Mar 1, 2015

Semua Sudah Berubah.

Teganya dia memenjarakanku di sini. Di sebuah tempat gelap bersama dengan benda-benda berdebu yang tak berguna. Aku ditinggalkan dan dilupakan.  Seperti sebuah kertas yang sudah sobek.
Sudah lama sekali aku terpenjara di dalam sini. Sampai-sampai aku tidak tahu sudah berapa lama tinggal di sini.
***
Gadis berkepang dua itu memasukkan batu terakhir di genggamannya ke dalam salah satu lubang di tubuhku. Ia lantas melompat-lompat sembari berteriak kegirangan. “Yes! Aku menang lagi! Lihat! Batu yang kukumpulkan lebih banyak!” Telunjuk gadis itu menunjuk lubang yang isi batunya paling banyak. “Weee!” Gadis yang berumur tujuh tahun itu menjulurkan lidahnya.
Seorang anak laki-laki yang menjadi lawan bicaranya memutar bola mata. Ia lantas mendaratkan sebuah pukulan ke tubuhku.
“Aduh! Sakit! Hei, bisakah kau bersikap sopan sedikit? Dan, lihat! Batunya berhamburan semua!”
Anak laki-laki yang biasa dipanggil Andre itu mengabaikan teriakanku. Pandangan matanya hanya terfokus pada gadis kecil yang sekarang sudah berhenti melompat-lompat.
“Ayo, beli es krim!” tangan kecil milik gadis yang biasa dipanggil Arindra itu menarik tangan temannya itu.
“Beli aja sendiri!” Anak kecil berbaju putih itu menarik tangannya dari genggaman Arindra. Sontak saja genggaman itu terlepas. Tenaga laki-laki, kan jauh lebih kuat dibanding perempuan.
Gadis kecil itu memasang wajah kesal. Ia mengembungkan kedua pipinya. “Andre! Kamu harus nepatin janji! Yang kalah harus beliin es krim buat yang menang!” teriak Arindra.
Kepalanya menggeleng, “Nggak mau! Kamu curang!” Andre tidak mau kalah, suaranya lebih keras dari lawan bicaranya.
Ah, Aku sudah tidak heran. Mereka sudah biasa beradu mulut seperti ini. Hampir setiap hari. Tapi tenang saja, adu mulut mereka tidak akan bertahan lama. Sebentar lagi, salah satu dari mereka akan mengalah.
“Andre, ayooo!” Arindra masih berusaha membujuk Andre untuk membelikan es krim untuknya. “Kemarin kan, kamu menang. Aku udah beliin es krim. Sekarang, gantian dong!” dengan sekuat tenaga, Arindra menarik Andre agar anak laki-laki itu berdiri.
Anak laki-laki itu sama sekali tak bergeming. Ia masih duduk bersila di sebelah kananku. Sepertinya ia tak berniat untuk bangkit dan menuruti permintaan Arindra.
“Andre!” Arindra berteriak. “Nanti aku laporin mama kamu, loh!”
Mendengar kata-kata ancaman dari Arindra, Anak laki-laki itu akhirnya bangkit. Ia berjalan mengekori Arindra.
***

Source from Internet
“Sudah jam sebelas, Bunga. Sebentar lagi  Arindra dan Andre akan datang,” bisik jam beker ungu yang tepat berada di sampingku. Iya, jam beker berbisik padaku. Bunga. Arindra yang memberi nama ini. Tentu saja karena di tubuhku terlukis motif bunga yang ia gambar sendiri.
Di sinilah aku sekarang. Di ujung meja belajar berwarna merah jambu. Bersama buku-buku sekolah milik Arindra, aku tinggal di sini.
“Hei, apa itu?” Aku melihat sebuah kotak berwarna putih di sebelah jam beker. Ada banyak huruf di kotak itu. Ah, sayang aku tidak bisa membaca.
Aku mendengar suara dua orang anak sedang tertawa. Itu pasti Arindra dan Andre. Sebentar lagi, mereka akan membawaku ke halaman belakang rumah Andre. Kemudian mereka akan meletakkan batu-batu ke dalam enam belas lubang yang ada di tubuhku. Mereka kemudian akan menghitung jumlah batu yang ada di kedua lubang paling besar. Dan yang jumlah batunya paling sedikit, akan membelikan es krim untuk pengumpul batu yang lebih banyak. Ah, aku sudah hafal sekali.
Mereka sekarang sudah berada di bibir pintu. “Ayo kita main!” teriak gadis berkepang dua itu.
“Ayo!” Anak laki-laki yang berdiri di sampingnya menyahuti.
Sudah tidak sabar rasanya menantikan mereka memainkanku. Tidak sabar juga untuk mendengar mereka beradu mulut. Satu lagi! Tidak sabar untuk melihat salah satu dari mereka melompat-lompat karena mendapat es krim gratis.
Kaki kecil yang berbalut celana merah itu melangkah mendekat. Pasti dia akan mengambilku. Hei, sepertinya Arindra sangat senang hari ini. Terlihat ada binar-binar kecil dalam matanya. Ada apa ya? Ah, sebentar lagi aku juga akan mengetahuinya.
Tangan mungil Arindra mengambil tubuhku. EH? Tidak! Dia tidak mengambilku. Dia mengambil kotak putih itu. Mata coklat gadis itu bahkan sama sekali tidak melirikku.
“Hei! Kau salah mengambil, Ar! Yang harusnya kau ambil itu aku, bukan kotak putih itu! Arindra!” Arindra mengacuhkan teriakkanku.
“Asyik! Aku main duluan ya, Ar?” Andre merebut kotak putih itu dari tangan Arindra.
“Andre! Andre! Itu punyaku!” teriak Arindra sembari berlari mengejar anak laki-laki berkaos hitam.
Apa aku tidak bermimpi? Mereka bermain tanpa sebuah congklak. Ah, paling sebentar lagi mereka akan kembali dan bermain bersamaku lagi. Atau besok, mereka akan bermain denganku. Lihat saja.
***
Ada sebuah cahaya masuk ke dalam ruangan ini. Aku mencari asal cahayanya. Dari pintu! Pintunya terbuka!
Klik.
Lampu dinyalakan. Aku melihat sesosok gadis berkepang dua. Arindra. Iya, dia Arindra. Ia sudah jauh lebih tinggi dari terakhir aku melihatnya.
Gadis bermata lentik itu berjalan mendekat. HEI! Dia mengambilku! Dia akan memainkanku!
***
Sudah hampir seminggu Arindra dan Andre tidak pernah bermain bersamaku lagi. Yang kutahu, mereka lebih suka bermain dengan dia. Sebuah benda kotak berwarna putih yang bisa mengeluarkan suara dan gambar. Benda itu dimainkan dengan cara ditekan layarnya. Benda yang disebut ponsel itu menggantikan peranku.
Bahkan, sekarang Andre juga memiliki benda yang sama. Ponsel. Sebuah nama benda yang sudah mengambil alih tempat tinggalku. Kau mau tahu sekarang aku ada di mana? Di kolong tempat tidur! Arindra yang menendangku masuk ke kolong tempat tidur. Aku yakin, ia tidak sengaja melakukannya. Karena pada saat itu, matanya terfokus pada si kotak putih itu.
Aku tak menyangka, isi dari sebuah kotak putih itu membawa sebuah kehidupan baru bagiku. Aku kehilangan semuanya. Kehilangan Arindra, Andre, tempat tinggal dan... sebuah  kebahagiaan.
Seandainya aku bisa bergerak, aku akan membanting benda yang bernama ponsel itu. Tidak, tidak! Aku tidak hanya akan membanting. Akan kurusakkan benda itu. Akan aku pindahkan dia ke bawah tempat tidur. Agar dia bisa merasakkan apa yang aku rasakkan.
***
“Sepertinya, kamu sudah tidak dibutuhkan lagi. Aku dan Andre sudah besar. Semua sudah berubah. Maaf ya, Bunga.” Arindra membuka tutup tempat sampah dan memasukkan tubuhku ke dalamnya.

“Arindra! Arindra! Keluarkan aku dari sini! Arindra!” Teriakku sekencang-kencangnya.

3 comments:

  1. Cha..cha..kayaknya aku udah comment di sini tapi kok gak ada ya? Atau aku comment di wa hahaha...

    ReplyDelete
  2. Waaaaaah sedih, tapi agak susah bacanya karena pengaturan paragraf. Dipadatin boleh, nih, Cha!

    ReplyDelete
  3. ngebut baca cerpen kalian di malam minggu seperti ini buahaha. Bagus cha, tp kayaknya si congklal ini lebih baik dibikin sedih dan posisitf thinking aja dah dari pada mengumpat/marah, biar lebih touching aja. Terus kebanyakan kata (Ah) menurutku.

    ReplyDelete