No Good in Goodbye
Oleh Anis Stiyani
“Sebaiknya...
kita sampai di sini saja...” Bisikan lirih yang nyaris serupa desauan angin di
akhir musim kemarau membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. Tak kupedulikan
lagi aliran air yang terus menderas di bawah jembatan tempatku berpijak sejak
setengah jam yang lalu bersamanya.
“Apa?”
timpalku dengan suara tercekat, seakan tiba-tiba saja aliran sampah yang
berputar-putar di pilar-pilar beton jembatan berpindah ke tenggorokanku.
Bukan
kali pertama, kalimat seperti ini meluncur dari bibir merah cherry miliknya.
Tapi tetap saja, rasanya sama. Sama-sama menakutkan. Aku takut kehilangan dia
setiap waktu.
“Bukankah
kita sama-sama tahu, sejak awal ini salah?” ada getar yang sempat tertangkap
oleh telingaku di ujung kalimatnya. Ada apa ini? ini hanya main-main, kan?
“Begitu?”
tukasku berusaha tenang. Dia mengangguk mantap, lalu tanpa melihatku lagi, dia
melangkah pergi.
“Goodbye...”
ujarnya lirih yang masih bisa tertangkap telingaku.
Aku
masih terdiam melihat punggung kecilnya yang mulai menjauh dari penglihatanku.
Aku masih tak bergerak, masih berharap bahwa dia akan berbalik, lalu berlari ke
pelukanku sambil meneriakan ‘April mop!!!’ untukku. Tapi dia tetap
melangkah sampai tiba di ujung jembatan. Saat itulah aku sadar, ketakutan
terbesarku terjadi, dia benar-benar pergi.
Bodoh,
bulan April sudah berlalu.
***
“Anye...”
bisikku lirih. Sambil menoleh kiri-kanan, memastikan orang-orang tak terganggu
dengan suaraku.
Gadis
dengan kaca mata baca berbingkai bulat itu masih saja diam, larut dalam buku
setebal balok es di hadapannya. Rasanya gemas sekali, ingin menendang buku itu
jauh-jauh dari hadapan gadis di sebelahku ini.
“Anye...”
kunaikkan lagi suaraku, beberapa desibel, berharap dia terusik dan menoleh ke
arahku. Tapi yang terjadi sebaliknya, dia masih tetap fokus dengan buku sialan
itu, sementara aku dihadiahi tatapan ganas dari pengunjung perpustakaan. Good
Job, Bima!
Dengan
sisa-sisa kekesalan yang kupunya, kutarik paksa buku tebal yang masih saja
digeluti gadis ini. Wajahnya menoleh kepadaku. Oke, sepertinya ini tidak bagus.
Dia seperti induk ayam yang merasa terganggu karena anaknya diambil. Aku
meringis sekilas,
“Anye,
kan?” tanyaku memastikan.
Gadis
di sebelahku ini merengut sadis, lalu menarik bukunya yang berada dalam
kekuasaanku. Dia terlihat mengaduk-aduk isi tasnya, lalu setelah menemukan
sebuah pembatas buku dari kertas papirus dengan gambar kucing berwarna biru,
diselipkannya pembatas buku itu di tempat terakhir ia membukanya tadi.
“Bukan.”
Ia menyahut singkat. Menutup bukunya, berlalu pergi dengan menyandang tas
ransel hitam yang terlihat penuh itu. Uh, pasti berat sekali. Aku
meringis dalam hati.
“Anyelir
Aprilia, benar?” seruku ketika keluar dari ruang baca perpustakaan pusat, masih
dengan mengekor gadis yang tengah berjalan cepat sambil mendekap buku tebal
tadi di dadanya.
“Apa?”
sentaknya dengan nada sinis setelah berbalik menghadapku. Aku meringis
menyambuti wajah tidak bersahabat yang ia tampilkan. Kaca mata burung hantu
yang tadi dipakainya sudah tidak ada di sana.
“Benar
kan, Anyelir Aprilia?” tanyaku sekali lagi. Hanya ingin memastikan. Gadis di
hadapanku ini mengangguk sekilas, lalu membalikkan tubuhnya lagi, hendak pergi.
“Lalu
kenapa diam saja saat kupanggil tadi?” gumamku menjajari langkahnya. Kulirik
sekilas, dia nampak memutar bola matanya jengah. Hei, bola matanya berwarna
coklat terang, seperti karamel.
Kurasa
manis dan meleleh adalah perpaduan yang pas untuk kami saat ini. Dia yang
manis, berhasil membuatku meleleh.
Heish,
what a creepy I am!
“Memanggil?
Kapan?” tanyanya sambil menelengkan kepala.
“Tadi.
Anye... seperti itu,” ujarku kembali mempraktikan caraku memanggilnya.
“Oh,
itu. Kukira kau sedang memanggil orang lain,” tanggapnya santai lantas kembali
melangkah.
“Jadi,
bagaimana orang-orang biasa memanggilmu?” kejarku, masih penasaran.
Dia
menaikkan sebelah alisnya, sekilas. Terlihat menimbang sebelum menjawab
pertanyaanku tadi, “April.” Lalu dia berlalu begitu saja dari hadapanku.
***
Adakah
hal bagus dari kata sebaiknya jika diikuti kata berpisah setelahnya?
Sampai bolak-balik seribu kali mengepel Tembok Besar China pun, aku tidak bisa
mendapatkan korelasi yang baik antara keduanya.
Aku
masih ingat dengan raut wajahnya beberapa malam yang lalu, saat pertemuan
terakhir kami. Saat dengan tanpa perasaan dia mengakhiri hubungan kami. Tunggu,
hubungan macam apa yang tengah kubicarakan sebelumnya? Tsk, melihat reaksinya
saat berada di sisiku selama ini, sepertinya hanya aku saja yang menganggap
bahwa hubungan ini nyata, bahwa rasaku nyata—nyata-nyata bertepuk sebelah
tangan, sial!
“Boy...
aku takut bola matamu menggelinding ke mangkuk bakso-ku. Please,
temui dia jika kau merasa perlu...” dengus Mikail terlihat bosan.
Aku
menggeleng lemah, menggeser-geser layar ponselku secara acak, tanpa minat.
Tatapan mataku masih sama, mengarah pada satu titik—seperti saat aku dan Mikail
masuk ke sini setengah jam yang lalu—di sudut kantin. Titik yang membuatku
lemah dan kuat di saat yang bersamaan. Titik yang membuatku merasakan sakit dan
bahagia secara bersamaan. Anyelir.
“Kukira
melihat seorang Aryabima jatuh cinta adalah hal paling menjijikan di dunia.
Ternyata melihatnya patah hati pun lebih menjijikan!” gerutuan Mikail semakin
menjadi.
Aku
hanya mengangguk membenarkan. Yah, aku memang sedang patah hati. Patah hati
karena gadis yang tak pernah menganggap keberadaanku di saat orang lain
berlomba-lomba menoleh ke arahku.
“Kukira
memilikinya adalah satu-satunya cara agar aku terhindar dari kesakitan dan
patah hati...”
“Dan
kau sukses mematahkan hatimu sendiri karena keputusan bodohmu. Komitmen terlalu
rumit untuk ukuran bocah seperti kita. Di situ letak kesalahanmu,” tukas Mikail
sinis.
“Aku
tidak pernah merasa bahwa ini salah...”
“Yah,
kau hanya mencintai orang yang kurang tepat, jika itu yang ingin sekali telinga
panjangmu dengar!” geram Mikail terdengar jengkel.
Mikail
dan mulut pedasnya. Dua perpaduan yang pas. Dan dia selalu benar, mungkin aku
hanya menjatuhkan pilihan pada orang yang kurang tepat. Tapi—hei, siapa juga
yang dapat menyetir hatinya? Siapa yang dapat menentukan akan menjatuhkan
hatinya pada siapa? Mikail sialan! Sepintar apapun dia dalam urusan berlogika,
hatinya tumpul. Dia belum pernah berada dalam posisiku saja.
Prang!
Bunyi
benda pecah belah beradu dengan keramik—yang
tertangkap ekor mata—membuatku mengalihkan perhatian sepenuhnya pada
gadis yang telah kuamati sejak tadi. Anyelir terlihat sedang berjongkok memunguti pecahan mangkuk dan
gelas di sekitar mejanya. Dari tempatku duduk, bahunya terlihat bergetar
sesekali.
Anye,
kau baik-baik saja, kan?
***
“Anye...”
bisikku usil pada gadis yang tengah sibuk menikmati batagor di piringnya.
Pipinya terlihat menggembung, lucu sekali.
“Jangan
memanggilku seperti itu!” sungutnya dengan wajah tertekuk sebal.
“Mamamu
bilang aku boleh memanggilmu seperti itu...” bantahku yang membuat dia semakin
geram.
“Tapi
aku tidak mau!”
“Kenapa?”
pancingku lagi.
Saat
ini kami sedang berada di taman belakang rumah Anye. Disini terdapat sebuah
danau kecil buatan yang dinaungi oleh sebuah pohon besar dan dikelilingi
bangku-bangku kecil, tempat aku dan Anye menghabiskan batagor.
“Aku
tidak suka.” Kutarik pipi Anye yang sedang menggembung penuh makanan dengan
gemas.
“Bima,
sakiiit!” jeritnya keras, menjauhkan pipinya dari jangkauan tanganku. Sementara
aku masih sibuk tergelak sambil menikmati wajah cantiknya yang terkena sinar
matahari. Kukira visualisasi pada iklan pembersih wajah di TV itu terlalu
mendramatisir, hanya sebatas hal-hal persuatif yang berfungsi untuk menarik
minat pasar. Tapi sepertinya, wajah cerah Anye yang tertimpa sinar matahari
benar-benar mengalihkan duniaku. Heish!
“Tanganmu
kotor, bodoh! Kalau sampai besok pipiku berjerawat, kukutuk kau jatuh cinta
padaku!”
Ada
kemungkinan, dia hanya bercanda saat mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi
cadaannya sama sekali tidak lucu. Candaan yang sekadar bernilai ‘hanya’ itu
malah membuat sesuatu di sudut hatiku merasa terusik. Kurasakan tawaku sudah
berhenti sejak tadi, berganti tegang yang tiba-tiba menjalar di sekujur
tubuhku. Aku merasa seperti maling yang tertangkap basah.
Aku
berdehem untuk menetralisir degup jantung yang mulai menggila. Sepertinya darah
tiba-tiba saja berlomba mengalir ke sana, memprotes untuk segera di pompa ke
seluruh tubuhku dalam waktu bersamaan. Kurasakan tubuhku menghangat, sementara
keringat dingin mengalir dari pelipisku.
“Sepertinya
kutukanmu bekerja lebih cepat,” ujarku tenang, berusaha mati-matian menjaga
suaraku agar tidak bergetar karena terlalu gugup.
“Ha?”
raut terkejut milik Anye membuat sebuah keberanian menyelusup pelan dalam
diriku.
“Aku
jatuh cinta padamu, sekarang,” lanjutku kemudian dengan senyum lebar.
“Kau
bercanda...”
“Kau
pacarku sekarang...”
“Kau
mabuk ya?”
“Jika
meminum segelas air jeruk bisa membuat orang mabuk, anggap saja begitu.”
“Kau
gila?”
“Kau
tidak tahu? Ini semua akibat kutukanmu beberapa saat yang lalu,” tanggapku
sambil mengulum senyum di bibir.
“Tidak
mungkin kutukanku benar-benar mengenainya, kan?” gumam Anyelir lebih kepada dirinya sendiri. Aku terkekeh
geli.
“Aku
serius dengan ucapanku, Anyelir. Kita berpacaran sekarang.”
“Coba
saja kalau kau bisa membuatku jatuh cinta padamu!” dengusnya terlihat kesal dan
merona pada saat yang bersamaan.
“Akan
kucoba. Dengan senang hati.”
***
Gerakan
tangannya mematung di udara. Pecahan gelas terakhir yang dia pegang terlepas
begitu saja, jatuh terhempas bersama pecahan-pecahan gelas lain dalam nampan di
hadapan kami. Dia terlihat menyedihkan, dengan kantung hitam tebal yang
menggantung di bawah mata. Wajahnya terlihat lebih cekung dari terakhir kali
kami bertemu.
“Kau
baik-baik saja?” dapat kurasakan nada cemas yang tertelan di ujung
tenggorokanku. Pahit. Pahit rasanya melihat dia tidak seperti yang kuharapkan.
Jelas, dia tidak baik-baik saja.
“Bi...
Bima?” sapanya tercekat. Wajahnya pucat sekali. Jangankan merona, aku tidak
yakin ada darah yang mengalir di sana sekarang.
“Kau
terluka?” tanyaku tenang sambil meneliti jari-jarinya. Jari-jari kurus itu
terlihat pucat dan sedikit bergetar. Kuraih tubuhnya yang terasa semakin kurus
itu ke dalam rengkuhanku. Kubimbing dia berjalan meninggalkan kantin tanpa
menggubris tatapan penuh tanya dari beberapa pengunjung.
“A...aku
baik-baik saja,” ujarnya terbata saat kami sudah berhasil keluar dari area
kantin kampus. Dia terlihat seperti enggan berdekatan denganku.
“Aku
bisa melihatnya,” tukasku sinis. “Aku lihat kau baik-baik saja. Terlalu
baik-baik saja hingga aku bisa melihat wajah mayat hidupmu,” lanjutku dengan
nada semakin sinis. Bahkan aku tidak dapat mengendalikan nada dingin yang
keluar dari mulutku.
“Tentu.
Aku sedang mencobanya. Aku baik...”
“Hentikan
semua omong kosongmu! Siapa yang sedang coba kau bohongi, hah?!” bentakku
murka. Wajahku terasa panas. Seharusnya tidak begini, tapi aku bahkan tidak
bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku terlalu kecewa padanya. Hatiku terlalu
kecewa. Terlalu sakit.
“Diriku
sendiri...” gumamnya lirih. Isakannya lolos begitu saja. Isakan itu serupa
dengan belati. Belati tumpul dan berkarat yang mencoba mengoyak hatiku. Bahkan
dengan pacarku yang sebelumnya aku tidak pernah
merasa seperti ini. Aku tidak pernah merasa seterluka ini saat melihat
wanita menangis di hadapanku.
“Nice.
Nice try...” tukasku muram. “Tidak usah bersusah payah membodohi dirimu
sendiri. Tanpa melakukannya pun kau sudah terlihat bodoh. Jangan membuatku
menyesal karena pernah menjatuhkan pilihan padamu.”
“Memang
itu yang sedang kulakukan. Membuatmu menyesal karena telah menyeretku dalam
permainan konyolmu.” Apa? Dia bilang ini semua permainan konyol?
“Konyol?”
mataku menyipit tidak suka mendengar perkataannya barusan. Oke, ini terlalu
kejam. Kata-katanya terlalu kejam untuk ukuran gadis mungil nan manis.
Hah!
Bahkan aku masih memikirkan betapa mungil dan manisnya gadis dengan mulut
beracun di hadapanku ini. Sialan sekali kau Aryabima!
“Apalagi
yang bisa dikatakan untuk perjalanan kita?” raungnya tiba-tiba membuatku terlonjak. Dia belum pernah menunjukkan
sisinya yang seperti ini kepadaku. Dia yang hilang kontrol dan tak terkendali.
“Selamat!
Kau sudah berhasil membuatku jatuh cinta padamu! Aku bodoh ya? Nice try, Bima!” dia membentakku. Tapi bentakkannya
membuat sekujur tubuhku menghangat.
“Lalu
apa salahnya dengan jatuh cinta padaku? Kenapa kau memilih berpisah? Apa
berpisah membuatmu lebih bahagia?”
“Kuharap
kau tidak melupakan posisimu...” lirihnya tanpa menjawab pertanyaanku. Diusapnya
kasar air mata yang meleleh di pipinya. Pipinya sudah terlihat merah sekali.
Aku ketakutan setengah mati kalau-kalau pipi itu akan lecet, melihat betapa
kasarnya dia mengusap pipinya. Air mata sialan!
“Apa?
Posisi apa?” tanyaku emosi. Gadis ini benar-benar memberikan efek terlalu besar
pada sistem kerja tubuhku.
“Kau
sepupuku,” ujarnya bergetar.
“Sepupu
jauh. Kita tidak memiliki ikatan darah sama sekali!” kukepal tangan kuat-kuat,
berusaha merendamkan emosi yang menggelegak, mendidihkan tiap tetes darah dalam
tubuhku. Aku benci dia mengungkit ini lagi.
“Kau
akan menjadi Kakak Iparku sebentar lagi, kalau kau lupa,” gumamnya lirih.
Terdengar seperti sayatan pilu. Kemudian
ia berlalu dari hadapanku. Terlihat mantap, tanpa menoleh sedikitpun.
Kupandang
nanar punggung rampingnya yang terlihat bergetar sesekali. Dari luar, mungkin
dia terlihat kuat dan berkilau seperti kaca yang berhasil keluar dari mesin
furnish bersuhu di atas delapan ratus derajat celcius, yang mampu beradaptasi
secara cepat dengan air dingin. Secepat ia leleh, secepat itu juga dia beku.
Mungkin dia terlihat tegar dan kuat, tapi dia lupa. Sekuat-kuatnya kaca, dia
akan hancur juga saat dibanting.
Jadi...
kita benar-benar berpisah sekarang? Lalu kenapa harus berpisah kalau ternyata
kita saling mencintai? Untuk kebaikan yang seperti apa perpisahan kita ini?
kita berkorban untuk siapa?
Langkahnya
semakin lama semakin menjauh. Menyadarkanku, semuanya takkan lagi sama setelah
hari ini. Hidupku tak lagi sama. Ada lubang besar yang menganga di tengah
dadaku. Lubang besar yang membuatku sulit bernapas. Lubang besar itu tadinya
diisi oleh segumpal hatiku. Saat gadis itu beranjak, kusadari hatiku ikut pergi
bersamanya. Aku mati. Tak yakin akan cinta lagi.
*End*
Sekaran,
2 Juni 2015
No comments:
Post a Comment