Karya : Zilian Zahra
Ilustrasi foto di ambil dari internet |
Akan
sangat indah apabila aku dapat menikmati dunia, dan akan sangat bahagia jika
aku mendapatkan kasih sayang, seperti teman-temanku di Molino.
Semua
hanyalah mimpi untuk anak sepertiku, yang tidak pernah melihat senyum matahari
dan bulan. Hanya ada dinding tebal dan besi yang mengelilinginya.
Puting
beliung akan datang, ia akan memporak-porandakan kampung Dalangan. Orang tua
bertopi hitam datang sebagai isyarat. Aku menerima isyarat itu persis saat aku
menjulurkan lidah panjangku pada sela pintu yang dikelilingi besi.
Orakel,
orang tua itu ku sebut. Aku tidak melihatnya datang melalui pintu. Lubang kecil
tempat pengurus rumah meletakkan makanan-pun tidak. Dia hadir ketika mata ini
terlelap, dan pergi setelah ia mengangkat topinya.
Orakel
bertubuh kurus tinggi, beruban‒keriting sebahu. Wajahnya tertutup
kain hitam. Dia juga mempunyai kacamata seperti Zorro. Mengenakan celana, jas
dan topi yang serba hitam. Di lengannya selalu melilit rantai yang kunamai itu
borgol. Sepatunya kilat putih tak bersuara.
Tentang
hidupku, mungkin dia yang paling tahu. Persetan dengan ayah dan ibu, dia hanya
menimang ketika tamu datang, setelah itu aku di tinggalkan begitu saja di ruang
pengap ini.
Aku
ini manusia istimewa. Lidahku menjulur hingga pusar. Lenganku sama panjang
dengan lidahku dan kakiku kecil, mungkin hanya limapuluh senti. Namun, hanya
lidah yang mampu beraktivitas. Ya, posturku berbeda dengan manusia yang lain,
bahkan dengan orang terdekatku.
Perut
Ibu bukan tempat nyaman bagiku. Sepuluh tahun yang lalu, masih lekat dalam
memoriku. Kehangatan menjadi gerah, kenyamanan menjadi gelisah, dan gelap
semakin menekan. Terhimpit dinding, tertampar dan terguncang. Sudah
kuperkirakan, aku akan mati. Namun malaikat menjagaku. Tuhan ijinkan aku
menikmati dunia-Nya.
Inilah
pilihan yang kuambil, ketika persaksian itu aku ucapkan. Namun bukan pada
takdir ini kuharapkan. Segores mimpi menjalin hari, kala tiap lorong udara
tampak surya. Di pagi yang menggigil, di bawah terik dan ketika berselimut
lempengan es batu. Kini aku menyisakan sebuah keyakinan. Ku penggal
persaksianku dengan pedang berapi milik Zorro. Argh, lagi-lagi tokoh itu yang
kukenal. Mirip dengan Orakel.
Melihat
matahari terbit, itu yang kumau. Hamparan langit biru, laut yang memesona dengan
lalu lalang kapal melintasinya. Mungkin akan jadi penghilang jemu bagiku, atau
sekedar berjalan di taman, bertemu dengan anak-anak lain seusiaku dan bermain
bersama mereka walau hanya sebentar. Aku ingin normal seperti mereka, namun semua
hanya mimpi, ayah dan ibu tak pernah membawa kesana. Bisnis dan kesibukan lain‒membuat
mereka‒tidak banyak waktu untukku.
Petang
ini Orakel datang, ia membawaku ke sebuah hamparan hijau. Pohon-pohon yang
tinggi, tanaman yang berdaun hijau segar dan buah-buahan yang tumbuh lebat. Aku
tidak mendapatinya gelap disana, matahari bersinar terang namun terasa teduh. Makhluk-makhluk
lain hidup dengan damainya. Kata Orakel makhluk itu bernama sapi, ular, jerapah, di pinggir kolam ada buaya dan
katak, yang terbang bernama kupu-kupu. Semua adalah jenis hewan.
Tak
jauh dari keindahan tadi, sebuah rumah kayu berdiri kokoh, hijau hitam
perpaduan lumut dan jamur mewarnai. Bunga mekar mewangi tumbuh indah menghiasi.
“Ini
rumah siapa, Orakel?”
“Masuklah,
Nak. Ini istanaku” ia membuka penutup mukanya.
“Orakel?
Kaukah?” dia masih muda dan tampan, lebih muda dari ayahku. Orakel mengajakku
menikmati kursi tamunya.
“Dendra,
kau senang disini?”
“Dengan
siapa kau tinggal, Orakel?” lampu gantung berbentuk bunga mekar masih kuamati,
mataku tak mau lepas dari sudut pandangan aksesoris sederhana berbalut mewah.
Sesekali menengok ke wajah Orakel.
Dia
tersenyum, “Aku disini bersamamu, bersama manusia yang berhati tulus”. Segelas
susu dan roti tawar menemani.
Lidahku
yang panjang menjadi normal ketika susu itu mengalir masuk ke dalam
kerongkonganku. Antara takjub dan bimbang, kupegang lidahku. Ku ulang hingga
Orakel memelukku dengan senyum.
“Itu
hadiah buatmu, Nak”
“Terimakasih,
Orakel” aku membalas pelukannya.
“Inilah
sepuluh tahunmu, Nak. Selamat hari lahir”
Lidahku
kelu, bibir bisu. Hanya airmata yang mampu menerjemahkan kebahagiaan ini.
Aku
hanya bisa memeluk Orakel, air mata ini tidak mampu kuseka. Aku sayang kamu, Orakel bisikku dalam
hati.
***
Bau
busuk menyengat. Suara lalat-lalat terbang dan hinggap. Bau anyir menyeruak,
memasuki tiap pori-pori. Ada gelap ketika ku buka mata. Orakel? Apakah aku telah kembali? Ya, aku telah kembali pada penjara
busuk ini. Keindahan Greencastle lenyap. Aku kembali menjadi manusia
dalam penjara.
Ketika
lorong udara terisi cahaya, aku tahu bahwa sumber busuk itu dari tiga makanan yang
tak kujamah sekalipun.
“Astaga,
Dendra tidak makan?” Ketika mata pengurus rumah mengintai, ia terkejut.
Seketika terdengar telapak kaki melangkah cepat.
Aku
merasakan kedatangan Ibu. Seperti biasa, aku pura-pura lemah ketika Ibu datang.
Pintu dibuka, Ibu masuk dengan pengurus rumah.
“Astaga,
Cik! Cepat buang bau busuk ini. Sebentar lagi ada tamu yang datang.” Nada Ibu
meninggi. Dengan teriakan, Ibu melanjutkan “Hai, jangan lupa siapkan pakaian
bagus untuk Dendra”.
“Iya,
Bu” dari kejauhan terdengar suara menjawab.
Aku
diam, Ibu mendekatiku. Kain di genggaman menutup hidungnya. Tubuh Ibu yang
mulus, berbeda jauh dengan ragaku. Aku akui, Ibu sangat rajin merawat tubuhnya.
Dulu, aku melihatnya. Ketika Ibu selalu mengajakku, kemanapun Ibu pergi. Salon
ujung jalan kota itu, salon terbaik langganan Ibu. Kulit tangannya yang halus,
ditempelkan ke dahiku. Hangat, aku merasakan sentuhan kasih sayang. Tak lama,
kulit mulusnya disapukan pada roknya.
“Cik,
cepat sedikit”
“Iya,
Bu”
“Lihat
bajunya”
“Yang
lain ada? akan ada tamu dari dinas perlindungan anak, tak pantaslah baju ini
untuk penyambutan beliau. Ambil yang lebih bagus.”
“Maaf,
Bu. Ini yang paling bagus”
“Hah?!
Anak kampung ya selera juga kampung!” ibu membanting bajuku. “Kamu tunggu di sini,
aku yang akan memilih baju” sampai depan pintu “Oh ya Cik, jangan lupa
bersihkan kamarku”
“Iya,
Bu” muka hina tampak di wajah Cik. Dia bersihkan ruanganku tanpa berlama-lama.
***
Kamar
Ibu, kembali kurasakan‒nyaman. Lelaki berkacamata datang bersama Ibu dan Ayahku. Rambutnya
yang lurus tersisir rapi. Bajunya putih bergaris, di saku depan baju, ada yang
menggantung berwarna biru. Mirip wajahnya tertempel di sana. Dia mengenakan
celana, rapi terawat.
“Hai
Dendra, aku Seto. Kau bisa memanggilku Kak Seto” Dia tersenyum kepadaku.
Mataku
mengamatinya, lelaki itu siapa? Bahkan aku merasa baru bertemu dengannya. Tapi
dia akrab, seperti pernah bertemu walau tidak mengenal. Berbeda dengan tamu
yang lain. Aku teringat seseorang ketika wajahnya bercahaya. Namun kubantah cepat-cepat.
Getaran hatiku menggema. Baru ku temui tamu Ibu yang ramah. Dari mulutnya, tak ku
temui celaan. Lelaki itu pamit seusai berbincang.
Seperti biasa, semua kurasakan sekejap.
Penjara hampa tetap sejatiku. Ku dengar suara Ibu.
“Cik,
cepat ganti seprey dan cuci bedku. Fuih liurnya bikin aku mual”
Singgasana indah itu, hanya sekejap lalu. Kala
tamu datang, aku di dandani bak pangeran. Di puji, di segani, di agungkan‒di
sandang Ibu dan Ayah.
Setelah
mereka kembali, makanan basi dan ruangan pengap‒kutemui lagi.
***
Orakel
tidak datang, Orakel tidak hadir. Entah kenapa hari ini sepi. Padahal ingin ku
ceritakan tentang tamu yang datang kemarin. Tak seperti biasa, badanku terasa
panas. Lidah kaku, mata berat untuk di buka.
“DUAARRR!
DUMB!” suara ledakan terdengar bertubi-tubi. Aku memaksa mata untuk terbuka. Lubang
udara berdebu. Atap yang kokoh menjadi retak oleh suara tadi. Aku mendengar
teriakan banyak orang. Teriak meminta pertolongan.
Aku
ingin menolong tapi tak ada daya. Suara pesawat terdengar melintas di atas. Seketika
atap runtuh bersama suara ledakan. Ingin rasanya berteriak seperti mereka, tapi
tak mampu. Suara mereka pun tak lagi ku dengar. Hanya letusan dan dentuman
keras terdengar.
Hampir
saja atap yang runtuh mengenaiku. Tapi tidak, inikah dunia sesungguhnya?
Gersang, panas dan berdebu. Dari reruntuhan aku melihat luar. Ada gajah tapi
belalainya lurus kedepan, kakinya berbentuk roda. Dari belalainya mampu
merobohkan rumah dan bangunan tinggi.
Dari
atas terdengar suara mesin, seperti capung tapi sayapnya berputar. Dari ulutnya
terlihat mengeluarkan benda. Hampir saja mengenaiku. Hanya ada gajah dan capung
di sana sini. Mondar-mandir berdentum.
Tidak,
satu gajah beroda mendekatiku. Belalainya ia arahkan ke tempat di mana aku
berada. Aku memejamkan mata, angin dahsyat mengenaiku. Gajah beroda kulihat
tersapu. Ini tidak lagi puting beliung,
aku mengenalnya. Aku merasa gajah beroda tadi menimpaku. Aku terhempas
bersamanya. Di bawa berputar oleh angin.
“Orakel,”
aku membuka mata, “apa yang aku lihat tadi, Orakel?”
“Jangan
mengingat kejadian tadi, Nak. Sekarang kamu sudah bersamaku,” orakel memelukku.
“Sebenarnya
ada apa?”
“Ibu
sudah membuatkan susu untukmu, Nak. Minumlah selagi masih hangat,” istri orakel
datang, dia membawa susu hangat kesukaanku.
===
ZILIAN ZAHRA
Perempuan
yang dilahirkan di Pekalongan, kota kecil di Provinsi Jawa Tengah terbiasa
menulis ceritanya dalam bentuk puisi. Kini mencoba menulis cerpen dengan sohih
setelah mengikuti #KampusFiksi11 Diva Press di Yogyakarta. Walaupun masih
tertatih, masih ada semangat agar bisa menjadi penulis. Bisa dihubungi lewat facebook dengan
nama Zilian Zahra Arjawani dan twitter @zilianzahra.
Bisa di kenal juga lewat blognya di zilianzahra.blogspot.com
komentarnya ntar aja ya non... hihihi...
ReplyDeleteAku tunggu hlo, Mbak Pit. ^_^
DeleteApik ceritane....:D
ReplyDeleteAsik ya, agak2 surealis gimanaaa.. Gitu.. >.<
DeleteAsik ya, agak2 surealis gimanaaa.. Gitu.. >.<
DeleteMas An, TanSis: tanda bacaku masih amburadul >_< ajarin yah?
DeleteKurang nyaman dengan pengaturan paragrafnya, agak terlalu banyak kosongnya. Ada satu typo dan salah penggunaan kata depan/preposisi.
ReplyDeleteTerlepas dari itu, ini ceritanya keren skalski! Dari awal membaca ingin terus scroll ke bawah mau tahu bagaimana adegan-adegan berikutnya akan berlangsung.