Mar 8, 2015

Burung Hantu Berwajah Biru

The Owl - William James Webbe (1853-1878)

Ita dan Ochi bertengkar di ruang belakang. Pasalnya, gambar kapal selam Ochi lebih mirip lumba-lumba daripada kapal.
“Iiih, jelek banget! Masa warnanya kuning gonjreng gitu?? Hiiiii…. Itu lumba-lumba atau…pisang?! Ahahahaah…!” Ita terpingkal-pingkal, tak peduli pada Ochi yang manyun pura-pura sibuk mengecat badan kapal.
“Biarin! Punya Kak Ita apa lagi! Itu sih mobil, bukan kapal selam! Kalo kelelep orangnya bisa basah semua!”
“Eh, tapi, kapal selam aku tuh ada rodanya! Nanti kalau sampai dasar laut dia bisa disetir kayak mobil! Kapal selam kamu apa? Kayak pisang! Ahahahaha!”
“Kak Ita nyebelin!” Ochi menyambar palet, melihat cat coklat yang masih banyak, lalu mencelupkan kuas. “Nih! Kalo mobil jangan di laut, di tanah aja!”

Sret…sret…!

Dicoretnya gambar Ita dengan cat coklat.
“Ochiiiii…!” pekik Ita kesal.

Krieet…. 

Pintu ruang belakang terbuka. Ada Ibu melongok dari celah pintu.
“Masya Allah, kenapa berantakan begini…,” ujarnya setengah mengernyit, ia melangkah masuk sambil berdecak. Entah kagum, entah heran.
“Ibuuu… Ochi nyebelin, gambar Ita dirusak,” Ita langsung mengadu, suaranya dibuat amat memelas.
Ibu tak peduli, malah melongok rak kuas dan cat. Lalu beralih pada lantai yang dipenuhi tabung-tabung berserakan. Dua palet dipenuhi cat bermacam warna. Kuas-kuas malang melintang di atasnya.
“Kalian pakai cat akrilik Bapak?”
“Ini kan buat lomba, Bu. Memang harus di kanvas, masa pakai cat air?” Ochi mengelak.
“Lho, lomba melukis kan dikumpul minggu depan? Yang buat besok kan PR matematika?” selidik Ibu.
Ochi cuma nyengir. Ita pura-pura sibuk memandangi lukisan-lukisan Bapak yang tergantung memenuhi dinding.
“Ochi udah ngerjain PR kok, tinggal nomor satu, tiga, sama lima!”
“Itu sih kamu baru ngerjain dua!” Ita menyambar.
“Ya sudah, cepat beresin catnya, kuasnya cuci… lantai juga, tuh, belepotan. Habis itu belajar matematika, ya.”
“Iyaaa…,” jawab Ochi malas-malasan. Ia menggeser duduknya, bersandar di dinding dekat lukisan.
“Cepat, ya, beres-beresnya. Nanti jam empat ada tamu mau datang,” pungkas Ibu sambil keluar menutup pintu.

***

“Pokoknya aku nggak mau beres-beres, lukisan aku rusak gara-gara kamu! Kamu aja beres-beres sendiri!” Ita merengut sambil melapisi goresan coklat di lautnya dengan warna biru dari tabung paling besar yang masih penuh.
“Kan Kak Ita yang mulai,” ujar Ochi kesal. “Ayo, dong, Kak, beresin dulu. Nanti Bapak malu ruang lukisnya berantakan.”
“Gak mau. Kamu aja sana, kan kamu ada PR.”
“Nanti dimarahi Ibu!”
“Kan salah kamu.”
“Kak Ita nyebelin!” Ochi menarik kanvas Ita kuat-kuat.
“Ochiii! Kamu ngeselin banget, sih! Nih, aku juga bisa…” Giliran Ita menyambar palet, kuasnya menggores sesuka hati di kapal pisang Ochi…
“Kak Itaaa!”
…di lengan dan pipi Ochi…
“Aduuuuh! Nyebelin!” Ochi menghindar kalang kabut.
 …dan di lukisan burung hantu Bapak.
Lalu, mereka diam.
“Ini kan…”
“…lukisan yang mau dijual hari ini.”

***

Ita dan Ochi saling tatap, lantas melirik takut-takut pada lukisan. Berharap tak bertemu pandang dengan mata bulat burung hantu. Tapi, mata si burung ternyata terpejam, kelihatan bagai sungguhan. Pandai sekali Bapak melukisnya.
“Gimana dong, Kak?”
“Burung hantunya putih, Chi,” keluh Ita sambil meringis. “Sekarang jadi biru.”
Ochi terdiam, mengamat-amati burung hantu yang belepotan. “Kakak coret burungnya sampai ke muka, hampir aja kena mata, hidungnya juga ketutup semua….” Ia mendelik pada Ita. “Mana sekarang hampir jam tiga, satu jam lagi tamunya datang lho, Kak.”
“Kamu bisanya nyalahin orang aja! Lagian itu tuh bukan hidung, tapi paruh!” ujar Ita jengkel. “Udah deh, sekarang kita bagi tugas. Aku yang beres-beres, biar Ibu nggak marah. Kamu yang cari Bapak, minta maaf, siapa tahu lukisannya masih bisa dibenerin,” katanya sambil beranjak, memunguti tabung cat yang bertebaran.
“Kok jadi aku yang minta maaf?” Ochi bengong.
“Ih, bawel! Terus kamu maunya gimana?”
“Kakak dong yang minta maaf!”
Ita berpikir sejenak. “Hmm, atau…kita benerin aja lukisannya!”
“Dicat ulang?” tanya Ochi ragu-ragu.
“Iya! Kita cat ulang pakai warna putih! Beres kan?”
Ochi sedikit berdebar-debar. Usul Ita terdengar menyenangkan. Tapi, memangnya mereka bisa? Kalau tambah rusak bagaimana?
“Ayo, cepat!” desak Ita sambil mengambil kuas bersih.
Ochi buru-buru mengambil cat akrilik dari tabung kecil, menuang ke palet, lalu menyodorkan pada Ita.
“Tapi, Kak, wajah si burung ada garis-garis coklat sama abu-abunya, lho….” Ochi masih ragu-ragu melihat tangan Ita bersiap mengoleskan cat putih.
“Itu ditambah nanti aja! Yang penting warna birunya ditutup dulu!” bantah Ita.
Ochi manyun sendiri. Ia memegangi palet sambil merengut, matanya diam-diam memperhatikan kuas yang gemetar di tangan Ita.
“Bentar, bentar!” seru Ochi tiba-tiba.
“Apaan lagi?”
“Kayaknya Ochi pernah lihat lukisan ini, tapi di mana, ya….”
“Maksudnya, ada dua?”
“Nggak sih, kayaknya bukan….” Dahi Ochi berkerut-kerut, berpikir keras. “Oooh…iya!”
Ochi menaruh palet lalu berlari ke meja di sudut ruangan, ada printer bertengger di atasnya, dan ada tumpukan kertas-kertas di sebelahnya. Cepat-cepat ia teliti helai demi helai kertas itu, sampai matanya menemukan sesuatu.
“Nah! Ini dia!” Dibawanya kertas itu pada Ita. Gambar burung hantu yang persis sama! Rupanya Bapak melukis burung dari foto itu.
Ita jadi semangat. Ada gambar untuk diconteknya. Dengan yakin digoreskannya cat putih di atas cat biru. Lalu, mereka berdua terpaku. Saling pandang.
“Kok…gini, Chi?” Ita mendadak pucat.
Mereka terkejut melihat wajah burung yang meleleh berwarna biru. Kuasnya malah meratakan cat itu ke bagian lain.
“Kok masih basah, Kak?” Ochi mengernyit, menyentuh cat biru dengan telunjuk. Warnanya menempel di ujung jari.
“Cat biru yang Kak Ita ambil tadi…cat minyak?” Ia tengadah, menatap Ita.
Ita menggeleng bingung, melirik tabung besar berisi cat biru, lalu meraihnya ragu-ragu. Tertulis di sana: cerulean blue, oil paint.
Hati mereka berdua mencelos sampai ke lutut. Kalau saja cat biru ini akrilik, yang cepat kering dan bisa ditimpa ulang dengan cat lain, tak akan runyam urusannya. Ita dan Ochi tahu, cat minyak yang dipakai Bapak biasanya tak akan kering sampai berhari-hari. Dan sekarang cat biru basah itu tambah belepotan dengan akrilik putih yang tak tercampur sempurna. Wajah si burung lebam-lebam mirip hantu pocong di sinetron.
Mereka terdiam, beradu pandang dengan alis tertekuk dan dahi berkerut. Cuma ada detak jam kecil di atas meja yang berbunyi. Tik...tik...tik.... Satu detik, dua detik, sepuluh detik…

Krieeett….

Mereka berdua terlonjak, menatap pintu yang perlahan terbuka. Hanya sedikit. Lalu daun pintu kembali menutup lagi. Mungkin angin?

Krieeettt.…

Mereka menahan napas. Celah pintu terbuka lagi, tak ada wajah Ibu yang biasa tersembul di sana. Siapa yang membuka pintu? Ruang tengah tampak gelap terlihat dari sini. Di luar mungkin sedang mendung.
Ita duduk tegang memegang kuas. Ochi di sebelahnya mengelus lengan yang terasa meremang. Ada sesuatu yang bergeser halus di kulit lengannya, seperti ujung-ujung bulu seekor kucing yang menyentuhnya samar-samar.
Ochi menepisnya sambil menoleh takut-takut, di sebelahnya, tampak sebentuk wajah kecil mirip topeng batman yang hitam separuh.
“Si Oben!” seru Ochi sambil menghela nafas lega. Phiuh. Kucing Bapak yang berbulu hitam putih itu menggesek-gesekkan kepala ke lengan Ochi. Perutnya yang putih tampak menggembung, berarti dia sudah makan. Paling-paling ke sini mau tidur. Ochi membiarkannya meringkuk di atas keset.
Lain halnya dengan Ita. Matanya membelalak, tangannya terulur, lalu menjinjing Oben dari tengkuknya
Meooong…” protes Oben.
“Pegangin, Chi!” Ita menjejalkan Oben ke pangkuan Ochi, sementara ia mengambil palet, lalu menidurkan lukisan burung hantu di lantai.
“Angkat tangannya, Chi!”
Ochi mengangkat tangan kirinya yang tak mendekap Oben.
“Tangan Oben, bukan tangan kamuuu!”
“Oh. Mau diapain, Kak?” Dijulurkannya tangan Oben yang mulai meronta.
Lalu, Ita mulai memoleskan cat biru pada telapak tangan Oben.
“Kak Itaaa!” teriak Ochi sambil mengelak, membawa Oben menjauh. “Oben mau diapain?!”

***

Bapak berdiri di pintu, tangan di pinggang, mata menatap pada ruangan yang sudah rapi dan wangi, senyumnya terkembang. Di ruang tengah sana, jam dinding berdentang lima kali.
“Kok, masih pada di sini?” tanyanya sambil mendekati Ochi dan Ita yang duduk bersandar di dinding. Si Oben mendengkur pelan di pangkuan Ochi.
Ochi tengadah pelan, mencari bibit kemarahan di wajah Bapak. Sepertinya aman.
“Pak, kalau lukisannya nggak jadi dijual, gimana?” tanya Ochi takut-takut.
“Lho, kenapa harus nggak jadi? Kan pembelinya sudah bayar,” Bapak berjongkok di sebelah Ochi, ikut mengelus Oben yang tertidur.
Tangan Ochi terasa berkeringat, ia tambah cemas. Diliriknya Ita yang pura-pura menggambar di lantai dengan ujung jari. Ochi menyikutnya. Ita menghela napas, lalu pasang muka merengut sambil bergumam. Matanya tetap menunduk ke lantai.
“Lukisannya…rusak…”
Bapak menoleh pada Ita.
“Itu…mm…Oben tadi—”
“—bukan Oben!” tukas Ochi cepat. “Lukisannya kecoret waktu Ochi sama Kak Ita bertengkar! Ochi minta maaf!” Sekejap kemudian ia menunduk, membelai Oben. Ita mematung di sebelahnya.
Bapak masih terdiam, ia bangkit dan berjalan ke arah lukisan yang kini bersandar dekat meja printer. Tak diduga, Bapak tertawa kecil.
 “Betul, bukan Oben?” tanyanya menyelidik.
Ochi menggeleng kuat-kuat, ia menatap Oben yang tangannya biru sebelah. Lalu merasa malu sekali. Pipinya terasa panas.
“Ita, bukan Oben yang merusak lukisan?” tanya Bapak lagi, dijawab dengan
gelengan pelan dari Ita.
“Syukurlah kalau begitu.” Bapak terdengar lega. “Kalau Oben yang merusak, susah mengajarinya untuk memperbaiki lukisan,” lanjutnya sedikit menahan tawa.
Ochi agak lega melihat Bapak tak marah. “Tapi…tamunya gimana, Pak?” tanyanya masih cemas.
“Ya, nggak gimana-gimana. Tamunya sudah pulang,” jawab bapak sambil menilik-nilik wajah si burung.
“Nggak jadi beli?”
“Jadi, lukisannya sudah dikirim dari kemarin, kok.”
“Lho, bukan yang ini?”
Bapak tertawa lagi, diambilnya sehelai kertas foto dari samping printer, “Bukan, yang dijual hari ini lukisan burung hantu yang lain,” katanya sambil menunjukkan si burung dalam foto yang berbeda, mata bulatnya melotot menatap mereka.
Oh, ternyata.... Pfiuhh.... Ita dan Ochi menghembuskan nafas lega.
“Yah… tapi, coba tadi kalian nggak buru-buru ngecat ulang pakai akrilik. Menghapus cat minyak masih basah itu kan mudah, tinggal dilap saja pakai kain lembab,” ujar Bapak santai sambil berlalu menuju pintu.
Ita dan Ochi berpandangan, lalu meringis.
Yaah, kenapa nggak kepikir dari tadi!

11 comments:

  1. Ah...bagus, Tansis. Aku baca berkali-kali dan masih belum nemu ruang buat dikritisi. Mungkin harus aku baca berkali-kali lagi supaya bisa ketemu. Tapi sebelum itu, nggak papa kali ya aku komentar duluan. Hehehe..Cerpen ini bisa dibilang beda banget sama yg biasa Tansis bikin. Lebih terang, sederhana, membumi. Alurnya lancar, proporsi antara dialog dan narasi juga pas, twist-twist ringan yang nggak diduga dan lagi-lagi muncul Si Oben ya di cerita ini? Hahaha..Selain itu cerpen ini juga membuka wawasan baru soal dunia lukis melukis yang emang Tansis kuasai. Bukan berarti yang sebelum-sebelumnya nggak bagus, bagus bangeeet juga, tapi cerpen ini kayak bicara tentang 'another side of you'..ibarat baca Yetti Aka nulis romance happy ending hahahaha...Keep writing!!

    ReplyDelete
  2. Makasiii tan gi udah baca... :D Itu si oben emang nyempil2 mulu di cerita... Pingin numpang tenar XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin Si Oben besok-besok bisa kali, Tan dijadiin pemeran utama..dari kemaren figuran melulu hahaha..

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  3. Entah kenapa saya mengharapkan ending yang lebih nonjok Tansis :')
    Tapi apalah daya, engkau Tuhan di dunia literasi-mu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha.. Aku emg paling gabisa bikin ending sama konflik. Mending suru nulis jurnal.. Thanks rick

      Delete
  4. Tambahan :

    Bagian Ochi menghindar lemparan Ita dan akhirnya kena lukisan, menurutku itu perpindahan perasaan, perpindahan fokus, dan dialoq-nya membuat gagal paham Tansis.. karena tiba2 ada kata ... Kalang kabut... dan dilukisan burung hatu bapak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Rick, memang ada teknik utk menggambarkan dialog yang "terinterupsi" oleh tindakan, atau tindakan simultan yg terinterupsi oleh perkataan. Harusnya pakai em dash, tapi kemarin kuganti elipsis karena kyknya kurang sreg jg pake em dash. Thanks anyway. :)

      Delete
  5. Keren! Gak pernah bisa bikin cerita yang sederhana tapi tetap dalam seperti ini, dan tone-nya bahagia pula. Ajari, dong, Tansis *kedipin*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaaah.. Ik jg baru belajar bikin dalam tone bahagia..aslinya gelap juga soalnyaa.. >.< malah aku yg harus berguru padamu, cerpennya keren.. :D masih kebayang adegan2nya... Kasian Abby.. #tetep

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete