Kris.
“Bisakah
kau menunggu? Tenang saja, aku akan kembali padamu.” Tangan besarnya membelai
rambutku.
“Baiklah,
aku akan menunggu. Tapi, kau harus berjanji kalau kau akan kembali.”
Lelaki
yang memiliki hidung mancung itu tersenyum, mata birunya berbinar. “Iya, aku
berjanji.” Ia menunjukkan kelingkingnya di depan wajahku. Kutarik ujung-ujung
bibir, lalu menautkan jari kelingking pada kelingkingnya.
Ya
Tuhan, bisakah kau menghentikan waktu sebentar saja?
***
“Kris!
Tidak! Beginikah caramu mencintai seseorang?”
“Iya,
begini caraku mencintaimu, Rore.”
“Kris,”
***
Semua
sudah sepuluh tahun. Aku masih menunggu. Begitu bodohnya aku membiarkan dia
pergi dan membiarkan diri untuk menunggu. Begitu bodohnya aku karena terlalu
percaya padanya. Mana janjinya? Dia tidak kunjung kembali. Atau tidak akan
pernah kembali?
Apakah
dia tahu? Aku telah menolak ratusan atau mungkin ribuan lelaki yang menyatakan
perasaan cintanya padaku. Semua hanya demi dia, Kris. Orang yang dulu selalu berada di sampingku.
Mengusap air mataku ketika aku menangis. Orang yang selalu melakukan hal-hal gila
demi membuatku tertawa. Orang yang tidak pernah meninggalkanku ketika aku sedang
banyak masalah, merawatku ketika aku sakit, menuliskan catatan pelajaran ketika
aku tidak masuk sekolah. Orang yang membuatku jatuh ke cinta dan tidak bisa
berpaling pada orang lain.
Kupandangi
sebuah foto yang berbingkai ungu. Di dalam foto itu, dia memamerkan gigi
putihnya yang berderet rapi. Tangan kanannya memegang kepalaku, sementara
tangan kirinya mencubit pipiku. Kami terlihat bahagia. Padahal, itu adalah hari
terakhir kita bertemu. Dan, foto itu diambil sebelum Kris kehilangan kedua
adiknya.
Ah,
seandainya saat itu aku tidak membiarkannya pergi, aku tidak perlu menunggu
seperti ini. Aku tidak perlu merasa kecewa karena dia belum menepati janjinya.
Tidak perlu ada rasa rindu yang tinggi yang perlu aku rasakan. Seandainya waktu
bisa diulang kembali. Seandainya.
“Aurore,”
Karena aku terlalu rindu padanya, aku sampai mendengar dia sedang memanggil
namaku.
“Aurore,”
Aku menutup telinga. Kris tidak ada di sini
“Aurore,
lihatlah seseorang yang di belakangmu.” Aku menoleh. Aku sampai tidak percaya
pada penglihatanku. Itu Kris. Dia masih sama. Mata birunya, hidung mancungnya.
Tidak ada yang berubah selain tinggi badannya.
“Kris,
apakah itu kau?”
Kris
tersenyum. Senyum yang sama seperti sepuluh tahun lalu. “Tentu saja. apakah kau
tidak berniat untuk memelukku?” Dia merentangkan kedua tangannya.
Aku
segera berdiri dan menghambur memeluknya. Kuletakkan kepalaku di dada bidangnya.
Ada yang aneh. Aku mencium aroma bahan kimia yang menempel pada jas yang
dikenakannya. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.
Tangannya
membelai rambut cokelatku. “Aku sangat rindu denganmu, Aurore. Apakah kau
sekarang sudah menikah?”
Kulepaskan
pelukan, “Apa maksudmu? Aku belum menikah! Aku menunggumu kembali, Kris!”
“Kau
menepati janjimu, Aurore. Ayo, kita jalan-jalan sebentar untuk melepas rindu.
Bagaimana jika kau kubelikan es krim rasa coklat? Kau masih menyukainya,
bukan?”
Kami
berjalan berdampingan. Dia menggenggam tanganku sangat erat. Seolah aku akan
pergi jauh darinya. “Tanganku sakit, Kris.” Dia melonggarkan genggamannya.
“Maaf,”
Kedai es krim sudah di depan mata. Langkah
kaki kami terhenti. “Kau tunggu di sini ya, Aurore. Akan kubelikan es krim
favoritmu.”
Aku
mengangguk. Lagi-lagi, aku harus menunggu. Aku merasa ada yang berbeda dari
Kris. Aku tidak tahu apa yang berbeda. Entahlah, ini sulit untuk dijelaskan.
Aku hanya merasa, aura Kris berbeda. Saat dipelukannya tadi, aku tidak
merasakan kehangatan apa pun. Tidak sama seperti dulu.
Ah,
aku hampir lupa kalau itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Wajar saja kan, jika
seseorang berubah? Sepuluh tahun itu, bukan waktu yang sebentar, bukan? Atau,
perubahannya itu hanya perasaanku saja?
“Ini
es krim kesukaanmu,”
Aku
menoleh, kemudian tersenyum, “Terimakasih Kris. Kau tidak lupa apa yang
kusukai.”
“Itu
wajar Aurore. Mana mungkin aku melupakan kesukaan orang yang kucintai.”
***
Kepalaku
pusing. Tanganku terikat. Hei, aku ada di mana? Bau apa ini? Ini seperti bau
bahan kimia. Perlahan-lahan mataku
terbuka.
“AAAAAAAAA”
Aku menjerit sejadi-jadinya. Ini mimpi kan? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
Aku yakin, ini pasti hanya sebuah mimpi. Bangun, Rore. Bangun. Kupejamkan mata
erat-erat, berusaha untuk tidur. Dan saat bangun, aku sedang berada di rumah.
Aku yakin, ini pasti hanya sebuah mimpi.
***
Aduh,
tanganku masih terikat. Tidak! Ini bukan mimpi. Tidak mungkin. Tidak mungkin.
Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang mengikatku di sini? Aku tidak ingin
membuka mata. Pemandangan yang ada hidapanku benar-benar bisa membuat jantungku
copot.
“Aurore,
bangunlah. Aku tahu kau sudah sadar.” Itu, itu suara Kris.
Benar,
itu suara Kris. Aku pasti sudah aman. Kris pasti sudah menyelamatkanku. Ia
hanya lupa untuk melepaskan ikatan tanganku. Tapi, bau ini masih sama seperti
tadi. Kuberanikan diri untuk membuka mata pelan-pelan.
“AAAAAAAA”
Ruangan
ini masih sama seperti tadi! Tidak mungkin!
“Jangan
takut Aurore. Ini aku, Kris. Kenapa kau menjerit?”
Bodoh!
Bagaimana aku tidak menjerit? Aku melihat Kristal dan Kristie. Mereka berada di
sebuah lemari kaca. Aku yakin, aku tidak salah lihat. Itu jelas Kristal dan
Kristie. Adik kembar Kris yang meninggal sepuluh tahun lalu. Kristal meninggal
karena terkena kangker. Sementara Kristie meninggal bunuh diri karena depresi
kehilangan kembarannya. Yang di hadapanku ini pasti adalah mayat. Mayat yang
diawetkan.
Siapa
yang melakukan ini? Kris, tidak mungkin. Ia tidak mungkin tega melakukan semua
ini. Kris adalah orang yang sangat baik hati. Ia tidak mungkin sekejam ini.
Lalu, kenapa Kris ada di sini?
“Jangan
menangis, Aurore. Kau tidak perlu takut. Kris pahlawanmu, ada di sini.” Ia
mengusap air mataku.
“Kris!
Siapa yang melakukan semua ini? Siapa yang membawaku kemari?”
Pria
yang memiliki hidung mancung itu mundur beberapa langkah. “Aku.” Jawabnya
sambil tersenyum.
“Tidak!
Jangan berbohong, Kris!”
Pria
bermata biru itu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang menyeramkan. Ini bukan Kris.
Kris tidak mungkin seperti ini! Bagaimana bisa, ia melakukan semua ini?
“Tentu
saja aku tidak berbohong. Aku yang melakukan semua ini. Aku melakukan semua ini
karena aku mencintai Kristal dan Kristie. Dan, kau Aurore,” telunjuknya diarahkan padaku. “Akan bernasib
sama seperti mereka.
“Kenapa
kau melakukan ini padaku, Kris? Aku telah menunggumu bertahun-tahun! Aku
mencintaimu dengan sepenuh hati! Dan inikah jawabannya?”
“Aku
melakukan ini karena aku mencintaimu Aurore,”
“Kris!
Tidak! Beginikah caramu mencintai seseorang?”
“Iya,
begini caraku mencintai seseorang.”
“Kris,”
buliran-buliran bening keluar dari sudut mataku. Pandanganku buram. Hatiku
hancur sehancur hancurnya. Tubuhku lemas. Keringatku bercucuran. Ketakutan,
kekecewaan, kesedihan. Semua berbaur menjadi satu. Ini tidak mungkin, tidak
mungkin.
“Sebentar
lagi kau akan mati. Aku sudah memasukkan racun dalam tubuhmu. Es krim yang kau
makan tadi, ada racunnya. Kau akan menjadi milikku seutuhnya, Aurore.”
Tidak
mungkin.
“Jika
kau berpikir aku telah berubah, kau salah besar! Aku memang sejak dulu seperti
ini. Hanya kau saja yang tidak mengetahuinya.”
Tidak
mungkin.