Déjà vu dalam Hujan
Oleh :
Refa Ans
Semakin jelas seseorang
mengetahui apa yang akan terjadi padanya, maka semakin tidak jelaslah
kecepatannya untuk berubah pikiran.
***
Semua sudah berhasil diingatnya. Ya, semua, tentang ingatan janggal
yang menghantui, tentang pemuda itu, dan kisah yang kembali berputar. Kisah
yang sebetulnya sempat terjadi, tetapi tertidur sekian lama. Yang masih
dipenuhi ketidakpastian perasaannya.
Kini, kisah itu kembali ke dalam ingatan masing-masing dari mereka.
***
Tetaplah hidup, Jade.
Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih begitu. Aku mencintaimu.
Lagi-lagi ada suara di dalam kepalanya. Suara yang sama, yang
selalu menghantuinya. Kilasan-kilasan tali bersimpul lasso yang menggantung dan bergoyang turut menghantuinya. Apa itu?
Hal itu, hal yang sudah menghantuinya sampai saat ini.
***
“Jadi, selama ini aku tidak cantik untukmu, Nate, sehingga
kaubiarkan tentang pernikahan itu?” tanya seorang gadis dengan kesal. Di
pelupuknya kini sudah menggenang airmata. Iris cokelatnya kini menatap penuh
selidik, menuntut tentang jawaban atas pertanyaan barusan. Rambut pirangnya
dibiarkan tergerai.
“Kamu selalu salah mengerti, Jade.” Pemuda itu berjalan mendekat, tangannya
terangkat untuk membelai surai pirang si gadis. Berharap dengan begitu ia bisa
menenangkannya dari berita pahit tadi. Ia menelan ludah yang seketika menjadi
sangat sulit untuk masuk ke batang kerongkongan. Mendadak rasa cairan saliva di mulutnya menjadi sepahit
berita itu. “Aku selalu mencintaimu, Jade, hanya saja begitulah yang harus
kau—juga aku—terima.”
Buliran bening yang tadi menggenang langsung meluber. Luluh.
Menganak sungai di kedua pipi gadis itu. Ia lalu memeluk pemuda itu dengan
erat, dan menumpahkan segala kesah di pelukan itu.
“Aku tidak ingin dinikahkan dengannya, Nate. Aku hanya ingin
bersamamu.”
***
Siapa itu Jade?
Berkali-kali gadis berambut pirang itu mencari tahu nama yang terus
berkelindan di kepalanya. Sampai saat ini, ia tidak pernah mengerti alasan nama
itu terselip dalam bayang-bayang hidupnya. Memang ada teman sekolahnya yang
bernama Jade ketika masih berada di sekolah dasar dulu, tapi sama sekali tidak
ada hubungan dengan kelindan nama di benaknya itu.
“Jody, berhenti, jangan biarkan hal itu semakin lama semakin
menguasaimu.” Ia mempercepat langkah di koridor sekolah yang semakin lama
semakin ramai di jam pulang sekolah ini.
***
“Kita harus mengakhiri semuanya, Nate.” Dengan tatapan kosong gadis
berambut pirang itu berujar lantang. Pikirannya sudah tidak jelas ke mana
arahnya. Kantung matanya kini tercetak jelas. Yang ia tahu saat ini, ia tidak
ingin dipisahkan dari Nate. Selamanya, ia ingin hidup bersama dengan pemuda
itu, karena pemuda itulah yang dicintainya.
Hanya gumaman yang keluar dari bibir Nate. Pikirannya makin berantakan.
Tidak tahu lagi harus bagaimana. Dirinya memang mencintai Jade, sebanyak gadis
itu mencintainya. Namun, percayalah, bagaimanapun dirinya berjuang, ia tidak
bisa membuat perjodohan Jade dibatalkan hanya karena ia ingin menikahi Jade.
“Ayo kita mati bersama, Nate. Dengan begitu, kita akan selalu
bersama.”
Nate hanya terdiam ketika mendengar retasan kata dari bibir Jade
itu, meski sebenarnya ia begitu terkejut ketika mendapati Jade mengeluarkan
perkataan yang sama sekali tak diduganya. Maksudnya…,
bunuh diri?
***
Bayangan gadis itu berkali-kali terlintas di benaknya. Sudah
ratusan kali, bahkan. Ia tidak pernah tahu alasan bayangan seorang gadis pirang
yang berlari seakan meninggalkannya di tengah hutan saat hujan terus muncul di
ingatannya. Siapa dia? Apa alasannya?
Ingatan itu ada entah sejak kapan, dirinya tidak pernah tahu secara
jelas ketika ingatan itu mulai tertanam dalam memorinya. Yang ia tahu,
tiba-tiba saja ada sosok gadis pirang dengan pakaian abad ke-20 itu di otaknya,
yang sedang berlari menjauh.
Guh. Pemuda itu menghembus napas kasar sambil menyibak poni pirangnya
ke belakang.
“Mungkin ini semua hanya karena aku lelah.” Ia mengusap wajah
dengan kedua tangannya. “Ya, saat ini aku hanya lelah.” Terdapat penekanan di
kata terakhir, ia meyakinkan diri lagi sebelum kembali fokus ke buku di
pangkuannya. Angin berembus menggoyangkan rambut pirangnya.
***
Ini jalan yang mereka ambil, sebuah jalan pintas menuju akhir.
“Nate, jangan khawatir, kita pasti akan bersatu kelak jika ada
benang merah yang menghubungkan jari kelingking kita. Kita pasti akan terlahir
kembali dan bersatu,” ujar Jade pelan dengan senyum pasrah dan tatapan yang
kosong. Ia menunjukkan kelingking kanannya ke depan muka Nate persis. Sejenak
ia mengerling, melirik ke langit yang makin lama makin menggelap dan tanah
sepuluh kaki di bawahnya.
Nate tersenyum kecil mendengar perkataan Jade barusan. “Maksudmu,
reinkarnasi?” Ia tertawa miris dalam hati ketika berujar. Apa yang bisa
diharapkan dari kelahiran kembali seperti itu? Bagaimana jika keadaannya tidak
jauh berbeda dengan saat ini, apa artinya itu? Matanya memperhatikan tali yang
ada di tangannya, tali bersimpul lasso
yang tadi ia ikatkan ke pohon ini.
“Terkadang ada hal yang hanya bisa kita mengerti dengan cara
berkorban, Nate.” Seulas senyum ceria terpoles di wajah Jade membuat siapapun
yang melihat gadis itu dan Nate di atas pohon tidak akan mengira niatan mereka
untuk bunuh diri.
Pemuda itu lagi-lagi mengamati tali bersimpul lasso secara bergantian miliknya dan milik Jade. Pikirannya
berkecamuk banyak hal. Sungguhkah dirinya akan benar-benar mati nantinya?
Bagaimana reaksi dari orang tua juga teman-temannya? Lalu bagaimana berita
tentangnya yang seharusnya nanti mewarisi tahta kerajaan, apa kata rakyatnya?
Senyum yang tipis tadi menjelma menjadi senyum kecut.
“Tenang, Nate. Semuanya akan baik-baik saja.” Jade langsung menepuk
bahu pemuda yang kini duduk di dahan lain pohon tempatnya duduk. Seulas senyum
menenangkan terulas di bibir gadis bermata hijau itu. “Hanya ini yang bisa kita
lakukan jika ingin bersatu, karena kita adalah saudara sedarah. Mati dan
menunggu untuk lahir kembali.” Air mata gadis berambut pirang tersebut langsung
mengalir turun.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Nate. Ia hanya
tersenyum simpul.
“Jadi, apa kau sudah siap, Jade?”
***
Langkah Jody langsung terhenti ketika matanya tertumbuk pada pemuda
berambut pirang itu. Bayangannya semakin jelas. Kini ia bisa mengingat jelas
satu nama lain.
Nate.
Seketika ia merasa bahwa di sini hanya ada dirinya dan pemuda yang
ia tahu namanya adalah Nathan, bukan Nate.
***
“Jadi, apa kau sudah siap, Jade?”
Jade tidak langsung menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut
Nate. Ia terdiam sambil menatap kakak laki-lakinya tersebut. Ia lalu hanya
mengangguk lemah.
“Kalau begitu, ayo kita kalungkan ke leher kita.” Nate memimpin
aksi bunuh dirinya bersama sang adik yang ia cintai—bukan mencintainya sebagai
seorang adik, tapi seorang wanita. Tidak butuh waktu lebih dari sepuluh detik
untuk mendapati tali bersimpul lasso
itu terkalung di lehernya dan Jade.
Jade menatap ke lehernya yang sudah dikalungi tali tersebut. Sebentar lagi aku akan mati, pikirnya
sambil terlongo. Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang ketakutan itu,
ketakutan yang dirasakan hampir semua orang; takut akan kematian.
“Jade, mungkin ada kata-kata terakhir yang ingin kauucapkan untuk
dirimu sendiri atau untukku yang akan mendengarkannya?” Nate menoleh ke arah
Jade. Gadis itu tampak kaget ketika ia berkata seperti itu.
“Eh? Kata terakhir?” Jade tampak berpikir. Ia tidak tahu yang akan
dikatakannya sebagai kata-kata terakhir. Di kepalanya kini justru terbayang
ketidakpercayaan bahwa sebentar lagi dirinya akan bertemu malaikat pencabut
nyawa. “Tak ada, Nate.”
“Baiklah. Aku juga tidak akan mengatakan apapun.” Seulas senyum
terulas di bibir Nate. Senyum yang menenangkan, seakan mengatakan bahwa setelah
ini semua pasti baik-baik saja.
Jade justru semakin ragu untuk melakukan ini, walaupun tadi ia amat
yakin. Rasa takut semakin menenggelamkannya. Pikirannya berandai-andai makin
liar apa yang terjadi setelah ini.
“Semuanya akan baik-baik saja, kan, Nate?”
***
Pemuda berambut pirang itu hanya menatap gadis yang kini berdiri di
hadapannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia tidak mengenal Jody—gadis
itu—dengan baik. Hanya sekadar tahu sebagai teman satu angkatan.
Nathan lalu berdiri. Matanya dan Jody bertemu. Mata hijau itu
membuatnya ingat akan seorang gadis yang tersenyum begitu menenangkan. Juga
gadis yang berlari itu.
Perlahan, rintik-rintik hujan mulai turun. Keduanya hanya terdiam
di antara siswa-siswi yang berlarian untuk berteduh.
***
Pemuda itu mengangguk meyakinkan, walaupun di dalam hatinya sama
sekali tidak yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Ia hanya
ingin menuruti kemauan gadis itu, satu-satunya orang yang ia cintai. Keinginan
yang juga ia miliki, bersatu dengannya meski harus mati dulu dan menunggu waktu
bereinkarnasi.
“Kamu sudah siap?”
Jade hanya mengangguk ketika mendengar pertanyaan Nate itu. Semakin
bersiap untuk terjun ke bawah kini ia justru semakin takut akan kematian. Keyakinannya
yang tadi bulat sudah menguap entah ke mana hanya tersisa perasaan takut akan
kematian, perasaan yang tak pernah berkelindan sedikit pun di kepalanya.
Nate lalu menyodorkan tangannya, mengajak Jade untuk terjun
bersama. “Aku tahu, kaulah yang merencanakan semua ini, tapi biarkan aku yang
memimpinnya.” Seulas senyum yang manis sekali terulas di bibir Nate.
Gadis pirang itu hanya menggeleng lemah. “Tidak usah, Nate.”
“Baiklah. Kau siap? Biar kuhitung, ya.” Pemuda itu lalu menarik
napas dalam-dalam. Detik-detik terakhir ini terasa begitu lambat baginya.
“Hitungan ketiga, ya. Satu…, dua…, tiga.”
Hanya Nate seorang yang terjun. Jade justru menatap kakak
laki-lakinya dengan airmata mengalir. Dengan gesit ia kemudian turun. Berdiri
tepat di dekat kaki kakaknya yang menggantung, yang sedang meregang nyawa.
“Nate, maafkan aku.”
Hujan langsung mengguyur keduanya.
***
“Jade.”
“Nate.”
Keduanya memanggil sebuah nama yang sama sekali bukan nama mereka.
Ya, sebuah nama yang tiba-tiba terlintas dalam benak mereka. Nama yang
sebenarnya milik mereka beberapa ratus tahun yang lalu itu.
Mata mereka yang berwarna senada itu bertemu. Hujan yang kini
mengguyur sama sekali tak mengusik mereka. Mereka sama-sama berkutat dalam
ingatan yang pernah mereka miliki.
***
Nate menatap Jade nanar. Dengan napas sesak, ia mengatakan sesuatu.
Entah ini bisa disebut kata terakhir atau apa.
“Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih
begitu.” Nate menangis, tetapi Jade sama sekali tidak tahu. Tangisnya
bersembunyi di balik hujan “Aku mencintaimu.”
Jade hanya termenung sambil menangis menatap Nate ketika mendengar
perkataan itu. Rasa bersalah kini bergumpal di dadanya. Mengapa kini dirinya
yang berubah pikiran, padahal tadi ia yang merasa paling yakin bahwa ini adalah
cara terbaik?
“Maafkan aku, Nate,” ujar Jade sangat lirih, tenggelam dalam rinai
hujan yang turun dengan derasnya.
“Pergilah….”
Itu kata terakhir yang Jade dengar sebelum berlari pergi.
Melaporkan bahwa kakaknya bunuh diri, tanpa ia menjelaskan penyebab sang kakak
bunuh diri.
Itu tetaplah rahasianya dan Nate.
***
“Kau…, mengingatnya?”
“Ya,” Jody menjawab dengan mantap. Ia bisa akhirnya mendapat
jawaban dari kalimat yang selama ini terkesan mengganggunya. Kalimat yang
sebenarnya berisi penuh harapan. “Kurasa kau juga.”
“Tetaplah hidup, Jade. Tinggalkan aku sendiri jika memang kaupilih
begitu. Aku mencintaimu,” ucap keduanya bersamaan dalam keheranan.