“Dan pada sujud-sujud yang terkulai…
Oleh aroma basah sajadah
Dari butiran embun mata.”
Duh… Nurbaya,
Tangismu tengah mengintai malam
Sedang di pembaringanmu,
Hasrat tradisi melumat bayangan.
Tirai sutra yang kau kemul di klambu dada,
Mengisyaratkan lelehan bara di sana.
Ooh… Nurbaya,
Gadis yang dipasung darma dan kasta!
Kala bapa titahkan pingitan
Padaragamu yang meronta,
Tak gentar jiwamu merangga soleh cinta.
“Kutukkan di mahkotakan pada tulan gpunggungmu...,
Hingga sesenggukkan udara, menyumbat tulang rusukmu.”
Wahai… Nurbaya,
Gadis yang dipasung kegelisahan….
Bibirmu mencerca wajah di balik kaca,
Sedang hatimu menikah dengan parabala.
Duhai… Nurbaya,
Gadis yang dikutuk pasung zaman!
Kini kautanggalkan sutra dada
Pada bibir lacut yang mencumbu karma.
Kaubiarkan ia menjilati mahkota di tulang sumsummu,
Hingga jeritan kalbu menderit,
Memekakkan telinga para punggawa pembawa bala.
Ooohhh…. Nurbaya,
Gadis yang dipasung karma bapa!
Kelacutanmu meracuni ulu hati kaum hawa.
Dengan gincu merekah basah di atas sajadah,
Kaukafani jiwamu
Dengan seroja yang bangkit oleh kenangan.
Duh…Nurbaya,
Gadis yang dipasung kepurbaan!
Jiwamu kini manunggal,
Sedang tubuhmu diam dalam kesenang jiwa-jiwa yang lepas
Menyatu pada dinding waktu
Hingga musim tak kuasa merenggut keteguhanmu.
“ Sebab, sepanjang tilas kaki yang kausisakan telah merenggukmu pada kepedihan, dan mengajarkan kehidupan!”
September 2013/Maret 2014
Dhanica Rhaina
No comments:
Post a Comment