Teganya
dia memenjarakanku di sini. Di sebuah tempat gelap bersama dengan benda-benda
berdebu yang tak berguna. Aku ditinggalkan dan dilupakan. Seperti sebuah kertas yang sudah sobek.
Sudah
lama sekali aku terpenjara di dalam sini. Sampai-sampai aku tidak tahu sudah
berapa lama tinggal di sini.
***
Gadis
berkepang dua itu memasukkan batu terakhir di genggamannya ke dalam salah satu
lubang di tubuhku. Ia lantas melompat-lompat sembari berteriak kegirangan. “Yes! Aku menang lagi! Lihat! Batu yang
kukumpulkan lebih banyak!” Telunjuk gadis itu menunjuk lubang yang isi batunya
paling banyak. “Weee!” Gadis yang berumur tujuh tahun itu menjulurkan lidahnya.
Seorang
anak laki-laki yang menjadi lawan bicaranya memutar bola mata. Ia lantas mendaratkan
sebuah pukulan ke tubuhku.
“Aduh!
Sakit! Hei, bisakah kau bersikap sopan sedikit? Dan, lihat! Batunya berhamburan
semua!”
Anak
laki-laki yang biasa dipanggil Andre itu mengabaikan teriakanku. Pandangan
matanya hanya terfokus pada gadis kecil yang sekarang sudah berhenti
melompat-lompat.
“Ayo,
beli es krim!” tangan kecil milik gadis yang biasa dipanggil Arindra itu
menarik tangan temannya itu.
“Beli
aja sendiri!” Anak kecil berbaju putih itu menarik tangannya dari genggaman
Arindra. Sontak saja genggaman itu terlepas. Tenaga laki-laki, kan jauh lebih
kuat dibanding perempuan.
Gadis
kecil itu memasang wajah kesal. Ia mengembungkan kedua pipinya. “Andre! Kamu
harus nepatin janji! Yang kalah harus beliin es krim buat yang menang!” teriak
Arindra.
Kepalanya
menggeleng, “Nggak mau! Kamu curang!” Andre tidak mau kalah, suaranya lebih
keras dari lawan bicaranya.
Ah,
Aku sudah tidak heran. Mereka sudah biasa beradu mulut seperti ini. Hampir setiap
hari. Tapi tenang saja, adu mulut mereka tidak akan bertahan lama. Sebentar
lagi, salah satu dari mereka akan mengalah.
“Andre,
ayooo!” Arindra masih berusaha membujuk Andre untuk membelikan es krim
untuknya. “Kemarin kan, kamu menang. Aku udah beliin es krim. Sekarang, gantian
dong!” dengan sekuat tenaga, Arindra menarik Andre agar anak laki-laki itu
berdiri.
Anak
laki-laki itu sama sekali tak bergeming. Ia masih duduk bersila di sebelah
kananku. Sepertinya ia tak berniat untuk bangkit dan menuruti permintaan
Arindra.
“Andre!”
Arindra berteriak. “Nanti aku laporin mama kamu, loh!”
Mendengar
kata-kata ancaman dari Arindra, Anak laki-laki itu akhirnya bangkit. Ia
berjalan mengekori Arindra.
“Sudah
jam sebelas, Bunga. Sebentar lagi
Arindra dan Andre akan datang,” bisik jam beker ungu yang tepat berada
di sampingku. Iya, jam beker berbisik padaku. Bunga. Arindra yang memberi nama
ini. Tentu saja karena di tubuhku terlukis motif bunga yang ia gambar sendiri.
Di
sinilah aku sekarang. Di ujung meja belajar berwarna merah jambu. Bersama buku-buku
sekolah milik Arindra, aku tinggal di sini.
“Hei,
apa itu?” Aku melihat sebuah kotak berwarna putih di sebelah jam beker. Ada
banyak huruf di kotak itu. Ah, sayang aku tidak bisa membaca.
Aku
mendengar suara dua orang anak sedang tertawa. Itu pasti Arindra dan Andre.
Sebentar lagi, mereka akan membawaku ke halaman belakang rumah Andre. Kemudian
mereka akan meletakkan batu-batu ke dalam enam belas lubang yang ada di
tubuhku. Mereka kemudian akan menghitung jumlah batu yang ada di kedua lubang
paling besar. Dan yang jumlah batunya paling sedikit, akan membelikan es krim
untuk pengumpul batu yang lebih banyak. Ah, aku sudah hafal sekali.
Mereka
sekarang sudah berada di bibir pintu. “Ayo kita main!” teriak gadis berkepang
dua itu.
“Ayo!”
Anak laki-laki yang berdiri di sampingnya menyahuti.
Sudah
tidak sabar rasanya menantikan mereka memainkanku. Tidak sabar juga untuk
mendengar mereka beradu mulut. Satu lagi! Tidak sabar untuk melihat salah satu
dari mereka melompat-lompat karena mendapat es krim gratis.
Kaki
kecil yang berbalut celana merah itu melangkah mendekat. Pasti dia akan
mengambilku. Hei, sepertinya Arindra sangat senang hari ini. Terlihat ada
binar-binar kecil dalam matanya. Ada apa ya? Ah, sebentar lagi aku juga akan
mengetahuinya.
Tangan
mungil Arindra mengambil tubuhku. EH? Tidak! Dia tidak mengambilku. Dia
mengambil kotak putih itu. Mata coklat gadis itu bahkan sama sekali tidak
melirikku.
“Hei!
Kau salah mengambil, Ar! Yang harusnya kau ambil itu aku, bukan kotak putih
itu! Arindra!” Arindra mengacuhkan teriakkanku.
“Asyik!
Aku main duluan ya, Ar?” Andre merebut kotak putih itu dari tangan Arindra.
“Andre!
Andre! Itu punyaku!” teriak Arindra sembari berlari mengejar anak laki-laki
berkaos hitam.
Apa
aku tidak bermimpi? Mereka bermain tanpa sebuah congklak. Ah, paling sebentar
lagi mereka akan kembali dan bermain bersamaku lagi. Atau besok, mereka akan
bermain denganku. Lihat saja.
***
Ada
sebuah cahaya masuk ke dalam ruangan ini. Aku mencari asal cahayanya. Dari
pintu! Pintunya terbuka!
Klik.
Lampu
dinyalakan. Aku melihat sesosok gadis berkepang dua. Arindra. Iya, dia Arindra.
Ia sudah jauh lebih tinggi dari terakhir aku melihatnya.
Gadis
bermata lentik itu berjalan mendekat. HEI! Dia mengambilku! Dia akan
memainkanku!
***
Sudah
hampir seminggu Arindra dan Andre tidak pernah bermain bersamaku lagi. Yang
kutahu, mereka lebih suka bermain dengan dia. Sebuah benda kotak berwarna putih
yang bisa mengeluarkan suara dan gambar. Benda itu dimainkan dengan cara
ditekan layarnya. Benda yang disebut ponsel itu menggantikan peranku.
Bahkan,
sekarang Andre juga memiliki benda yang sama. Ponsel. Sebuah nama benda yang
sudah mengambil alih tempat tinggalku. Kau mau tahu sekarang aku ada di mana?
Di kolong tempat tidur! Arindra yang menendangku masuk ke kolong tempat tidur.
Aku yakin, ia tidak sengaja melakukannya. Karena pada saat itu, matanya terfokus
pada si kotak putih itu.
Aku
tak menyangka, isi dari sebuah kotak putih itu membawa sebuah kehidupan baru
bagiku. Aku kehilangan semuanya. Kehilangan Arindra, Andre, tempat tinggal dan...
sebuah kebahagiaan.
Seandainya
aku bisa bergerak, aku akan membanting benda yang bernama ponsel itu. Tidak,
tidak! Aku tidak hanya akan membanting. Akan kurusakkan benda itu. Akan aku
pindahkan dia ke bawah tempat tidur. Agar dia bisa merasakkan apa yang aku
rasakkan.
***
“Sepertinya,
kamu sudah tidak dibutuhkan lagi. Aku dan Andre sudah besar. Semua sudah
berubah. Maaf ya, Bunga.” Arindra membuka tutup tempat sampah dan memasukkan
tubuhku ke dalamnya.
“Arindra!
Arindra! Keluarkan aku dari sini! Arindra!” Teriakku sekencang-kencangnya.
Cha..cha..kayaknya aku udah comment di sini tapi kok gak ada ya? Atau aku comment di wa hahaha...
ReplyDeleteWaaaaaah sedih, tapi agak susah bacanya karena pengaturan paragraf. Dipadatin boleh, nih, Cha!
ReplyDeletengebut baca cerpen kalian di malam minggu seperti ini buahaha. Bagus cha, tp kayaknya si congklal ini lebih baik dibikin sedih dan posisitf thinking aja dah dari pada mengumpat/marah, biar lebih touching aja. Terus kebanyakan kata (Ah) menurutku.
ReplyDelete