Wanita Bergaun Hitam
Oleh : Refa Annisa
Oleh : Refa Annisa
Banyak orang percaya itu,
tentang wanita bergaun hitam. Yang kehadirannya tak pernah luput pada
pelaksanaan hukuman mati di seluruh Prancis. Yang iris gelapnya selalu
menyaksikan pisau guillotine dijatuhkan algojo, membuat
kepala terpidana menggelinding ke keranjang di depannya. Ia selalu ada.
Meski begitu, tidak setiap
orang yang menyaksikan hukuman mati itu menyadari kehadiran wanita itu. Aura
keberadaannya nyaris tak terasa bak awan hitam di langit malam. Belum lagi
perangainya yang memang sangat tenang dan anggun, membuat hanya sedikit yang
betul-betul menyadari kehadirannya, yang pernah benar-benar secara sadar
melihat wanita berbalut gaun hitam lengkap dengan topi dan payung dalam warna
senada, serta sebuket mawar merah setengah kuncup di tangannya. Bunga yang
katanya berguna sebagai penghormatan terakhir pada terpidana mati.
Adalah seorang pemuda berusia
dua puluh tahun, yang sungguh-sungguh bisa membuktikan keberadaan wanita itu
memang benar. Ia berhasil menemukan wanita itu hampir di setiap penjalanan
hukuman mati yang ia saksikan.
“Wahai, Madame, apa yang kaulakukan di tengah pelaksanaan hukuman mati ini?” Ia
membuka pembicaraan di tengah riuhnya orang-orang yang akan menyaksikan
penghukuman pada pembunuh berantai yang mencabut paksa nyawa satu keluarga atas
nama balas dendam itu. Ini adalah percakapan pertamanya dengan wanita itu, yang
mengawali percakapan-percakapan lain. Juga mengawali setelah sekian lama wanita
itu menarik perhatiannya.
Wanita itu tersenyum, lalu
menanggapi si Pemuda. “Monsieur, yang kulakukan di sini tidak berbeda
dengan yang dilakukan orang lain di sini. Pun denganmu. Menjadi saksi
penghukuman mati.” Ia lalu mengangkat buket mawar merahnya sedikit lebih
tinggi. “Juga memberi penghormatan terakhir untuk mereka.”
“Apa memang sepenting itu,
sampai hampir setiap diadakannya eksekusi kau selalu hadir? Kurasa kalau memang
hanya sebagai saksi seperti yang lainnya, kau tidak perlu selalu hadir.” Pemuda
itu menghunjamkan tatapannya pada si Wanita. “Kau pasti memiliki tujuan
khusus,” tuduhnya, dengan tatapan yang tak menurun tingkat ketajamannya.
Namun, alih-alih menjadi gugup
seperti rusa yang tersorot lampu mobil karena tuduhan itu, wanita itu justru
tetap menjaga keanggunannya. Tersenyum tenang, kemudian menanggapi, “Aku tidak
punya tujuan khusus. Sungguh.”
Sejenak wanita itu mengalihkan
pandang, untuk mencari tahu sudah sampai mana proses eksekusi berjalan. Dari
situ ia berhasil mendapati bahwa kini terpidana baru diletakkan lehernya di
bawah pisau guillotine tepat. “Lagi pula, jika pendapatmu aku selalu hadir dalam setiap
penghukuman mati, itu salah. Aku hanya hadir saat yang salah memang salah, dan
yang benar akan baik saja," katanya lagi tanpa menatap pemuda itu.
Mereka kemudian disibukkan
dengan melihat prosesi terpisahnya kepala dengan tubuh itu. Menyaksikan sendiri
bagaimana kepala itu menggelinding ke keranjang yang disediakan di depannya
setelah algojo membiarkan mata pisau jatuh dari ketinggian sekitar dua puluh
kaki. Pun tak luput dari pandangan darah yang mengucur deras.
Percakapan kali itu hanya menggantung sampai situ. Tidak ada kesimpulan. Pun dengan penutup lainnya.
Percakapan kali itu hanya menggantung sampai situ. Tidak ada kesimpulan. Pun dengan penutup lainnya.
***
Eksekusi demi eksekusi terjadi.
Terpidana demi terpidana kepalanya menggelinding ke keranjang itu. Pemuda itu
pun hampir selalu menjadi menyaksikannya. Begitu pula dengan pertemuannya dan
wanita bergaun hitam itu. Mereka bahkan selalu membicarakan sesuatu. Mulai dari
yang paling ringan dan sederhana seperti perasaan keluarga si terpidana, hingga
yang cukup berat dan terkadang menimbulkan perselisihan kecil di antara mereka
yaitu kasus yang menjerat si terpidana.
Bagaimana akhir pembicaraan
mereka saat pertama jumpa? Sama sekali tidak ada yang berniat menutup dengan
kesimpulan atau jenis penutup yang pernah ada. Mereka membiarkannya menguap
saja di udara, bagai air yang terlalu lama dipanaskan.
Namun tidak dengan eksekusi
hari ini. Sudah belasan kali sepasang mata kelabunya itu menyisiri
kerumunan, tapi
sama sekali tidak ditemukannya sosok wanita itu. Seharusnya wanita itu mudah
ditemukan, karena sebetulnya ia cukup mencolok bagi orang-orang yang sanggup
merasakan kehadirannya.
Padahal ia sangat ingin
membicarakan kasus ini, yang masih ia ragukan putusan sang hakim. Ia sama
sekali tidak yakin bahwa perdana menteri yang kini kepalanya terancam
terpenggal oleh guillotine benar-benar melakukan
pengkhianatan pada negara. Bagaimana bisa perdana menteri yang ia tahu adalah
perdana menteri paling jujur yang pernah menjabat selama ia hidup tiba-tiba
diyakini mengkhianati negara? Yang benar saja.
Sepanjang persiapan eksekusi
pemuda itu terus mencari. Hasilnya tetap saja nihil. Tak ditemuinya wanita itu.
Ia akhirnya memutuskan untuk menyudahi pencariannya, terfokus memperhatikan
prosesi yang sering dilihatnya itu. Prosesi mata pisau guillotine jatuh dengan sukses dan membuat badan itu tak berkepala lagi,
membuat raga itu tidak lagi bertuan ruhnya.
Sesuatu yang aneh terjadi di
sini. Mata pisau itu ternyata tidak mau turun memenggal kepala sang perdana
menteri meski sudah dilakukan berbagai usaha untuk menjatuhkannya. Mulai dari
tali yang menahan mata pisau itu terikat sangat keras sampai mata pisau yang
macet tidak mau turun setelah talinya diputuskan dengan kapak. Orang-orang yang
menyaksikan itu langsung berkasak-kusuk. Komentar-komentar dan berbagai macam
dugaan menguar di udara.
Pemuda itu hanya bergeming di
tempatnya. Kemudian dirasakannya aura kehadiran wanita bergaun hitam biasanya
itu. Terdengar bisikkan yang sangat halus, dan suara yang ia kenal. Suara wanita
bergaun hitam itu.
“Sudah kukatakan, aku hanya
datang ketika yang salah dianggap salah dan yang benar akan baik saja.” Wanita
itu menarik napas, mengambil jeda. "Ini pun aku datang hanya untuk
menyapamu, karena tidak ada yang perlu kusaksikan."
Sebelum sosoknya tenggelam di antara
kerumunan, ia menyampaikan sebuah rahasia. Rahasia tentang dirinya. “Andai kamu
tahu, aku sebenarnya penjemput arwah para terpidana. Yang jelas bersalah, bukan
yang tertuduh. Dan aku tentu tidak akan tinggal diam ketika mendapati leher
orang tidak bersalah berada di bawah mata pisau guillotine.”
_________
Diikutkan dalam tantangan #FiksiBunga yang diberikan oleh @KampusFiksi
_________
Diikutkan dalam tantangan #FiksiBunga yang diberikan oleh @KampusFiksi
Temanya keren, bakal lebih keren lagi kalo ada eksplorasi emosi, soalnya meskipun cuma jadi penonton, menurutku hukuman mati tetap hal besar yang bisa banget sih digali sampai dalam. Terus ada beberapa kata yang bisa diperbaiki supaya lebih luwes, lebih dari itu, keren lah ini gak kepikiran bikin cerpen yang seperti ini. Keep up the good work!
ReplyDelete