Feb 15, 2015

ANTARA DINDING TEBAL BERBESI DAN ORAKEL

Karya : Zilian Zahra

Ilustrasi foto di ambil dari internet

Akan sangat indah apabila aku dapat menikmati dunia, dan akan sangat bahagia jika aku mendapatkan kasih sayang, seperti teman-temanku di Molino.
Semua hanyalah mimpi untuk anak sepertiku, yang tidak pernah melihat senyum matahari dan bulan. Hanya ada dinding tebal dan besi yang mengelilinginya.


Puting beliung akan datang, ia akan memporak-porandakan kampung Dalangan. Orang tua bertopi hitam datang sebagai isyarat. Aku menerima isyarat itu persis saat aku menjulurkan lidah panjangku pada sela pintu yang dikelilingi besi.

Orakel, orang tua itu ku sebut. Aku tidak melihatnya datang melalui pintu. Lubang kecil tempat pengurus rumah meletakkan makanan-pun tidak. Dia hadir ketika mata ini terlelap, dan pergi setelah ia mengangkat topinya.


Orakel bertubuh kurus tinggi, berubankeriting sebahu. Wajahnya tertutup kain hitam. Dia juga mempunyai kacamata seperti Zorro. Mengenakan celana, jas dan topi yang serba hitam. Di lengannya selalu melilit rantai yang kunamai itu borgol. Sepatunya kilat putih tak bersuara.

Tentang hidupku, mungkin dia yang paling tahu. Persetan dengan ayah dan ibu, dia hanya menimang ketika tamu datang, setelah itu aku di tinggalkan begitu saja di ruang pengap ini.

Aku ini manusia istimewa. Lidahku menjulur hingga pusar. Lenganku sama panjang dengan lidahku dan kakiku kecil, mungkin hanya limapuluh senti. Namun, hanya lidah yang mampu beraktivitas. Ya, posturku berbeda dengan manusia yang lain, bahkan dengan orang terdekatku.

Perut Ibu bukan tempat nyaman bagiku. Sepuluh tahun yang lalu, masih lekat dalam memoriku. Kehangatan menjadi gerah, kenyamanan menjadi gelisah, dan gelap semakin menekan. Terhimpit dinding, tertampar dan terguncang. Sudah kuperkirakan, aku akan mati. Namun malaikat menjagaku. Tuhan ijinkan aku menikmati dunia-Nya.

Inilah pilihan yang kuambil, ketika persaksian itu aku ucapkan. Namun bukan pada takdir ini kuharapkan. Segores mimpi menjalin hari, kala tiap lorong udara tampak surya. Di pagi yang menggigil, di bawah terik dan ketika berselimut lempengan es batu. Kini aku menyisakan sebuah keyakinan. Ku penggal persaksianku dengan pedang berapi milik Zorro. Argh, lagi-lagi tokoh itu yang kukenal. Mirip dengan Orakel.

Melihat matahari terbit, itu yang kumau. Hamparan langit biru, laut yang memesona dengan lalu lalang kapal melintasinya. Mungkin akan jadi penghilang jemu bagiku, atau sekedar berjalan di taman, bertemu dengan anak-anak lain seusiaku dan bermain bersama mereka walau hanya sebentar. Aku ingin normal seperti mereka, namun semua hanya mimpi, ayah dan ibu tak pernah membawa kesana. Bisnis dan kesibukan lainmembuat merekatidak banyak waktu untukku.

Petang ini Orakel datang, ia membawaku ke sebuah hamparan hijau. Pohon-pohon yang tinggi, tanaman yang berdaun hijau segar dan buah-buahan yang tumbuh lebat. Aku tidak mendapatinya gelap disana, matahari bersinar terang namun terasa teduh. Makhluk-makhluk lain hidup dengan damainya. Kata Orakel makhluk itu bernama sapi,  ular, jerapah, di pinggir kolam ada buaya dan katak, yang terbang bernama kupu-kupu. Semua adalah jenis hewan.

Tak jauh dari keindahan tadi, sebuah rumah kayu berdiri kokoh, hijau hitam perpaduan lumut dan jamur mewarnai. Bunga mekar mewangi tumbuh indah menghiasi.

“Ini rumah siapa, Orakel?”

“Masuklah, Nak. Ini istanaku” ia membuka penutup mukanya.

“Orakel? Kaukah?” dia masih muda dan tampan, lebih muda dari ayahku. Orakel mengajakku menikmati kursi tamunya.

“Dendra, kau senang disini?”

“Dengan siapa kau tinggal, Orakel?” lampu gantung berbentuk bunga mekar masih kuamati, mataku tak mau lepas dari sudut pandangan aksesoris sederhana berbalut mewah. Sesekali menengok ke wajah Orakel.

Dia tersenyum, “Aku disini bersamamu, bersama manusia yang berhati tulus”. Segelas susu dan roti tawar menemani.

Lidahku yang panjang menjadi normal ketika susu itu mengalir masuk ke dalam kerongkonganku. Antara takjub dan bimbang, kupegang lidahku. Ku ulang hingga Orakel memelukku dengan senyum.

“Itu hadiah buatmu, Nak”

“Terimakasih, Orakel” aku membalas pelukannya.

“Inilah sepuluh tahunmu, Nak. Selamat hari lahir”

Lidahku kelu, bibir bisu. Hanya airmata yang mampu menerjemahkan kebahagiaan ini.
Aku hanya bisa memeluk Orakel, air mata ini tidak mampu kuseka. Aku sayang kamu, Orakel bisikku dalam hati.
***
Bau busuk menyengat. Suara lalat-lalat terbang dan hinggap. Bau anyir menyeruak, memasuki tiap pori-pori. Ada gelap ketika ku buka mata. Orakel? Apakah aku telah kembali? Ya, aku telah kembali pada penjara busuk ini. Keindahan Greencastle lenyap. Aku kembali menjadi manusia dalam penjara.

Ketika lorong udara terisi cahaya, aku tahu bahwa sumber busuk itu dari tiga makanan yang tak kujamah sekalipun.

“Astaga, Dendra tidak makan?” Ketika mata pengurus rumah mengintai, ia terkejut. Seketika terdengar telapak kaki melangkah cepat.

Aku merasakan kedatangan Ibu. Seperti biasa, aku pura-pura lemah ketika Ibu datang. Pintu dibuka, Ibu masuk dengan pengurus rumah.

“Astaga, Cik! Cepat buang bau busuk ini. Sebentar lagi ada tamu yang datang.” Nada Ibu meninggi. Dengan teriakan, Ibu melanjutkan “Hai, jangan lupa siapkan pakaian bagus untuk Dendra”.

“Iya, Bu” dari kejauhan terdengar suara menjawab.

Aku diam, Ibu mendekatiku. Kain di genggaman menutup hidungnya. Tubuh Ibu yang mulus, berbeda jauh dengan ragaku. Aku akui, Ibu sangat rajin merawat tubuhnya. Dulu, aku melihatnya. Ketika Ibu selalu mengajakku, kemanapun Ibu pergi. Salon ujung jalan kota itu, salon terbaik langganan Ibu. Kulit tangannya yang halus, ditempelkan ke dahiku. Hangat, aku merasakan sentuhan kasih sayang. Tak lama, kulit mulusnya disapukan pada roknya.

“Cik, cepat sedikit”

“Iya, Bu”

“Lihat bajunya”

“Yang lain ada? akan ada tamu dari dinas perlindungan anak, tak pantaslah baju ini untuk penyambutan beliau. Ambil yang lebih bagus.”

“Maaf, Bu. Ini yang paling bagus”

“Hah?! Anak kampung ya selera juga kampung!” ibu membanting bajuku. “Kamu tunggu di sini, aku yang akan memilih baju” sampai depan pintu “Oh ya Cik, jangan lupa bersihkan kamarku”

“Iya, Bu” muka hina tampak di wajah Cik. Dia bersihkan ruanganku tanpa berlama-lama.

***

Kamar Ibu, kembali kurasakannyaman. Lelaki berkacamata datang bersama Ibu dan Ayahku. Rambutnya yang lurus tersisir rapi. Bajunya putih bergaris, di saku depan baju, ada yang menggantung berwarna biru. Mirip wajahnya tertempel di sana. Dia mengenakan celana, rapi terawat.

“Hai Dendra, aku Seto. Kau bisa memanggilku Kak Seto” Dia tersenyum kepadaku.

Mataku mengamatinya, lelaki itu siapa? Bahkan aku merasa baru bertemu dengannya. Tapi dia akrab, seperti pernah bertemu walau tidak mengenal. Berbeda dengan tamu yang lain. Aku teringat seseorang ketika wajahnya bercahaya. Namun kubantah cepat-cepat. Getaran hatiku menggema. Baru ku temui tamu Ibu yang ramah. Dari mulutnya, tak ku temui celaan. Lelaki itu pamit seusai berbincang.

Seperti biasa, semua kurasakan sekejap. Penjara hampa tetap sejatiku. Ku dengar suara Ibu.
“Cik, cepat ganti seprey dan cuci bedku. Fuih liurnya bikin aku mual”

Singgasana indah itu, hanya sekejap lalu. Kala tamu datang, aku di dandani bak pangeran. Di puji, di segani, di agungkandi sandang Ibu dan Ayah.

Setelah mereka kembali, makanan basi dan ruangan pengap‒kutemui lagi.

***

Orakel tidak datang, Orakel tidak hadir. Entah kenapa hari ini sepi. Padahal ingin ku ceritakan tentang tamu yang datang kemarin. Tak seperti biasa, badanku terasa panas. Lidah kaku, mata berat untuk di buka.

“DUAARRR! DUMB!” suara ledakan terdengar bertubi-tubi. Aku memaksa mata untuk terbuka. Lubang udara berdebu. Atap yang kokoh menjadi retak oleh suara tadi. Aku mendengar teriakan banyak orang. Teriak meminta pertolongan.

Aku ingin menolong tapi tak ada daya. Suara pesawat terdengar melintas di atas. Seketika atap runtuh bersama suara ledakan. Ingin rasanya berteriak seperti mereka, tapi tak mampu. Suara mereka pun tak lagi ku dengar. Hanya letusan dan dentuman keras terdengar.

Hampir saja atap yang runtuh mengenaiku. Tapi tidak, inikah dunia sesungguhnya? Gersang, panas dan berdebu. Dari reruntuhan aku melihat luar. Ada gajah tapi belalainya lurus kedepan, kakinya berbentuk roda. Dari belalainya mampu merobohkan rumah dan bangunan tinggi.

Dari atas terdengar suara mesin, seperti capung tapi sayapnya berputar. Dari ulutnya terlihat mengeluarkan benda. Hampir saja mengenaiku. Hanya ada gajah dan capung di sana sini. Mondar-mandir berdentum.

Tidak, satu gajah beroda mendekatiku. Belalainya ia arahkan ke tempat di mana aku berada. Aku memejamkan mata, angin dahsyat mengenaiku. Gajah beroda kulihat tersapu. Ini tidak lagi puting beliung, aku mengenalnya. Aku merasa gajah beroda tadi menimpaku. Aku terhempas bersamanya. Di bawa berputar oleh angin.

“Orakel,” aku membuka mata, “apa yang aku lihat tadi, Orakel?”

“Jangan mengingat kejadian tadi, Nak. Sekarang kamu sudah bersamaku,” orakel memelukku.

“Sebenarnya ada apa?”

“Ibu sudah membuatkan susu untukmu, Nak. Minumlah selagi masih hangat,” istri orakel datang, dia membawa susu hangat kesukaanku.






===
ZILIAN ZAHRA
Perempuan yang dilahirkan di Pekalongan, kota kecil di Provinsi Jawa Tengah terbiasa menulis ceritanya dalam bentuk puisi. Kini mencoba menulis cerpen dengan sohih setelah mengikuti #KampusFiksi11 Diva Press di Yogyakarta. Walaupun masih tertatih, masih ada semangat agar bisa menjadi penulis. Bisa dihubungi lewat facebook dengan nama Zilian Zahra Arjawani dan twitter @zilianzahra. Bisa di kenal juga lewat blognya di zilianzahra.blogspot.com

7 comments:

  1. komentarnya ntar aja ya non... hihihi...

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Asik ya, agak2 surealis gimanaaa.. Gitu.. >.<

      Delete
    2. Asik ya, agak2 surealis gimanaaa.. Gitu.. >.<

      Delete
    3. Mas An, TanSis: tanda bacaku masih amburadul >_< ajarin yah?

      Delete
  3. Kurang nyaman dengan pengaturan paragrafnya, agak terlalu banyak kosongnya. Ada satu typo dan salah penggunaan kata depan/preposisi.

    Terlepas dari itu, ini ceritanya keren skalski! Dari awal membaca ingin terus scroll ke bawah mau tahu bagaimana adegan-adegan berikutnya akan berlangsung.

    ReplyDelete