GARA-GARA RAYA
By
Suci Wulansari
Kak, jmpt di sklh,
hujannya deras nih.
SMS itu masuk di sela-sela materi Biostatistik yang
sedang Panji ikuti. Dari Raya, anak SMA berusia 17 tahun, adik kesayangan
sahabat baiknya.
Haruskah Panji menuruti SMS itu? Izin dari mata kuliah Biostatistika yang
super rumit hanya karena Raya tidak membawa payung ke sekolahnya? Terancam
tertinggal materi untuk hal yang sepele?
Panji menoleh ke jendela, hujan begitu lebat mengguyur
kota Bogor, kilat sesekali memecah langit yang kelabu. Sial, Raya takut petir.
Ia menarik nafas berat, lalu mengangkat tangan
kanannya.
“Pak, boleh saya izin keluar?”
***
Raya.
Nama itu selalu membuat Panji bergidik setiap kali
mendengarnya. Efeknya sama seperti saat ia mendengar Kuntilanak, Genderuwo dan
sebangsanya. Bulu kuduk berdiri dan seketika ia tidak bisa berkata apa pun.
Raya tidak menakutkan seperti hantu-hantu itu. Justru
kebalikannya, Raya adalah tipikal anak SMA yang manja luar biasa. Perawakannya
kecil, kulitnya putih, turunan mamanya yang asli Jepang.
Tapi jika Raya marah atau sedih, maka semua hantu akan
kalah menakutkan dibanding dirinya. Itulah yang Panji takutkan jika ia menolak
permintaan Raya untuk menjemputnya di tengah hujan deras.
Panji terpaksa berdiri di bawah payung pink pemberian Raya saat ulang tahunnya,
sambil menunggu Raya keluar dari kelas.
“KAK PANJI!” Raya melambai ceria di depan kelasnya.
Panji cuma nyengir kikuk, memandang ragu pada teman-teman ABG Raya yang
berbisik dan tersenyum penuh arti kepadanya. Raya berlari ke arahnya, berdiri
di bawah payung bersama Panji.
“Cieeeee…” Serempak teman-teman Raya meledek, Raya
cuma tersenyum dan menarik Panji untuk berjalan menjauh, ke tempat mobil Panji
di parkir.
“Kamu ini, Kak Panji lagi kuliah tadi.” Panji mengacak
rambut Raya, gemas. Ia menutup pintu mobil lebih kencang dari seharusnya.
“Aduh, maaf, Kak. Raya nggak bawa payung. Kalau
hujan-hujanan, Raya bisa sakit. Kalau Raya sakit, Kak Raga nanti sedih.”
Raga. Lagi-lagi nama itu yang disebut Raya.
Sudah dua tahun berlalu tapi Raga selalu membuat Panji
tidak pernah bisa menolak permintaan Raya. Bayangan Raga selalu hadir,
mengingatkan bahwa tanggung jawab menjaga Raya harus Panji laksanakan
bertahun-tahun lagi.
Panji memacu mobilnya, tidak cukup kencang karena
Bogor cenderung lebih macet saat hari hujan. Di sebelahnya, Raya mulai
bercerita tentang teman-temannya di sekolah. Seperti biasa, tanpa peduli Panji
mendengarkan atau tidak.
Panji cuma menjawab sekenanya karena pikirannya ada di
tempat lain, di Rumah Sakit Dharmais, dua tahun lalu.
Saat itu di luar juga hujan deras, mewakili
perasaannya yang sama kelabunya dengan keadaan langit. Ia genggam tangan
sahabat sedari kecilnya itu erat-erat, tangan yang dulu kokoh membantunya
memenangkan lomba tarik tambang, kini hanya tulang berbalut kulit. Sosok Raga
yang dulu tangguh, telah dikalahkan penyakit yang menggerogotinya.
Dalam sakit dan nafasnya yang tersengal, cuma satu
yang ia minta.
Bukan untuk kesembuhan yang ia tahu takkan ia
dapatkan.
Raga cuma minta Panji menjaga Raya, adik semata
wayangnya yang masih SMP.
“Raya manja dan ceroboh. Dia butuh kakak untuk
ngebimbing dan ngelindungin. Tapi gue nggak akan ada buat dia saat Raya butuh.”
Setetes air mata mengalir ke pipi tirus Raga, membuat Panji tak kuasa menahan
air matanya sendiri.
Atas nama persahabatan Panji menyanggupi, berusaha
menjaga Raya seperti adiknya sendiri. Menuruti permintaan-permintaan Raya
sebisanya, meski kadang mengorbankan kepentingannya sendiri.
“Kak Panji,
kita udah sampai.” Raya menyadarkan Panji yang hampir terlewat mengantarnya ke
rumah. Syukurlah hujan sudah berhenti. Ia jadi tidak perlu memayungi Raya
dengan payung pink sampai ke pintu
masuk.
“Besok jemput jam setengah 7 ya, Raya mau ke GOR
pagi-pagi, latihan voli.” Raya tersenyum sambil membenarkan posisi tasnya.
Besok hari Minggu, tak ada jadwal kuliah dan tadinya
Panji hanya akan bermalas-malasan sepanjang pagi. Tapi lagi-lagi Raya
menggagalkan rencananya.
Panji tidak menggeleng seperti yang otaknya
perintahkan, ia justru mengangguk, membuat senyum Raya tambah lebar.
“Daahh,” kata Raya ceria. Panji cuma bisa mengutuki
kebodohannya dalam hati.
***
Bagaimana menjelaskan pada Raya bahwa Panji punya
kehidupan sendiri? Panji tidak bisa mengantarnya terus ke sana ke mari saat ia
harus kuliah, atau sedang pergi bersama teman-temannya. Ia bosan mendapat
tatapan aneh dari teman-temannya karena sering pulang duluan dengan alasan yang
sama: menjemput adik sahabatnya.
Gara-gara Raya sakit, ia membatalkan rencana touring dan lebih memilih mengantarnya
ke dokter.
Gara-gara Raya camping
di Bandung dan minta dikunjungi, Panji jadi bolos praktikum lapangan dan
mendapat ceramah panjang dari dosen konservasinya.
Dunianya terpusat pada Raya, Panji seolah tak punya
ruang bernafas lega. Ia juga khawatir karena akhir-akhir ini Raya menaruh
perhatian lebih padanya, seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Berkali
Panji tanyakan apakah ada seseorang yang Raya sukai, tapi sambil tertawa Raya
menjawab kalau Panjilah yang selama ini ia taksir.
Glek.
“Aku benar-benar bisa gila.”
Panji sudah punya Vira, mahasiswi Hukum yang sudah
jadi incarannya sejak semester I. Bagaimana menjelaskannya pada Raya tanpa
membuatnya sakit hati?
***
Say, jemput ke rumah ya
Tidak lama berselang.
Kak, jmpt di tempat les
Panji menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menyesali
karena belum berbicara pada Raya tentang Vira, dan sekarang ia harus menjemput
keduanya secara bersamaan. Panji ingin pura-pura sakit saja dan tiduran di
kamar. Alih-alih dia malah tancap gas ke
rumah Vira, menjemput gadis itu terlebih dahulu.
Panji melihat Raya tersenyum saat memasuki area parkir
tempat les, tapi lambaian tangan Raya menjadi lemah dan senyumnya memudar saat
ia melihat Vira yang duduk di kursi depan.
“Hai,” kata Vira ramah, “Raya, ya? Panji udah cerita
banyak tentang kamu.”
“Oya?” kata Raya pelan, duduk di kursi belakang. Ia
buru-buru memasang headsetnya dan
tidak berbicara sedikitpun selama perjalanan pulang. Sungguh di luar karakter
aslinya.
***
“Aku suka Kak Panji,” kata suara itu, isak kecil
terdengar, dan membuat Panji mendongak dari lamunannya. Kalimat itu sudah
pernah Panji duga akan Raya sampaikan, tapi mendengarnya langsung tetap saja
mengagetkan.
“Raya-”
“Raya yang bodoh, berharap Kak Panji bisa menganggap
Raya lebih dari adik.”
“Maaf.” Hanya kata itu yang bisa Panji ucapkan.
Bibirnya kelu, membayangkan Raga di kuburnya mungkin akan sangat kecewa karena
Panji jadi penyebab air mata Raya.
Hari itu hari terakhir Panji mengantarkan Raya pulang
ke rumah. Dua hari setelah Raya bertemu Vira, dan menyadari bahwa cintanya tak
berbalas.
***
Ada kelegaan saat Raya tak lagi memintanya ini itu.
Tapi juga ada kerinduan mendengar suara Raya, mengacak rambutnya yang lurus dan
berponi, meledek Raya hingga cemberut dan akhirnya tersenyum kembali saat
dibelikan pasta.
Panji akui, ada rasa hangat saat bersama Raya yang
tidak bisa ia dapatkan saat bersama Vira.
Setiap hari hujan, ia ingat permintaan Raya untuk
menjemputnya dengan payung pink.
Saat makan pasta, ia bayangkan Raya di depannya,
menyantap lasagna dengan lahap dan
masih dapat menghabiskan sepiring spagetti.
Raya istimewa. Panji baru menyadari saat Raya tak lagi
mengganggunya.
Enam bulan berlalu, tanpa ada sedikitpun kabar tentang
Raya. Pernah sekali ibu Raya meneleponnya, mengabarkan bahwa mereka akan pindah
ke Jakarta. Penuh haru, wanita separuh baya itu berterima kasih karena Panji
telah menjaga Raya selepas Raga pergi.
Setelah sambungan telepon singkat, tidak ada lagi
kabar apapun selama berbulan-bulan.
Hingga suatu hari surat itu datang.
***
Kak Panji,
Raya cuma mau bilang terima kasih
untuk perhatiannya selama ini.
Maaf kalau Raya tidak akan pernah
jadi orang yang Kakak cintai.
Setahun lalu, Raya tahu kalau Raya
mengidap penyakit yang sama dengan Kak Raga… Raya terlalu takut untuk cerita…
Raya takut Kakak justru pergi di saat-saat Raya butuh Kakak.
Selama ini Raya terlalu egois, Raya
harusnya tahu kalau Kak Panji juga ingin bahagia.
Mungkin sekarang waktunya Raya ketemu
Kak RagaJ
Gara-gara surat Raya, Panji bergegas memacu mobilnya
kencang, tidak sempat mengganti jas pertunangan yang masih melekat di tubuhnya.
Panji berlari menyusuri koridor rumah sakit.
Langkahnya bergaung, mengingatkannya pada peristiwa tiga tahun lalu.
Déjà
vu
Tapi kali ini yang ia jenguk adalah Raya.
Ia masuk ke ruangan yang familiar dengan yang dulu
Raga tempati. Atmosfer yang sama, keheningan yang serupa. Hanya suara mesin
yang memastikan bahwa jantung Raya masih bekerja.
Ia genggam tangan yang kini lemah itu. Tangan yang
selalu ia pegang erat saat menyeberang jalan, tangan yang ia janjikan akan
selalu dijaga.
Tangan yang
terpaksa harus Panji lepaskan
saat ia bertemu Vira.
Panji merasa bersalah pada sosok di depannya, ia tak
bisa menjaganya sepenuh hati. Tidak bisa menghapus air matanya, justru malah
menambah luka.
Sekuat apapun Panji berusaha, ia tetap tidak bisa
menolak kata hatinya. Ia tidak akan pernah dapat membalas cinta Raya.
Bukan
hanya karena ia menyukai Vira, bukan pula karena perbedaan umur mereka.
Tapi fakta bahwa Raya juga lelaki,
sama seperti dirinya.
****
Bogor, 18 November 2013
Suci
Wulansari lahir di kota kecil Purbalingga. Hobi membaca novel petualangan dan
misteri. Suci sekarang kuliah di Univ. Pakuan Bogor, jurusan Biologi.
nitip jejak dulu
ReplyDeleteendingnyaaa.. haahahaha
ReplyDeleteTwist inih, twist... :D
ReplyDeleteDaaann saya melongo ketika tiba di bagian ending. Raya oh Rayaa, twist-nya mak-jleb! :D
ReplyDeleteHaaaaaaaaah, pingin noyorin Raya sampe puas terus noyor Panji sekali karena mau-maunya nurutin yang macem beginian, pake acara ngerasa bersalah pula. Ngeselin =))
ReplyDeletePlot twist-nya kurang kuat, menurutku, semestinya bisa diperkuat dengan menebar hint yang abu-abu. Menurutku sebelum sampai di twist pembaca sudah terlanjur sebal duluan dan jadi tidak peduli lagi dengan twist yang disiapkan. Lebih digali lagi emosi karakternya mungkin akan sangat sangat membantu :D