalaian atau sekadar
mempersilakan “maling” mengambil sedikit madunya kota.
Itulah kehidupan kota yang boleh jadi dalam
pandangan manusia desa agak sedikit menakutkan, agak sedikit samar
identitasnya. Tetapi, kota benar-benar bukan monster, bukan samar, hanya saja
begitu banyak manusia yang menghidupinya—dengan segela kepandaian, keinginan,
hasrat hidup layak—maka kota sulit didefinisikan “jenis kelamin”nya dengan
utuh.
Hubungan desa dengan kota bak bola lampu dengan
anai-anai: selalu memikat. Ia simbiosis yang bukan mutualisme, parasatisme, maupun
komensialisme: ia punya nama sendiri yang berubah-ubah. Kota selalu menjadi
madu manusia desa untuk mendatanginya, meski sedikit takut. Kota bagaikan
lampunya desa yang mengundang untuk datang, karena mencorongkan sinar terang
kemajuan meski mampu membakar. Mungkin yang perlu dipersiapkan desa adalah bagaimana
caranya melindungi diri agar jangan sampai terbakar setelah menyentuh bola
lampu kota yang “panas” itu.
Desa dengan gemercik sungainya, kabut tipis yang
menutupi cakrawalan paginya, yang sumeh
manusia-manusianya, mungkin saja hari ini kita menemukan dalam keadaan yang
berbeda. Desa telah menyerupai anak bajangnya kota, sebab pemerintah
memperhatikan desa dengan rencana “mbangun
deso”. mungkin pemerintah menganggap desa selama ini bayi yang tertidur
pulas dan itu berarti harus segera dibangunkan.
Kota, dengan kendaraan di jalan-jalannya bagaikan
alur sungai di desa, dengan keriuhan malamnya tanpa henti, mungkin saja, hari
ini, Anda menemukan kota berusaha menjadi desa karena terlalu penat menanggung
kehidupan, desakan keinginan yang tanpa henti sehingga sadar “tubuh” punya
mekanisme metabolisme yang tidak bisa terus-terusan digenjot.
Tetapi, bisa saja hari ini dan besok, kita tak akan
lagi menemukan desa dan kota. Sebab, desa telah berubah menjadi kota dan kota
bertiwikrama menjadi hiperkota. Jika
kita kangen dengan itu semua: hanya bisa menulis keelokan di lembaran kertas
kemudian larut di dalamnya. Tanpa sadar, kita tidur di atasnya dan meneteskan
liur membanjiri “gambaran” desa dan kota yang tak rampung kita tulis.
Khoirul Anwar
Penikmat kopi dan kretek
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteboleh ngirim cerpen ??
ReplyDelete